HUKUM MENDOAKAN “TEMPAT TERBAIK DI SISI-NYA” ATAU “HUSNUL KHATIMAH” BAGI NON-MUSLIM YANG WAFAT

Ketika ada yang meninggal dunia, nampaknya sudah jadi kebiasaan untuk kita menyampaikan ucapan belasungkawa yang mencakupi doa kepada si mayyit, misalnya “semoga diberi tempat terbaik di sisi-Nya” atau “semoga husnul khotimah”. Tapi bagaimana kalau yang meninggal adalah non-Muslim? Bolehkah mengucapkan begitu? Berikut uraiannya.


Sederhananya: tidak boleh

Alasan-alasannya:

  1. firman Allah dalam Surah Al-Taubah (9) ayat 113: Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kaum kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka Jahanam.
  2. Nabi Muhammad ﷺ pernah minta izin mendoakan ampunan bagi ibunya, tapi Allah tidak mengizinkan hal tersebut (Hadits riwayat Sahih Muslim, Ibn Majah, dan lainnya). Dalam Tafsir Ibnu Katsir dikatakan bahwa kisah ini adalah sebab turunnya Surah Al-Taubah (9) ayat 113 tadi.
  3. “Tempat terbaik di Sisi-Nya” ini pastilah maknanya surga, dan husnul khatimah itu maknanya “akhir yang baik” yang merupakan di antara pertanda akan masuk surga. Permohonan ampunan di Surah Al-Taubah (9) ayat 113 tadi ya maknanya minta dimasukkan ke surga dengan diampuni dosa-dosanya itu, dan Nabi pun dilarang melakukan itu untuk ibunya sendiri.
  4. Dalam Al-Qur’an dan Sunnah entah berapa ratus atau bahkan ribu menjelaskan bahwa Surga bukan untuk orang kafir. Kalau kita meminta Allah memasukkan orang kafir ke dalam surga, itu seperti ngangkangi ketetapan Allah, na’udzubillah.
  5. Hal ini ibarat orang sudah terbukti tanpa keraguan dengan bukti yang sah di pengadilan bahwa ia melakukan pembunuhan massal, lalu kita doakan “semoga dia bebas”. Ini tidak pantas.

Beberapa syubhat dan jawabannya;

Syubhat 1: “tempat terbaik di sisi-Nya, atau di sisi-Nya, belum tentu bermakna Surga.”

Ini keliru, karena tidak ada makna lain dari ‘tempat terbaik di sisi-Nya’ bagi orang yang sudah meninggal melainkan Surga. Kalaupun bisa dicari-cari makna lain, makna tersebut pasti memaksa dan bukan merupakan penggunaan bahasa yang benar.

Misalnya, silahkan coba berkata pada orangtua anda “kamu seperti anjing dan babi” tapi maksud dalam hati adalah “maksudnya sama-sama ciptaan Allah”. Ada orang yang bisa terima dalih ini?

Sedangkan “sisi-Nya” (tanpa ‘terbaik’) pun tetap tidak benar. Karena “di sisi-Nya” itu maknanya adalah dekat dengan-Nya. Tidak ada orang menyebut “A ada di sisi B” melainkan untuk menyiratkan kedekatan keduanya. Maka, sebutan “di sisi-Nya”, dengan atau tanpa ‘terbaik’,  maknanya sama saja. Hukumnya pun sama saja, yaitu tidak boleh.

Syubhat 2: kan bukan tempat kita menilai kekafiran atau tempat di neraka

Ini sangat betul, karena Allah-lah yang menilai hal tersebut. Karena itu, marilah kita ikuti ketetapan Allah yang sudah tegas mengkafirkan selain orang Islam. Jelas, agama yang diterima Allah hanya Islam saja dalam Surah Ali Imran (3) ayat 19. Ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) dan musyrik (yang menyembah selain Allah) telah terang dikatakan kafir juga di Surah Al-Bayyinah (98) ayat 1 (lihat juga Tafsir Al-Razi pada ayat ini) dan banyak sekali ayat yang mengatakan hal tersebut, dan bahwa nerakalah tempat mereka.

Memang betul kita tidak tahu hatinya, tapi Allah tidak memerintahkan kita untuk melihat isi hati. Kita menilai berdasarkan dzahirnya.

Sebagaimana syair Syaikh Abdul Rahman al-Sa’di (mengandungi qawaid fiqhiyyah):

وترجع الأحكام لليقين

Hukum itu merujuk pada apa yang yakin

فلا يزيل الشك لليقين

Karena itu keraguan tidak akan menghilangkan yang yakin

Lagipula, orangnya sendiri tidak pernah mengaku Muslim kok malah kita yang bilang dia mungkin dalam hatinya Muslim?

Syubhat 3: Kamu Sudah Yakin Masuk Surga?

Mudah-mudahan kalau saya mati dalam keadaan Muslim, saya pasti masuk surga. Perkara ‘mampir ke neraka untuk dicuci dulu’ karena dosa-dosa kecil dan besar saya, ya mudah-mudahan kita selalu bertaubat dan memperbaiki diri. Hati saya? Mudah-mudahan saya terus istiqomah untuk selalu membersihkan jiwa, itu Allah yang nilai jadi anda ndak usah tanya-tanya lah.

Yang jelas salah satu ikhtiar yang penting adalah bahwa tidak boleh melakukan hal-hal yang bisa mengeluarkan dari Islam. Batalnya keislaman seseorang bukan hanya kalau dia tegas pindah agama lain, melainkan juga kalau dia melakukan amalan-amalan yang membatalkan keislaman misalnya berbuat syirik akbar.

Salah satu amalan yang membatalkan keislaman adalah apabila meragukan kekafiran orang yang bukan beragama Islam. Hal ini adalah ijma ulama sebagaimana disampaikan oleh Imam Nawawi dalam Rawdah al-Thalibin, Ibn Hajar Al-Haythami dalam Al-I’lam bi Qawati al-Islam, dan banyak lagi.

Lagipula, seburuk-buruknya kemungkinan, memangnya seseorang harus kurus dulu sebelum boleh mengidentifikasi orang lain sebagai gendut?

Syubhat 4: Dia Dulu Orang Baik!

Silahkan renungkan isi Surah Al-Nur (24) ayat 39:

“Dan orang-orang yang kafir, amal perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila (air) itu didatangi tidak ada apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah baginya. Lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan (amal-amal) dengan sempurna dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”

Renungkan juga isi Surah Furqan (25) ayat 23:

“Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.”

Syubhat 5: Kita Harus Menghormati

Kalau ada non-Muslim meninggal, janganlah dikirimi karangan bunga raksasa dengan tulisan “SELAMAT MENIKMATI JAHANAM!!” Nabi Muhammad ﷺ pun diriwayatkan dalam Sahih Muslim pernah berdiri untuk menghormati ketika ada jenasah orang Yahudi lewat (bukan jenasahnya jalan sendiri, maksudnya iringan pengantar jenasahnya).[1]

Pertanyaannya adalah: bukankah kita lebih lagi harus menghormati, bahkan mematuhi Allah?

Kalau disuruh pilih hormati Allah atau non-Muslim, tentulah Allah lebih layak dihormati karena Dia bahkan harus disembah. Tapi di sini kita tidak perlu memilih. Kita hormati Allah maupun non-Muslim yang wafat sesuai dengan proporsinya. Kita hormati dan patuhi Allah dengan tidak mendoakan ampunan atau kebaikan bagi si non-Muslim. Kita hormati pula si mayyit dan keluarganya dengan tidak mengucapkan hal-hal yang buruk, atau bisa juga mendoakan ketabahan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Apabila kita kenal dengan yang meninggal, atau setidaknya tahu orangnya, bisa juga kita sampaikan ucapan belasungkawa yang panjang dan baik. Misalnya:

“Turut berduka cita atas wafatnya Bapak Fulan. Sesungguhnya beliau adalah orang yang selalu berbuat baik pada kita, dan sayangnya kini kita semua akan kehilangan kebaikan beliau itu. Semoga keluarga mendiang diberikan ketabahan, dan semoga jadi pengingat untuk kita semua karena sesungguhnya kita semua juga sedang ‘dalam antrian’.”

Catatan: gunakanlah mendiang untuk non-Muslim, sebab ucapan almarhum punya dua kemungkinan makna: (a) yang dirahmati oleh Allah dalam kematiannya itu, atau (b) mendoakan rahmat bagi yang telah wafat itu. Sudah tahu ya kenapa itu tidak boleh?


Catatan kaki:

[1] Ulama berbeda pendapat apakah perbuatan ini adalah anjuran (sebahagian ulama Syafi’iyyah dan Ibn Hazm) atau makruh (mu’tamad Hanabilah dan Hanafiyah, serta sebahagian ulama Syafi’iyyah), sebab kemudian Nabi ﷺ di kala lain tidak berdiri ketika ada iringan jenasah lewat. Intinya tidak haram untuk menghormati.