BEBERAPA CATATAN TERHADAP KHOTBAH JUMAT HARI INI (Mushala Al Hikmah, Fakultas Filsafat UGM)
Khotibnya tidak saya ingat namanya tapi beliau sudah Ph.D. Pake gamis hitam dan sorban hijau unyu. Secara umum saya suka mendengarnya, walaupun panjangnyaaa mashaaAllaah mengalahkan masjid kampus UGM! Barangkali ini khutbah paling menarik yang saya pernah dengar di Filsafat UGM.
Secara konten, sepemahaman saya beliau banyak kurang tepat. Misalnya beliau cara beliau mengatakan bahwa syariat tidaklah cukup, butuh thoriqoh dan ma’rifat. Misalnya dengan mengatakan bahwa “banyak kok orang shalat tapi ternyata masih cinta dunia”. Bukannya itu salah, tapi CARANYA itu seakan-akan merendahkan syariat. Shalat itu menjaga dari perbuatan keji (Surah Al Ankabut ayat 45), tapi rasanya tidak ada ulama tafsir yang berbeda pendapat dalam menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah shalat yang sempurna beserta khusyuk. Ulama berbeda pendapat tentang apakah khusyuk adalah syarat sah shalat, tapi rasanya tidak ada perbedan pendapat bahwa khusyuk adalah syarat dari fadhilah shalat. Demikian pula, ulama berijma bahwa shalat tidak boleh dikurang kurangkan rakaatnya karena itu bagian dari syariat. Karena, demi Allah, ma’rifat tidak mungkin menentang syariat. Ketika beliau mengatakan ciri orang beriman sesungguhnya adalah yang MENCINTAI ALLAH (Al Baqarah ayat 165), saya ingatkan juga bahwa ciri lain orang yang beriman adalah yang kalau dikasi aturan itu SAMI’NA WA ATHO’NA (An Nur ayat 51, An Nisa ayat 59, dlsb).
Juga terlalu banyak melakukan penggeseran makna, misalnya merapatkan shalat bukan berarti literal merapatkan kaki tapi merapatkan hati (sambil meledek ‘aliran lain yang menyuruh rapatkan kaki’). Soal kewajiban kakinya mah ranah fiqih, tapi masalah serampangan menolak zohir dalil adalah masalah aqidah. Mencari hikmah itu boleh Pak, tapi menegasikan zohir teks secara serampangan itu saya khawatirkan mirip mirip cara kafir ahli kitab.
Seperti kebanyakan Sufi yang saya temui, dikiranya kalangan tekstualis akan lupa urusan hati sama sekali. Beliau salah. Buktinya, antara lain, ulama mazhab Hanbali yang terkenal yaitu ibn Qudamah Al Maqdisi begitu menyukai Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghazali walaupun banyak penyimpangannya, sehingga beliau mengeluarkan hal hal menyimpangnya, menyortir hadits haditsnya, dan mengeluarkannya dalam Kitab Minhajul Qasidin. Shaykh Nassirudin Albani juga sama, salah satu ulama besar Salafi, tapi khatam Ihya Ulumuddin. Ini salah satu kurang tabayyun, yang barangkali adalah salah satu kekurangan dari hampir semua firqoh yang ada.
Tapi pada sebahagian yang lain sangat baik dan menusuk hati dan pikiran. Tipikal tasawwuf yang banyak bicara tentang olah hati yang penting dijadikan catatan. Antara lain tentang pentingnya cinta kepada Allah dan bukan pada dunia, bahwa tidak ada penderitaan akibat musibah melainkan akibat respon kita terhadapnya. Hal ini yang menjadi banyak permasalahan berat pada umat Islam. Pola pikir materialisme sudah meracuni aqidah umat Islam, padahal pertama kali “orang orang yang bertaqwa” disebut dalam Al Qur’an, Allah menjelaskan bahwa ciri pertama mereka adalah yang beriman kepada perkara ghaib (Surah Al Baqarah ayat 2-3). Tentu beda sekali cara berfikir dan cara mengambil keputusan antara orang yang beriman pada hari akhir dan mencintai Allah dengan orang yang mencintai dunia dan tidak sungguh-sungguh beriman pada hari akhir. Beliau berkata bahwa orang yang cinta Allah akan melihat kematian sebagai gerbang perjumpaan dengan kekasih, sedangkan yang cinta dunia akan tersiksa karena kematian adalah gerbang pemisah dengan kekasih.
Selain itu, dua hal luar biasa yang saya tangkap pada beliau. Beberapa pengalaman pribadi beliau sampaikan tentang masalah hati manusia yang menjadi pangkal masalah. Pertama, jadinya bagi saya lebih ‘relatable’ dengan diri saya. Saya jadi evaluasi diri, sampai sedikit ‘absen pikiran’ dari khutbahnya sebentar. Tapi kedua, yang tersirat dari cerita tersebut, dalam kedua kisah tersebut beliau bukanlah sebagai pengamat saja yang mengambil hikmah (dan ini saja sudah sebuah kebijaksanaan menurut saya), melainkan secara aktif mengambil peran pada kejadian di sekitarnya. Misalnya, dalam salah satu ceritanya, beliau inisiatif mendekati dan mengajak bicara seseorang yang begitu kesal dan tegang dalam perjalanan kereta. Dalam cerita lain, ketika beliau melihat ada orang yang meninggalkan masjid dengan marah marah lalu kemudian kembali justru untuk sujud syukur, beliau menghampiri orang tersebut untuk menanyainya.
Banyak yang mengatakan bahwa kepekaan terhadap sekitar kita adalah sesuatu yang sudah mulai menjadi langka. Setidaknya dengan melihat pada diri saya sendiri, saya khawatir bahwa hal tersebut memang betul. Akan tetapi ada level lebih tinggi daripada sekedar peka yaitu INISIATIF untuk melakukan perubahan. Sudah masyur hadits sahih riwayat Nu’man bin Bashir r.a., bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam.” (Sahih Muslim). Semoga tidak salah saya memahami bahwa jika sudah merasakan ada bagian tubuh yang sakit, adalah alamiah untuk mengobatinya.
Sebetulnya selaras sekali budaya yang dibawa oleh Islam ini dengan budaya tradisional Indonesia yang komunal dan paguyuban. Saling menasehati, saling menolong, adalah bagian yang integral dalam struktur social dari keduanya. Tidak bisa kita hanya “elu elu gue gue”. Dari mana datangnya budaya individualism yang membuat saling menasehati dianggap ‘mencampuri urusan orang’, dan inisiatif menolong belum tentu disambut baik sampai akhirnya kita jadi ragu untuk melakukannya?
Entahlah, banyak sekali PR yang ada pada diri kita baik secara individu maupun secara umat yang makin saya sadari ketika mendengar khutbah tersebut. Mungkin ada yang mengatakan “tidak harus dari Islam untuk melakukan perbuatan baik”. Jawaban saya adalah (1) tapi justru karena sudah Muslim maka harus melakukannya, dan (2) perbuatan baik harus sejalan dengan syariat dan diniatkan karena Allah, karena Rasulullah s.a.w. sebagaimana diriwayatkan oleh Umar bin Khattab r.a. bersabda إنما الأعمال بالنيات atau “sesungguhnya amal dinilai dari niatnya” (Sahih Bukhari dan Muslim).
Allah bersabda dalam Surah Al Imran ayat 110 كنتم خير أمة “kalian adalah ummat yang terbaik”, akan tetapi banyak syarat syarat untuk kita memenuhi kriteria ummat yang disebut di ayat tersebut. Sejauh mana kita sebagai individu dan ummat sudah memenuhinya? Usaha apa yang sudah kita lakukan untuk ke arah sana?