“Daripada ‘Islam Arab’ yang gemar konflik, lebih baik ‘Islam Indonesia’ yang lebih terbuka”???

Image result for Arab dan Indonesia

 

“Daripada ‘Islam Arab’ yang gemar konflik, lebih baik ‘Islam Indonesia’ yang lebih terbuka”???

Kalimat ini sering sekali didengar, khususnya terucap dari kalangan liberal atau kalangan nusantarais. Memang klaim ini terasa indah sekali, apalagi kalau melihat bahwa di area Timur Tengah sana sedang banyak dilanda konflik bersenjata. Ditambah lagi, ada wacana-wacana ‘anti-Wahabi’ yang didengung-dengungkan sebagai paham yang menjadi sumber radikalisme. Hal ini dibenturkan dengan keindahan slogan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dan segala romantisme terkait persatuan Indonesia, maka jadilah sudah. Ditambah-tambah dengan beraneka dalil yang dibawa yang konon mendukung Indonesia yang ‘plural’ dan ‘berbhinneka tunggal ika’, mantep dah.

Klaim ini, bagi kalangan yang mengucapkannya, sudah dianggap benar dan menjadi basic assumption untuk membuat beraneka argumen-argumen lanjutan misalnya tentang bagaimana perlunya mengekspor Islam nusantara dan lain sebagainya (yang mana ini aneh. Orang yang mengatakan ‘Negara kami tidak boleh menerima Islam dari negara yang asing’, juga mengatakan ‘kita perlu mengekspor Islam nusantara ke negara lain’). Saya pun dulu rasanya menerima saja statement tersebut, tapi rasanya kini kita perlu lebih mengkritisi.

Maka mari kita coba mengkaji kalimat tersebut, yang ternyata tersusun atas dua klaim.

“Islam Arab yang gemar konflik”

Mari kita survei sedikit di area Timur Tengah sana, konfliknya seperti apa.

Pertama, Yaman. suku Houtsi yang beragama Syiah Zaidiyah melakukan kudeta terhadap pemerintah Yaman (Pemerintah Yaman mengklaim ini adalah untuk mengaplikasikan Hukum Zaidiyah, Houtsi mengklaim ini adalah karena pemerintah Yaman korup). Kemudian setelah pemerintah Yaman sudah kalah (ibukota direbut), Presiden Mansur Hadi minta tolong Saudi dan koalisinya untuk membantu.

Kedua, Mesir. Demonstrasi anti diktator oleh kalangan liberal, anti-kapitalis, feminis, lalu kemudian Ikhwanul Muslimin turut meramaikan. Akhirnya ganti presiden, lalu militer yang melakukan kudeta. Jadilah Al-Sisi presiden setelahnya.

Ketiga, Suriah. Demonstrasi kepada Presiden Assad (beragama Nushoiriyah) berakhir berdarah karena militer merespon dengan brutal. Akhirnya muncullah pemberontakan yang membentuk FSA yang sekuler nasionalis tapi banyak elemen-elemen ‘Islamis’ yang bercorak Aswaja Asy’ariyah bermazhab Syafi’i. Baru kemudian datanglah Al-Qaeda dan berbagai kelompok Islamis yang turut meramaikan.

Keempat, Palestina. Sekian lama sudah Israel menjajah wilayah Palestina secara tidak sah menurut hukum internasional, yang murni dikuasai Palestina hanya Gaza dan West Bank (itupun West Bank masih sering digerus oleh Israel). Dalam beberapa konfrontasi, Palestina melawan agresor Israel dengan semangat Jihad Fi Sabilillah.

Sebenarnya masih banyak (Libya dan Sudan dll), tapi menarik ya memang begitu banyak konflik di Timur Tengah. Padahal mereka satu bangsa dan satu bahasa? Hanya saja, yang ingin saya pertanyakan adalah: apakah konflik-konflik ini adalah wujud dari bentuk keislaman khas dari wilayah sana? Ternyata mayoritas dari konflik tersebut tidak ada hubungannya dengan keislaman, melainkan mayoritasnya adalah alasan-alasan non-religius.

Pun ada yang bercorak religius. Bila benar Houtsi memberontak karena ingin memberlakukan hukum Zaidiyah (ini dipersengketakan dan disangkal pihak Houtsi sendiri), maka Syiah Zaidiyah itu hanya sepersekian dari Islam di Arab (kalaupun mau dihitung sebagai Islam). Kecil sekali. Inikah wajah “Islam Arab”? Jihad fi sabilillah yang dikobarkan oleh rakyat Palestina memang berdasarkan Islam. Tapi mengobarkan Jihad kepada penjajah adalah sebuah ajaran Islam yang dikenal juga di Indonesia, misalnya resolusi Jihad yang difatwakan oleh Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari.

Mananya ‘Islam Arab yang gemar konflik’?

Apalagi kalau mau mencari Wahabi di sana, sulit sekali. Kalaupun Al-Qaeda atau ISIS mau dianggap Wahabi, mereka muncul di konflik Suriah baru di tengah-tengah. Dan ke-Wahabi-an mereka pun tidak bisa disamakan dengan ke-Wahabi-an Saudi. Al-Qaeda mengkafirkan Saudi, dan para Ulama Saudi memfatwa sesat Al-Qaeda, dan entah berapa banyak anggota Al-Qaeda yang sudah ditangkap oleh Saudi.

Terlalu banyak perbedaan antara Wahabi ala Saudi dengan Al-Qaeda untuk semua ‘Wahabi’ dianggap ideologi yang membawa kekerasan. Sulit untuk berargumen bahwa “Nyatanya pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab banyak yang jadi teroris, walaupun sebagian tidak”, karena setidaknya dua hal:

(a) Logika kalimat tersebut juga bisa dipakai untuk banyak hal. Misalnya: “Nyatanya pengikut Muhammad bin Abdillah salallaahu ‘alayhi wa sallam ….” nah lho??!!

(b) Mungkin memang perlu sensus untuk membuktikannya, tapi selintas mudah sekali kita melihat bahwa walaupun Salafi ala Saudi ini adalah minoritas di dunia, tapi jumlah pengikutnya juwaaaaaaaaaaaaaaaaaauh lebih banyak daripada pengikut Al-Qaeda.

(c) Coba tebak: Ulama yang mengatakan bahwa “Orang kafir diperangi karena kekafirannya semata (bukan ketika membahayakan umat Islam)” itu Imam Ibnu Taimiyah yang jadi panutan Wahabi atau Imam Syafi’i?

Panjang-lah urusannya. Apalagi kalau mau bawa-bawa masalah takfir. Belum tahu saja betapa banyak ulama Wahabi yang bukan hanya terlalu hati-hati dalam urusan mengkafirkan, tapi kadang-kadang agak terlalu pelit! Dan, sudah tahu belum bahwa Al-Qaeda tidak mengkafirkan Syiah secara mutlak?

Atau maksudnya adalah intoleransi terhadap perbedaan? Nampaknya agak sulit mengujinya, mengingat masyarakat Arab itu cenderung homogen. Atau mau digunakan qiyas awla “homogen saja ribut terus, apalagi kalau heterogen?”? Klaim ini terdengar simpel-rasional tapi sesungguhnya tidak masuk akal. Karena, membayangkan masyarakat Arab yang heterogen berarti harus membayangkan pula bahwa mereka memiliki sejarah sosio-politik yang berbeda pula dengan sekarang. Jika demikian, apakah mereka akan memiliki watak yang sama dengan apa yang kita lihat sekarang? Apalagi, pun bila tetap saja jadi intoleran, apakah itu adalah akibat karakter keislamannya?

Terlalu panjang kalau dibahas. Tapi yang jelas terlalu banyak yang perlu dikupas dari poin ini, dan makin dikaji lagi makin sulit lagi rasanya menemukan kebenaran dalam “Islam Arab gemar konflik”. Mungkin lebih bermanfaat mendiskusikan apakah “Orang Arab gemar konflik”

 

“Islam Indonesia yang lebih terbuka”

Barangkali bisa dikatakan muttawatir bil ma’na, sebuah statement yang berbunyi “orang Malaysia cenderung lebih tertutup kepada saya, tapi orang Indonesia begitu ramahnya seakan sudah mengenal saya sejak lama”. Saya mendengar kalimat yang intinya seperti itu dari berbagai kawan internasional yang pernah berkunjung ke Malaysia dan ke Indonesia, atau terpisah: ke Malaysia saja atau ke Indonesia saja. Orang Nigeria, orang Maroko, orang Perancis, orang Saudi, orang macam-macamlah, yang tidak semuanya saling mengenal. Beberapa teman saya orang Indonesia pun mendengar kalimat serupa dari berbagai teman internasional lainnya.

Apakah hal ini adalah karena karakter keislaman Indonesia? Ataukah ini adalah karakter orang Indonesia? Saya pribadi menemukan kesopanan dan keramahan dari Muslim maupun non-Muslim di Indonesia, demikian juga kebejatan dan ketidakramahan. Mungkin perlu dilakukan sebuah kajian mendalam.

Dalam bagian ini, saya ingin melakukan pendekatan yang agak berbeda yaitu dengan melakukan refleksi sedikit terhadap ayat-ayat yang (konon) membicarakan keterbukaan. Saya sampel yang paling terkenal saja, yaitu Surah Al-Kafirun ayat 6 “untukmu agamamu, untukku agamaku” yang bahasa Arabnya mudah sekali dihafal yaitu “لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ” (lakum diinukum waliyadiin).

Nampaknya indah sekali ayat ini menghiasi ucapan-ucapan toleransi di Indonesia. Dan banyak negara di dunia (Muslim dan khususnya non-Muslim) melihat betapa indahnya keanekaragaman di Indonesia, dan kok akur sekali walaupun sesekali ada insiden yang tetap mereka sayangkan. Pujian-pujian seperti inilah yang kemudian melatarbelakangi ucapan “lebih baik Islam Indonesia yang terbuka”.

Masalahnya, kita mengetahui bahwa di Indonesia ada banyak aliran keislaman yang berbeda, sebagian besar inshaaAllah merupakan keluarga besar ahlus sunnah wal jama’ah tapi mereka memiliki penerapan keterbukaan dan toleransi yang berbeda. Sebagian mungkin lebih terbuka daripada yang lain, terkadang keterbukaannya lebih dalam suatu hal tapi kurang dalam hal lainnya, dan lain sebagainya.

Tidak bisa dibahas semua satu persatu, tapi mari kita renungkan sedikit Surah Al-Kafirun ayat 6 tadi. Tentu kita tidak boleh main comot satu ayat tanpa mempertimbangkan ayat-ayat lain yang relevan (misanya, ayat-ayat lain dalam surat yang sama). Atau, tidak boleh kita lepaskan ayat dari konteksnya, misalnya melihat asbabun nuzul (sebab/konteks turunnya ayat tersebut).

Dari berbagai kitab tafsir, misalnya Tafsir Al-Qur’an al-Adzim oleh Imam Ismail ibn Katsir, kita ketahui bahwa Surah Al-Kafirun diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. ketika kafir Quraish menawarkan kepada Sang Nabi untuk saling bergantian menyembah sembahan satu sama lain. Maksudnya, menawarkan bagaimana kalau Nabi Muhammad s.a.w. menyembah berhala-nya Quraish selama setahun, lalu gantian nanti Quraish menyembah Allah selama setahun. Barangkali inilah salah satu tawaran yang ‘toleran’: daripada ribut yuk kita ganti-gantian saja.

Perlu diingat juga Surah ini adalah Surah Makkiyah, maksudnya diturunkan di Mekkah sebelum dilaksanakannya hijrah (lihat Sirah Nabawiyah oleh Safiurrahman Al-Mubarakfuri). Di antara sekian faedah dari diturunkannya sebuah surah pada fase ini, dua yang perlu ditekankan: Pertama, surah-surah Makkiyah lebih cenderung kepada penanaman aqidah. Kedua, saat itu umat Islam masih sedikit, masih lemah, dan justru sering sekali kena ‘bully’ dan disiksa atau bahkan dibunuh.

Dengan mengingat latar belakang di atas, mari kita baca jawaban Allah terhadap tawaran kaum kafir Quraish tersebut dengan membaca Surah Al-Kafirun secara utuh:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ

1. Katakanlah: “Hai orang-orang kafir,

2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.