Personalitas Hukum Internasional Nabi Muhammad (ﷺ): Sebagai Nabi atau Sebagai Kepala Negara?
Baru saja terbit tulisan yang sangat menarik berjudul “International Legal Personality of Prophet Muhammad (pbuh)” di IIUM Law Journal, karya pembimbing disertasi doctoral saya, yaitu Assoc. Prof. Dr. Mohd. Hisham bin Mohd Kamal (Department of Shariah, Ahmad Ibrahim Kuliyyah of Laws, International Islamic University of Malaysia). Ini adalah tulisan terkait sejarah hukum internasional yang sangat penting, dan 100% terluput dari pendidikan hukum internasional bahkan di negara-negara Islam sekalipun.
Berikut ada sedikit pengantar supaya tidak terlalu roaming, lalu pengantar super singkat kepada tulisan Prof Hisham (yang bagi kalangan non-hukum mungkin akan sulit dipahami tanpa baca pengantarnya), lalu link kepada tulisan Prof Hisham langsung yang bisa diunduh dengan gratis tis tis. Silahkan langsung ke bagian mana yang paling enak untuk anda.
SEBAGAI PENGANTAR KHUSUSNYA UNTUK KALANGAN NON-HUKUM, ADA BEBERAPA POIN YANG MUNGKIN PERLU DIPAHAMI DULU.
Konsep Personalitas Hukum Secara Umum (Minimal baca 1 paragraf pertama saja juga oke)
Istilah ‘personalitas hukum’ adalah kemampuan untuk menyandang hak dan kewajiban menurut hukum.[1] Yang memiliki ‘personalitas hukum’ dikatakan sebagai ‘subjek hukum’. Karena memiliki personalitas hukum inilah, subjek hukum dapat dikenai hukum, bisa menuntut bisa dituntut, dapat pula melakukan perbuatan hukum misalnya melakukan perjanjian. Subjek hukum ini bisa berupa semua orang (manusia) atau badan hukum tertentu yang diatur oleh hukum (misalnya Perseroan Terbatas atau PT).
Oh ya, perjanjian merupakan hukum lho bagi orang atau badan hukum yang mengikatkan diri kepadanya, [2] sebagaimana dikenal dalam banyak sistem hukum misalnya hukum Islam melalui a.l. Surah Al Maidah ayat 1 يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِۚ atau asas hukum barat pacta sunt servanda. Karena itulah jika ada yang melanggar perjanjian itu bisa digugat melalui sarana hukum.
Perlu diingat bahwa sebuah badan hukum isinya ya orang juga yang mengelola. Tapi signifikansi pengakuan sebuah badan hukum adalah keterpisahan personalitas hukum antara individu pengelola dan badan hukum itu sendiri, sehingga si pengelola tidak bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan atas nama badan hukum tersebut.[3]
Konsep Personalitas Hukum dalam Hukum Internasional
Dalam hukum internasional secara inti konsepnya sama saja dengan di atas, hanya saja konteksnya adalah dalam hukum internasional dan sarat pengakuan.[4] Subjek hukum internasional paling utama adalah negara.[5] Organisasi internasional publik pun terkadang[6] merupakan subjek hukum internasional, dan konsepnya agak mirip badan hukum tadi: dia dikelola oleh negara-negara anggotanya tapi sang organisasi internasional punya personalitas hukum sendiri yang terpisah.[7] Individu (manusia) secara umum bukanlah subjek hukum internasional, tapi kemudian menjadi demikian dalam beberapa konteks khusus saja misalnya dalam hukum Hak Asasi Manusia internasional.[8]
Nah, ada beberapa yang sangat istimewa jadi subjek hukum internasional, misalnya adalah Tahta Suci (the Holy See), yang telah melakukan banyak perjanjian internasional dan jadi anggota banyak organisasi internasional publik sejak jauh sebelum (dan terlepas adanya) ada negara Vatican City.[9]
PS: Sebetulnya penjelasannya panjang, banyak subjek hukum lain, tapi yang paling penting untuk dibahas sekarang mungkin ini dulu saja.
Personalitas Hukum Nabi Muhammad (ﷺ): sebagai Nabi atau sebagai Kepala Negara?
Inilah pengantar super singkat (inshaaAllah) pada tulisan Prof Hisham. Simpelnya, kita telah mengetahui dalam Sirah bahwa berulang kali Nabi Muhammad (ﷺ) melakukan diplomasi dan perjanjian dengan kepala-kepala negara lain misalnya Raja Habshi, Raja Persia, dan lain sebagainya.
Pertanyaannya: apakah beliau melakukan demikian sebagai kepala negara Madinah[10] atau sebagai Nabi?
Pertanyaan ini penting karena dalam sekian ribu tahun sejarah umat manusia sudah dikenal bahwa seorang kepala negara (raja, kepala suku, kaisar, dll) ini melakukan tindakan-tindakan hubungan internasional dan hukum internasional misalnya diplomasi dan perjanjian internasional, ini bukanlah karena personalitas hukum mereka secara pribadi melainkan karena mereka mewakili fungsi negara.[11] Dengan kata lain, seorang kepala negara hanya cerminan dari personalitas hukum negaranya saja.
Dalam tulisannya, Prof Hisham melakukan analisis terhadap tindakan-tindakan hukum internasional yang dilakukan oleh Nabi Muhammad (ﷺ) termasuk antara lain mengamati struktur perjanjian-perjanjian internasional yang ditandatangani oleh beliau. Perlu dicatat, dari naskah-naskah perjanjian bisa ditemukan bukti-bukti terkait personalitas hukum. Misalnya dalam organisasi internasional, kalau yang menandatangani perjanjian adalah perwakilan organisasi maka sang organisasi punya personalitas hukum sendiri. Sedangkan, jika yang menandatangani adalah perwakilan dari masing-masing negara anggota maka nampaknya sang organisasi tidak punya personalitas hukum sendiri.[12]
Kesimpulan Prof Hisham sangatlah menarik. Nabi Muhammad (ﷺ) memiliki personalitas hukum internasional bukan sebagai kepala negara Madinah melainkan justru dalam kapasitasnya sebagai Nabi dan Rasul Allah. Ini bisa terjadi karena pengakuan oleh aktor-aktor internasional dalam praktek praktek hukum internasional yang terjadi pada masa itu.
Untuk selengkapnya, silahkan baca langsung tulisan Prof Hisham melalui link ini!
CATATAN KAKI
[1] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), 3rd ed. (Yogyakarta: Liberty, 1991), 54.
[2] Ibid., 97–98.
[3] Misalnya lihat Pasal 3(1) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dengan pengecualian sesuai konsep piercing the corporate veil. Lihat Pasal 3(2) di UU sama, atau Try Widiyono, “Perkembangan Teori Hukum Dan Doktrin Hukum Piercing the Corporrate Veil Dalam UUPT Dan Realitasnya Serta Prospektif Kedepannya,” Lex Jurnalica 10, no. 1 (2013): 26–39.
[4] Yaitu yang bersumber dari perjanjian internasional, kebiasaan internasional, dan lain sebagainya. Penjelasan singkat bisa lihat di sini, halaman 4 sampai 6
[5] Malcolm N Shaw, International Law, 6th ed. (New York: Cambridge University Press, 2008), 197.
[6] Kadang ada organisasi internasional yang punya personalitas hukum kadang juga tidak, itu semua tergantung pada AD/ART (atau disebut instrument konstitutif) dari organisasi tersebut. Baik secara eksplisit, maupun implisit lalu dibarengi dengan praktek-praktek. Lihat: Chittharanjan Felix Amerasinghe, Principles of the Institutional Law of International Organizations (Cambridge University Press, 2005), 66–104.
[7] Ibid
[8] Tapi ini umumnya tidak langsung, yaitu via negara sebagai pengemban kewajiban hukum HAM internasional. Banyak detail lain dalam hal ini, silahkan cek Shaw, International Law, 257–59.
[9] Ibid., 243–44.
[10] Zaman itu belum ada konsep ‘Modern State’ yang baru mulai dikenal sejak sekitar abad 17 Masehi. Lebih rumit lah pokoknya, nanti rinciannya bisa dibaca di artikel Prof Hisham.
[11] Armed Activities on the Territory of the Congo (New Application : 2002) (Democratic Republic of the Congo v. Rwanda), Jurisdiction and Admissibility, Judgment, I.C.J. Reports 2006, p. 6, para 46
[12] Pertama, lihat catatan kaki No. 6. Kedua, di sini makanya ASEAN agak bingung. Kadang-kadang dia bikin perjanjian diwakili sekjennya (berarti punya personalitas hukum), kadang-kadang dia bikin perjanjian ditandatangani semua perwakilan negara anggota. Lihat: Jiangyu Wang, “The International Legal Personality of ASEAN and the Legal Nature of the China-ASEAN FTA,” in China-ASEAN Relations: Economic and Legal Dimensions, ed. John Wong, Zou Keyuan, and Zeng Huaqun (Singapore: World Scientific Publishing, 2006), 120–26.