Tidak Direstui: Gantung Diri?

 

Belum lama ini ada kasus seorang laki laki yang bunuh diri akibat tidak direstui oleh orangtuanya untuk menikah dengan seseorang.

 

Saya sudah pernah posting ini. Tapi kepikiran lagi, dan pengen mengulas sedikit lebih dalam. Ini masalah yang tidak sesimpel yang tampak. Setidaknya ada dua dimensi.

PERTAMA, orangtua yang mempersulit. Saya yakin semua ortu akan mengatakah “ingin yang terbaik bagi anaknya”. Hanya saja ada kadang mereka “ingin, tapi TIDAK TAHU apa yang terbaik”. Mereka sekian tahun mengenal dan mendukung kita, sampe memyuap dan nyebokin kita. Pasti kan mereka tahu semua tentang kita? Tapi ternyata makin besar, kita makin jauh dari orangtua. Mulai ada hal hal yang tidak kita ceritakan, mulai ada hal hal yang tidak mereka saksikan, awalnya kecil kecil saja sampai akhirnya juga hal hal yang life-changing.

 

Bukan hal yang baru ketika seseorang betul betul terpaku pada sebuah romantisme masa lalu, hati terkadang sulit menerima bahwa banyak hal yang sudah berubah dan terlewatkan. Salah satu buktinya adalah ‘denial’ (penyangkalan) yg terjadi pada orangtua ketika anaknya didiagnosis autis. Bukannya ia benci pada anaknya atau tidak sayang, jadi jangan bilang “kalo dia sayang harusnya nurut dong”. Tapi mungkin karena ‘fear of failure’ dan lain sebagainya, jadi mengaburkan objektivitas.

 

Konon cinta membuat tidak logis, tapi di sinilah kita memerlukan keseimbangan. Menerima kesalahan itu sulit, apalagi orangtua yang telah susah payah membesarkan anak lalu dibilang “caramu salah”. Itu lebih berat lagi. Tapi barangkali ini bagian dari ujian sebagai orangtua.

 

Apalagi ketika anaknya sendiri yang mengatakan bahwa orangtuanya salah. Mungkin naluriah jika si orangtua merasa ditantang atau “kok kamu ngelawan sih, apa kamu ga percaya kalo kami sayang sama kamu?”. Di sinilah kedua belah pihak harus evaluasi. Si anak harus lebih santun dan halus pendekatannya, dan si orangtua pun harus menyadari kemungkinan bahwa mereka bisa kok sayang sekaligus keliru.

 

Memang ada saatnya si anak cebok pun nggak bisa sendiri. Tapi ada saatnya ketika si anaklah yang lebih tahu tentang hidupnya sendiri.. Bisa saja ia salah dalam mengambil keputusannya, tapi itulah hidup. Mungkin saat, itulah ia memang sudah waktunya mengambil keputusan dan menerima konsekuensinya.

 

Karena saya yakin ketika orangtua si laki laki yang bunuh diri ini menolak merestui, pastilah alasannya “bukan dia yang terbaik untukmu, dan aku ingin yang terbaik untukmu”. Tapi saya lebih yakin bahwa bunuh diri lebih bukan yang terbaik lagi untuk si anak.

 

Nobody wins here.

 

KEDUA, kenapa sampai bunuh diri? Sangat ga rasional untuk bunuh diri gara2 masalah “beginian doang”! Memang ga rasional. Hanya saja manusia ingin percaya bahwa dirinya adalah “makhluk rasional”, sedangkan sejatinya ia adalah “makhluk perasionalisasi”. Banyak faktor faktor yang menyebabkan manusia melakukan apapun, dan nampaknya rasionalitas bukanlah selalu atau malah jarang menjadi dominan.

 

Bertahan hidup adalah naluri manusia nomor dua paling besar, dan nomor satu adalah mencari Rabb-nya. Dan “mencari Rabb-nya” ini bukan “mati ah gue biar ketemu Tuhan.” Bukan perkara mudah seseorang untuk sampai pada keputusan besar untuk melawan salah satu insting paling dasar (i.e. bertahan hidup). Tentu ia tidak terjadi sekonyong konyong.

 

Pastilah ada hal hal kecil dan/atau besar yang terjadi sepanjang perjalanan hidupnya yang mengarahkannya hingga sampai pada titik itu. Banyak pertanda pertanda yang akan ia tunjukkan, kadang kecil kadang besar. Mengancam bunuh diri konon justu bukan salah satu tanda besar, melainkan kemurungan atau justru keceriaan yang dipaksakan. Banyak tanda tanda yang kecil tapi bermakna besar, yang sangat mudah luput bahkan dari perhatian orang orang terdekat sekalipun -apalagi yang jauh?

 

Saling mengenal dan memahami adalah penting sekali. Tapi lebih penting lagi adalah saling percaya. Si orangtua harus membangun kepercayaan dengan anak, jangan sampai ia hanya menjadikan orangtuanya sekedar sebagai ATM saja. Atau sok nempel nempel sesekali supaya orangtuanya senang dan merasa “anakku udah gede tapi masih manja”, padahal itu adalah taktik untuk menyembunyikan sejuta hal.

 

Sulit juga membangun kepercayaan tanpa kedua belah pihak bisa menyadari bahwa masing masing (dirinya sendiri) bisa salah. Dan ini bukan sekedar retorika saja.

 

Tanda tanda kecil depresi dan suicidal bisa digugel lah, gampang. Tinggal apakah kita (baik mengamati diri sendiri maupun orang lain) mau mencari tahu, lalu mau mencari bantuan.

 

Harus diakui memang sulit untuk mencari bantuan. Saya sendiri sudah pengalaman menangani beberapa orang yang harus berujung berurusan dengan psikolog atau psikiater.

 

Tidak mudah membuka diri, apalagi di posisi seperti itu. Tapi setidaknya bagi kita yang (merasa) masih sehat secara kejiwaan, penting sejak dini mulai berusaha mengenali tanda tanda depresi. Kadang kelihatan kecil atau bahkan irelevan. Tapi mumpung belum parah.

 

Harus juga bagi yang sulit membuka diri, mulai memberi kepercayaan dengan orang orang terdekat. Termasuk orangtua. Ketika itu sulit, apalagi untuk orangtua, barangkali itupun sebuah masalah yang perlu diurai.

 

Wallaahu’alam. Intinya masalah ini banyak kompleksitasnya, dan sulit diatasi tanpa: (1) mengubah mindset, dan (2) deteksi dini.