Fatwa MUI Tidak Salah: Menanggapi Tulisan Pak Rizal (Plus Bonus Di Akhir)

 

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim,

 

Tulisan ini dibuat sebagai tanggapan terhadap tulisan milik Bapak Rizal Panggabean, seorang rekan sejawat dari Fakultas ISIPOL UGM yang jauh lebih senior daripada saya. Kami rasanya belum pernah ketemu, tapi reputasi beliau sebagai akademisi yang luar biasa top sudah sampai ke saya bahkan sejak saya masih mahasiswa dulu. Kali ini beliau menulis sesuatu yang menarik soal fatwa MUI, yaitu “Fatwa MUI Yang Salah dan Tidak Perlu” (baiknya link tersebut dibaca dulu sebelum lanjut membaca tulisan ini).

Ada beberapa poin yang membuat saya tergelitik.

Pertama adalah apa yang barangkali merupakan perbedaan persepsi tentang “kapan Islam mulai ada”. Persepsi beliau adalah Islam dimulai dari Rasulullah s.a.w., maka dari itu apapun yang serupa dengan peradaban lain berarti adalah semacam ‘transplantasi’. Pemahaman saya adalah Islam diturunkan kepada dan didakwahkan oleh semua Nabi mulai dari Adam a.s., Ibrahim a.s., Musa a.s., dan Isa a.s. lalu kemudian disempurnakan oleh Rasulullah Muhammad bin Abdillah s.a.w. antara lain dengan Karena itu, jika menyetujui bahwa Islam baru dimulai dari Rasulullah s.a.w., ritual haji yang diawali dari Nabi Ibrahim a.s. tentu adalah “diambil dari praktik sebelum Islam”. Sedangkan jika setuju bahwa semua Nabi adalah dari Islam, maka tentu kita mafhum bahwa semua rangkaian haji adalah dari Islam.

Kedua adalah mungkin asumsi bahwa keserupaan satu dengan lainnya adalah berarti mengadopsi dari satu ke yang lainnya. Pandangan saya adalah belum tentu. Misalnya sumber hukum Islam utama yaitu Al Qur’an dan Sunnah sebagai primer dan ijtihad ulama sebagai sekunder (termasuk ijma dan qiyaas) adalah diambil dari Kaisar Justin (Nasrani) yang mengambil dari Yahudi. Agak sulit membayangkan bahwa Rasulullah s.a.w. belajar dari kitab-kitab Yahudi dan Nasrani, mengingat beliau adalah seorang ummi dan tidak ada riwayat yang menunjukkan beliau belajar dari mereka. Kemudian, posisi Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum primer di atas ijtihad adalah berdasarkan Surah An Nisa ayat 59 yang merupakan firman Allah SWT, sehingga jadi muncul pertanyaan bagi saya: apakah maksudnya adalah Allah mencontek dari Yahudi atau Nasrani? Ataukah, sebagaimana paragraph sebelumnya, bisa jadi memang ini adalah salah satu ajaran kerangka hukum dari Allah yang diturunkan kepada Musa a.s.?

Barangkali butuh pengkajian khusus untuk sumber hukum ini, karena sejujurnya penarikan kesimpulan yang dibuat oleh B. Jokisch sebagaimana dikutip oleh Robert G. Hoyland ini menimbulkan banyak pertanyan. Salah satunya adalah analogi sunnah dengan mores et consuetudinis (hukum kebiasaan). Memang ada yang mengartikan sunnah dengan tradition, tetapi maksud dari tradition dalam konteks sunnah tidak sama dengan tradition dalam konteks hukum kebiasaan. Sunnah ini adalah apa yang dikatakan, dilakukan, atau dibenarkan oleh Rasulullah s.a.w., sedangkan hukum kebiasaan ini adalah apa yang oleh masyarakat dianggap sebagai hukum melalui kebiasaan praktek di masyarakat itu.

Belum lagi bahwa Sunnah bukanlah berposisi di bawah Al Qur’an dengan cara yang sama seperti hubungan scripti leges terhadap mores et consuetudinis. Al Qur’an dan Sunnah saling menjelaskan dan dapat saling takshish-‘aam dan (menurut sebagian ulama) nasikh-mansukh dan lain sebagainya. Asumsi dasarnya adalah bahwa Rasulullah s.a.w. adalah ma’sum. Beda dengan hubungan hierarkial yang mana lex specialis derogat legi generalis serta lex posteriori derogat legi apriori (bahasa latin untuk takshish-‘aam dan nasikh-mansukh) tidak bisa dilakukan oleh sebuah lex inferiori kepada lex superiori. Banyak lagi yang bisa dikaji lebih lanjut.

Ketiga, mungkin ini yang menggelitik saya sebagai orang hukum yaitu bahwa ketika sebuah fatwa adalah setara dengan legal opinion, justru tidak ada sama sekali dalil hukum MUI yang dibahas dalam tulisan ini. Yang ada justru adalah praktek praktek masyarakat atau kerajaan Islam yang disoroti lalu disimpulkan sebagai “inilah Islam”. Jika memang demikian mari kita ambil juga praktek yang dilakukan oleh the Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) sebagai sumber, karena klaimnya sebagai Khilafah Umat Islam dan berlandaskan Islam. Tapi, ketika itu saya usulkan, tentu segala kalangan mulai dari liberal sampai konservatif akan berkata “mereka tidak sejalan dengan ajaran Islam!”. Lantas kenapa kadang kita melihat praktek masyarakat Islam dan mengesampingkan dalil, dan kadang kita mengesampingkan praktek masyarakat Islam karena dalil?

Ukuran kebenaran dalam Islam bukan apa yang kebetulan dipraktekkan oleh masyarakat Islam, melainkan oleh dalil. Fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia ini sudah rinci sekali dalil dalil hukumnya dari Al Qur’an dan Sunnah serta menghadirkan juga kaidah kaidah fiqih serta qaul ulama. Barangkali di sinilah tempat terbaik untuk memulai jika ingin mengatakan bahwa Fatwa MUI adalah salah, dan kalau dalilnya belum ditebang ya fatwa-nya masih bertahan. Rasanya tidak perlu saya jabarkan, karena linknya sudah ada di atas. Justru bisa saya tambah lagi tentang kewajiban menyelisihi umat agama lain dalam hal peribadatan, yaitu hadits riwayat Abdullah ibn Umar dalam Sahih Bukhari terkait sejarah adzan. Menggunakan lonceng dan terompet dilarang karena menyerupai Nasrani dan Yahudi.

Memang soal pluralitas ini sangat popular di Indonesia. Beranekaragam suku, agama, ras, campur jadi satu. Betapa manisnya ketika ada aksi-aksi sosial lintas batas suku agama dan ras. Tapi selayaknya hampir semua hal di muka bumi ini, tidak ada yang tidak memiliki batasan. Tidak ada larangan berbuat baik dan adil kepada umat agama lain, sebagaimana dalam firman Allah di Al Mumtahanah ayat 8, dan banyak sekali dalil lain tentang hal ini. Akan tetapi, sesuai yang difatwakan oleh MUI, batasnya adalah bahwa tidak boleh menyerupai umat agama lain dalam perkara ritual keagamaan. Sedangkan untuk hal-hal yang bersifat muamalah jelas tidak ada masalah, secara ‘hukum asal’ semuanya boleh sampai dengan ditemukannya dalil yang melarangnya.

Setiap hukum punya batasan masing-masing, dan ini termasuk norma sosial yang juga memiliki batasan-batasan tertentu. Inilah batasan dalam Islam yang difatwakan oleh MUI yang bukan ‘mewakili umat Islam Indonesia’ selayaknya ‘DPR mewakili aspirasi rakyat Indonesia’ melainkan merupakan ahli ahli fiqih yang mengeluarkan fatwa berdasarkan dalil-dalil yang baik. InshaaAllah fatwa ini tidak salah.

 

AL BONUS AL TAMBAHAN

Pertama, saya sudah pernah membuat dua tulisan tentang ucapan selamat natal dalam kaitannya dengan toleransi, silahkan lihat Pesan Damai dan Toleransi Jelang Natal dan juga Ucapan Selamat Natal: Sebuah Sanggahan.

Kedua, salah satu sahabat saya Syaikh Khairul Amin Al Mualimini Al Buruuj Al Trenggiling (mahasiswa S1 Jurusan Ilmu Al Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga) juga memberikan tanggapan tapi ybs masih sok sibuk jadi saya kopaskan saja di sini:

Simbol memang masalah yang cukup pelik. Sy melihat falacy yang dibangun oleh penulis. Setidaknya menurut pandangan saya.

1. Ad beberapa Watak Islam sebagai diin. Prof Din Syamsuddin menyebutkan beberapa, Diantaranya Din Al tauhid, Din Al adalah, Din Al rahmah, Din Al hadharah. Saya melihat penulis berangkat dari basis watak Islam sebagai din Al rahmah semata. Produk pemahaman nya snagat tidak holistik akhirnya.

2. Dalam kajian studi agama, dikenal doktrin dan dogma kebenaran, dan merupakan konsekuensi untuk meyakininya adalah kebenaran. Yang menarik adalah mencoba melihat identitas hanya sebagai ritus peralihan saja. Sebagai sekedar simbol identitas. Padahal pemilihan terhadap sesuatu simbol atau atribut sarat dengan nilai. Dan ia tak melihat proses islamisasi yang terkandung di dalamny purifikasi.

3. Ungkapan, : tetapi MUI dapat mengeluarkan hikmah agar mencintai sesama menunjukkan posisinya dan bagaimana org ini melihat MUI. Fatwa yang tak perlu dan salah adalah hasil produk pemikiran dari posisi ini. Posisi MUI sebagai otoritas diragukan, snagat kental nuansa posmo nya.

4. Istilah humanisme islam menjadi titik kontroversi. Bagaimana humanisme ala Islam. The human as measure all things ala Islam. Rancu bagi saya. Padahal watak dasar Islam adalah humanis-religius itu sejalan.

6. Ungkapan : “iman Islam tdk seremeh itu” adalah diantara yang paling menarik. Logika ini dipakai oleh beberapa pemikir Islam kontemporer dalam Amatan saya. keyakinan teologis ini, seakan akan sangat memperlihatkan ghirah keislaman dan memperlihatkan defense terhadap serangan keimanan islam. Namun pada hakikatnya bangunan ungkapan ini rapuh sekali. Seakan terdapat nilai kesombongan. Para ulama dahulu saja bersyahadat berkali2 mengulang zikir dan tahlil. Dalam kajian aqidah, ulama sepakat iman itu Yazid dan yanqus. Ini tdk bisa diksempingkan. Saya melihat penulis kurang memperhatikan hal itu (konsep iman Yazid wa yanqus).

7. Apakah tegas itu tdk toleran? Dalam suatu kesempatan di seminar, saya melihat dua tokoh agama yang luarbiasa. pertama prof ust Yunahar Ilyas yg kedua prof Romo Franz Magnis Suseno. Keduanya sepakat dan sama sama menyatakan bahwa kebenaran fundamental dalam agama harus ditegaskan. Agama harus punya truth claim dan mempertegasnya. Konsekuensiny, kalau atribut agama adalah bagian dari khazanah agama yg sarat nilai, maka harus dipertegas. Dan ini yg sedang dilakukan oleh MUI saya kira. Lanjut beliau berdua, justru toleran itu mempertegas rambu antara kedua agama ini, dan saling menghargai rambu2 itu. Toh, kekuatan fatwa otoritas agama mengikat pemeluk agama tertentu saja.

8. Dan yang terakhir kalau Hans Kung bilang tiada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama2, maka berasumsi bagaimana perdamaian agama2 dapat terjadi kalau internal agama saja konflik.??. Fakta lapangan menyatakan bahwa ngasih kue ke orang lain seakan lebih baik dari ke saudara sendiri. Padahal idealnya kasih saudara dahulu, baru deh kasih yang lain.

9. Akhirnya saya hanya ingin mengatakan bahwa fatwa MUI perlu dan nggak salah kok. Yang salah adalah terlalu sombong untuk mengatakan iman kita kuat. Islam itu kuat, tapi iman pemeluk agama Islam mengalami fluktuasi, Yazid dan yanqus. So, fatwa MUI sebagai otoritas, ingin merevitalisasi konstuk keimanan. Mengingatkan umat agar tak yanqus.

Mohon dikoreksi jika ada kesalahan. Allahu ‘alaam. Tabik ??