My Ex (Student) vs Petugas Bandara: So Proud of You Hahahaha
Baru pagi ini dapet info dari mantan saya. Bukan mantan pacar tapi mantan bimbingan skripsi. Untuk kepentingan keselamatan, kita samarkan saja namanya jadi Sherin Pakpahan. Ada peristiwa menarik di bandara Adisutjipto.
Nah nih anak saya juara banget menghadapi orang Bandara yang (menurutnya) mempersulit.
Jadi ceritanya dia mau bawa barbell 1 kg ke kabin. Nah, waktu discan kena lah sama petugas. Katanya si petugas itu barang berbahaya, dipake nonjok orang sakit. Well, gimana ya. Ini baru aja Kim Jong Nam dibunuh di Malaysia (diduga) oleh orang Indonesia. Dan si Sherin ini juga besarnya di Malaysia, minggu lalu baru aja ke Malaysia dan ketemuan kita. Mungkin ekstra hati hati?
Dan katanya harusnya dimasukkan ke bagasi barbell ini, dan ya kalo enggak ya disita.
Eh tapi si Sherin langsung full anak-hukum-nyolot-mode. Langsung dihajar pake yang aneh aneh:
“bedanya nonjok pake barbel 1kg ama lempar rendang dibekuin 1kg ke muka orang kenapa rendang gak disita”
Lalu
“kalau kamus gimana mas? 1 kamus nabok orang sakit loh. Heels saya? Enggak diambil sekalian mas? Pecah kepala orang saya lempar.”
Dan katanya orangnya diem aja.
Katanya dia juga sempat bilang “yaaaa saya anak fakultas hukum mas, miris kalo diluar gak ada dipajang ketentuan di UU ttg barbel terus harta saya dirampas kayak gitu. Sedih ama kelemahan UU di indo”
Agak protes sih saya, kok anak fakultas hukum mbok ngaku aja gue sarjana woy, dan dosen pembimbing skripsi gue keren banget lho (oke yang ini ga penting <3 ) but yeah, oke juga lah ya bawa kritik hukum ke petugas scan barang di bandara. hahaha
Akhirnya berhasil Barbelnya dikembalikan dan boleh dibawa. Tapi kemudian si petugasnya nekat betul bilang “jangan ngulangin lagi ya“. Eh nantangin dia. Dan kelihatannya Sherin ini pegang prinsip ‘loe minta, gue beri’.
Langsung dibales “saya mah ikut UU yang berlaku di indo aja mas. Kalo dilarang ya baru saya gak ngelakuin. Mas mungkin bisa jadi pelopornya di kantor mas buat bikin UU melarang barbel berlaku”
Darrrrrr
Mungkin kita bisa dapatkan beberapa faedah di sini.
Pertama, inilah pentingnya kekuatan hujjah. Dan kekuatan hujjah yang baik akan sulit datang tanpa memiliki ilmunya.
Kedua, yah, sebenarnya saya kasihan juga kepada si petugas. Saya yakin ketika beliau masih kecil dan ditanya “apa cita citamu, nak?” bukan “mau nge-scan barang di bandara” jawabannya. Tapi kalau mempertahankan barang, mau gimana lagi?
Ketiga, di sinilah kita harus bijaksana. Okelah sang petugas belum tentu jago menafsirkan hukum. Emangnya anak sarjana hukum udah pasti jago juga? Diskursus lah. Kalo saya pribadi akan memilih ke bagasi saja, karena kasihanlah. Tapi setiap orang bisa punya prioritas masing-masing. Sherin sendiri malas ngantri dan malas menunggu bagasi, which is legitimate untuk convenience. Ini toh bukan perjuangan keadilan tentang hajat hidup orang banyak juga.
Tapi bijaksana di sini adalah bagaimana kita menyikapi konflik. Terlepas dari kita setuju atau tidak dengan Sherin atau si petugas bandara, kita harus menyikapi konflik dengan arif dan mengambil hikmah darinya. Karena kalau hikmah yang didapat oleh Sherin cuma nggak jadi barbellnya disita, atau bagi saya cuma ketawa karena lucu, atau bagi si petugas bandara yang jadi kesal, kan sayang sekali.
Banyak hikmah yang bisa kita dapatkan dari peristiwa peristiwa kecil sekalipun. Minimal saya jadi tahu bahwa baiknya jangan bawa barbell ke bandara. Atau kalau misalnya sudah mentok, kita harus terus percaya diri dengan ilmu yang kita miliki untuk menyelesaikan masalah kita. Dan, mungkin penting juga untuk menjaga adab saat terjadinya konflik tersebut. Sherin, dalam ceritanya, mengatakan bahwa ia telah berbahasa dengan ramah dan tidak berteriak teriak (walaupun substansinya tajam sekali)
Atau bahwa Sherin dan si petugas bandara pun bisa meninjau lagi kebijakannya atau hujjahnya, karena ketika hampir semua benda bisa dikatakan berbahaya kalau dipaksakan, konsekuensi a contrario-nya adalah bahwa semua benda bisa dikatakan tidak berbahaya kalau dipaksakan. Di mana batasnya? Di sini memang sulit, dan terkadang memang harus sami’na wa atha’na kalau dengan petugas Negara. Kita tidak selalu setuju dengan hukum penguasa, tapi jika semua argument didengar dan setiap kasus terbuka untuk perdebatan langsung di tempat tanpa mekanisme review, akan terjadi disorder yang bertentangan dengan tujuan hukum yaitu membuat ketertiban. Semua orang hukum paham ini.