Yang Dikira “Bapak Bapak Random Disuruh Khutbah” Ternyata…
Suatu hari di kota Edinburgh, Scotland (UK).
Hari itu adalah tanggal 27 Desember 2013 yang bertepatan dengan hari Jumat yang sangat mulia, di pertengahan musim dingin yang sangat janggal. Sedikit membekas di ingatan saya, kilasan-kilasan kota Edinburgh sekitar 20 tahun sebelumnya. Saat saya masih kecil sekali ikut ayah saya kuliah Ph.D di Inggris (tepatnya di Salford, tapi kami tinggal Manchester. Jakarta-Bekasi lah kira-kira bandingannya), kami pernah main ke Edinburgh. Dulu, salju sangat tebal dan saya bermain-main mengejar-ngejar burung Robin. Tapi pada musim dingin tahun 2013 itu, memang sangat dingin tapi tidak tampak salju. Malah kami mendengar salju turun di Mesir dan jazirah Arab.
…
Seperti biasa, menjelang siang saya bergegas menuju Edinburgh Central Mosque untuk shalat Jumat. Sulit masuk ke tempat wudhu yang letaknya di basement, tanpa bersalam-salaman dulu dengan banyak sekali orang. Ini adalah satu hal yang rasanya tidak banyak saya temukan di Indonesia. Bagi kami yang biasa ke Masjid (banyak sekali, Alhamdulillah), makin lama makin kenal siapa saja yang biasa ke sana. Walaupun belum tentu kenal nama, tapi kalau berpapasan pasti tahu ‘oh itu sering ke masjid’ dan pasti saling menegur dengan sapaan tertinggi yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w.: Assalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh!
Bahkan setelah saya pulang ke Indonesia di minggu pertama bulan Agustus 2014, ketika saya kembali ke sana untuk wisuda pada November 2014, banyak sekali jamaah yang bergegas menghampiri saya saat saya mendekati masjid (diantaranya banyak yang belum pernah ngobrol, Cuma mengucapkan salam saja), mengerubuti saya, lalu bertanya saya kemana saja kok tiba-tiba hilang. MashaaAllah. Kalau di sini bagaimana?
…
Awal-awal saya di Edinburgh (September 2013), biasanya sang Imam asal Mesir bernama Shaykh Usama Zaki yang memberi khutbah. Lalu tidak lama kemudian setelah beliau selesai jabatannya dan (kelihatannya) pulang ke negaranya, sempat ada kekosongan. Akhirnya yang memimpin shalat serta khutbah bergantian antara:
- Shaykh Adel Bawazeer, asal Saudi Arabia
- Imam Yahya Barry, asal Gambia tapi besar di London, lulusan Madinah
- Akh Majd, mahasiswa Ph.D teknik asal Suriah tapi ilmu dan shalehnya mashaaAllaah, dan
- Akh Akh Abdul’adzim, bocah 19 tahun asal Libya yang hafidzul Qur’an, saya belum pernah melihat beliau khutbah tapi bacaan Qur’annya yang menggunakan qiraat qaaluun saaaangat indah.
Biasanya ya dua yang teratas saja yang mengisi khutbah, dan sesekali Akh Majd yang mengisi. Eh, kali ini ternyata kami kedatangan khatib tamu yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Dan memang hati yang lengah akan mudah mengirim signal kepada alis untuk mengerenyit melihat orang ini. Bentuknya sama sekali tidak representatif sebagai seorang yang hendak mengisi ceramah.
Imam yang lain biasanya akan menggunakan gamis terbaiknya yang diberi ornament yang tampak megah, atau setidaknya gamis polos yang –kalau dari perspektif saya—sudah memberi kesan yang wow. Bukannya saya fashion-minded, tapi sepemahaman saya biasanya seorang yang akan berkhutbah (atau Imam masjid yang memimpin shalat) akan mengenakan pakaian yang bagus dan Islami. Kalau di UK, biasanya ya pake gamis. Misalnya, silahkan lihat foto-foto di bawah ini. Saya Cuma berhasil menemukan foto-foto ini saja, yaitu Imam Yahya (tidak ada sudut yang oke tapi kelihatan lah ya), lalu Akh Majd dan Akh Abdul’adzim yang keduanya sedang memimpin shalat, tapi ini kalau tidak salah memang sengaja difoto untuk keperluan tertentu, jadi siapa tahu anda ada yang bertanya siapa yang memfoto orang shalat dari depan.
Jadi mohon dimaklumi kalau saya terkejut melihat ada bapak-bapak menduduki mimbar di depan yang belum pernah saya lihat sebelumnya, lalu tampak dia berpakaian yang kelihatan seadanya. Badan beliau tegap, dengan rambut yang lurus belah pinggir berwarna agak kecokelatan. Pakaian beliau, kalau tidak salah waktu itu polo shirt dengan celana jins dan jaket yang tampak sangat biasa saja. Maaf saya tidak ada dokumentasi waktu khutbah. Saya ingat saya duduk lumayan dekat ke mimbar jadi posisinya sangat bagus, tapi ya masa saya poto poto orang waktu khutbah.
Apalagi, ternyata, khutbahnya itu….
Saya sudah berkecimpung di dunia public speaking lebih dari 10 tahun, dan saya paham betul bagaimana pentingnya kefasihan dalam menguasai sebuah bahasa untuk bisa menyentuh hati orang lain dengan medium bahasa tersebut. Bahasa Inggris beliau oke lah untuk ukuran seseorang dengan bahasa Inggris bukan sebagai bahasa utamanya. Tidak terlalu fasih, tapi ya okelah. Akan tetapi, tapi setiap kata yang keluar dari beliau begitu mengguncangkan dan menggetarkan hati kami yang mendengarkannya. Di sekeliling saya tidak sedikit yang sampai meneteskan air mata.
Beliau mengawali khutbahnya dengan bercerita tentang keutamaan-keutamaan Masjid Al-Aqsha dalam Al Qur’an, terutama melalui Surah Al Isra ayat 1 dan kaitannya dengan ayat-ayat selanjutnya. Kemudian beliau melanjutkan dengan menceritakan bagaimana kaum muslimin Palestina harus berjuang untuk mempertahankan Masjid Al Aqsha tersebut, dengan harta dan nyawa. Di situlah saya baru ketahui bahwa ada pungutan-pungutan liar yang dikenakan pada kaum Muslimin sekitar Masjid Al Aqsha (beliau hanya menyebutkannya sekilas saja).
Khutbah beliau betul betul mengobok-obok hati kami. Terkadang beliau membuat kami terpesona saat menceritakan keutamaan-keutamaan Al Aqsha, di lain waktu kami jadi merasa begitu marah mendengar apa yang dilakukan oleh kalangan Zionis terhadap Al Aqsha, lalu kami menjadi sangat sedih saat diceritakan penderitaan kaum Muslimin di sana, lalu menjadi begitu malu saat menyadari betapa sedikit sekali kami bisa berbuat.
Beliau mengatakan bahwa urusan perjuangan fisik, biarlah sementara waktu pejuang-pejuang Palestina yang berusaha menjaga Masjid al-Aqsha. Sulit dan dikhawatirkan malah lebih banyak mudharatnya jika dari Negara-negara lain secara sporadis berdatangan untuk membantu dengan cara itu, sedangkan kelak ada saatnya di mana itu akan terjadi yaitu di bawah panji Imam al-Mahdi. Biarlah sementara pejuang-pejuang Palestina yang mempertahankan Masjid Al Aqsha dengan harta, walaupun tentu di sini kita juga bisa bantu walaupun harus membagi juga untuk bersedekah dengan rakyat sana yang miskin.
Utamanya, beliau memohon sekali agar kami tidak melupakan Masjid Al Aqsha dalam doa. Saya pikir-pikir saya sendiri kalau berdoa setelah shalat atau dalam keadaan-keadaan lain, jarang sekali mendoakan Masjid Al Aqsha. Nggak jauh doa saya dari hal-hal yang untuk diri saya sendiri saja. Tapi di sini lah justru saya (dan barangkali banyak jamaah lain juga) merasa sangat malu. Begitu sedikit sekali bahkan mendekati nol yang bisa kami lakukan, baik secara harta apalagi secara fisik. Giliran kekuatan terbesar umat Islam yaitu doa, yang mana secara konkrit hanya membutuhkan usaha yang sangat sedikit, ternyata malah sering sekali lupa. Padahal di sana begitu berat kaum Muslim Palestina berjuang dengan fisik, harta, nyawa, apalagi doa.
Sekarang saat saya merenungkan kembali khutbah beliau (setiap kali saya teringat khutbah beliau, saya agak merinding. Bahkan sampai sekarang), fikiran saya dicampur sedikit dengan apa yang dikatakan Cak Ihsanul Faruqi (Abu Zubair) saat kopdar di Jogja, yaitu kira-kira begini: “kalau akhir zaman itu, Muslim yang teguh berpegang pada Al Qur’an dan Sunnah itu seakan memegang bara api. Kalau kita masih hidup enak, paling Cuma dicela-cela sedikit saja, apa sudah merasa seperti pemegang bara api yang dimaksud pada hadist itu?”
Malu rasanya, begitu banyak berkoar-koar tapi faktanya begitu sedikit berkontribusi.
“Please, I beg you. Remember Masjid Al-Aqsha in your du’as. Never forget Masjid Al-Aqsha.”
Siapa sih orang ini?
…
Ketika khutbah sudah selesai, iqamat dikumandangkan dan kami langsung berdiri untuk menunaikan shalat Jumat. Setelah selesai membaca Surah Al Faatihah, beliau melanjutkan dengan membaca Surah Al Isra yang tadi ayat 1-nya baru saja dibahas. Biasanya saya pribadi kalau shalat agak susah sekali focus dan khusyuk, sampai khawatir juga saya karena kalau dalam Tafsirnya Imam Al-Qurthubi katanya kalau shalat tidak khusyuk maka tidak sah karena khusyuk adalah rukun shalat (ini pendapat mazhab Maliki, yang merupakan mazhabnya Imam Al-Qurthubi). Kali ini berbeda sekali.
MashaaAllah, bukan hanya bacaan beliau yang saaangat merdu, melainkan juga hati kami masih terdampak oleh khutbah tadi dan ditambah ayat-ayat ini tadi sempat dibahas jadi kami (saya) paham arti dan maknanya –setidaknya sejauh yang tadi dibahas di khutbah. Betapa istimewa shalat Jumat saat itu. Siapa sih orang ini???
Sayang sekali saya buru-buru harus pergi setelah selesai shalat Jumat karena mau pergi ke Glasgow (kota sebelah) bersama teman-teman Indonesia yang main dari kota Birmingham, jadi saya tidak sempat investigasi siapakah sang Imam. Di jalan keluar ada beberapa orang saya tanya dan semuanya tidak tahu.
Agak malam, saya menerima email dari Muslim Association of Britain – Edinburgh. Mereka adalah organisasi yang kelihatannya sedikit mengadopsi model ikhwani, dan mengadakan Brothers Circle (liqo) setiap minggunya. Biasanya email yang mereka kirim adalah mengingatkan kami untuk hadir di sesi berikutnya sekaligus mengingatkan pembicara, karena pembicaranya bergantian tiap minggunya dan kami-kami juga yang mengisi (di sini saya mendapat amanah mewakili Islamic Society di Edinburgh University untuk membedah buku In The Early Hours karya Ustadz Khuram Murad). Kali ini email berisi hal yang lain, yaitu bahwa yang tadi mengisi khutbah akan mengisi sebuah kuliah umum pada keesokan harinya. Di situlah tercantum identitas Sang Khatib yang sebelumnya masih misterius.
Beliau, hafidzahullah, ternyata adalah Shaykh Dr. Raed Fathi dari Masjid Al-Aqsha.
Sayang sekali saya tidak bisa menghadiri kuliah umum beliau karena ada di luar kota. Tapi saya tidak akan bisa dan inshaaAllah tidak akan mau melupakan nasehat dan permintaan beliau dalam khutbahnya itu.
PS: masih ada yang bertanya-tanya kenapa beliau harus berpakaian seperti itu, padahal bukannya beliau tidak punya pakaian bagus. Jawaban saya sama: Saya nggak tau dan saya nggak peduli.