AL-QUR’AN DAN KEAJAIBAN SAINS: PENELAAHAN KRITIS
AL-QUR’AN DAN KEAJAIBAN SAINS: PENELAAHAN KRITIS
Telah umum di masyarakat bahwa sebagian da’i kita melakukan dakwahnya dengan cara menunjukkan keajaiban-keajaiban sains dalam Al-Qur’an. Antara lain mukjizat soal tahapan pertumbuhan janin dalam rahim, bahkan juga menghitung kecepatan cahaya, dan lain sebagainya. Bagi mayoritas masyarakat awam, nampaknya luar biasa sekali ini. Akan tetapi, saya mulai menemukan ulama dan da’i yang menyuruh berhenti melakukan itu. Ada apakah gerangan?
Seorang ulama besar abad ini, Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan (Anggota dewan istimewa di Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta dan Hai’ah Kibaril ‘Ulama, Saudi Arabia), pun berfatwa bahwa tidak betul menjadikan sains sebagai penafsiran Al-Qur’an. Jangan bilang ‘karena wahabi tuh’, sebab beberapa da’i berkaliber internasional seperti Shaykh Abdurraheem Green dan ahli filsafat seperti Ust. Hamza Tzortzis pun mengajak orang lain untuk berhenti melakukannya (padahal mereka pun dulu berdakwah dengan ‘kebenaran ilmiah’).
Masalah Sains Secara Hakikat
Mari kita coba eksplorasi, beranjak dari fatwa Syaikh Sahlih Al-Fawzan:
Beliau ditanya: “Apakah ilmu tentang ‘keajaiban sains dalam Al-Qur’an’ merupakan sebuah ilmu muhdats?”
Jawaban beliau:
محدث ، الإعجاز العلمي هذا محدث ، قصدهم العلمي ما هو بالعلم الشرعي ،قصدهم الصناعي و الأفكار التي إعتمدوها من المخترعات وهذا علم دنيوي ولا يفسر به القرآن وهذا يخطئ ويصيب أيضاً ، فكيف يفسر القرآن بشيء عرضه للخطأ، عرضة للخطأ وعرضة عدم للصحة، لأنها أقوال الناس . نعم .
“Ini perkara muhdats, soal ‘keajaiban sains’ ini adalah barang baru. Niat di balik ‘ilmu sains’ bukanlah mendapatkan ilmu syar’i, melainkan menerapkan sains atau ide-ide yang didapatkan berdasarkan apa-apa yang baru ditemukan. Dan sains ini adalah ilmu keduniawian, sedangkan Al-Qur’an tidak boleh ditafsirkan dengan cara (atau tolak ukur) tersebut, karena ia (sains) bisa benar dan bisa juga salah. Bagaimana mungkin Al-Qur’an ditafsirkan dengan sesuatu yang bisa saja salah, atau bisa juga kurang kuat, karena sains adalah hanya berdasarkan pendapat manusia saja? Demikian.”
Ust Hamza Tzortzis menjelaskan lebih lanjut bahwa sains adalah berdasarkan metode empirik. Berlandaskan metode empirik dengan penalaran induktif, sains itu tidak dapat mengklaim kebenaran mutlak. Pondasinya adalah bahwa ilmu didapatkan melalui pengalaman panca indera saja, sehingga yang dapat diklaim hanyalah bahwa ‘inilah yang saya berhasil temukan’ atau ‘saya tidak berhasil menemukannya’. Sedangkan ‘ini benar vs ini salah’ atau ’ini ada vs ini tidak ada’ adalah sebuah asumsi dogmatik terhadap temuan tersebut.
Kenapa disebut ‘asumsi dogmatik’?
Simpel saja: apakah hanya karena ‘kita tidak menemukan sesuatu’ maka otomatis ‘sesuatu itu tidak ada’? Atau agak lebih rumit sedikit: apakah hanya karena ‘inilah yang saya temukan’ maka otomatis ‘itu adalah penjelasan keseluruhan dari realita yang kita alami’? Jawabnya tentu TIDAK. Makanya, sains hanya bisa mengklaim ‘inilah yang mendekati kebenaran’ dan mereka pasti memiliki tingkat error.
Karena itu pula, ketika saya tes Tuberculosis sebagai syarat membuat Visa, hasil tes tersebut tidak mengatakan ‘Tidak mengidap TBC’ melainkan ‘Tidak ditemukan bukti adanya bakteri TBC’: That is science. Sedangkan kemudian ketika dokter mengatakan ‘mas tidak mengidap TBC’: that is not science. Nyatanya, ‘kalau kami tidak menemukannya, maka ia tidak ada’ adalah sebuah statement yang tidak dapat diuji secara ilmiah.
Dr Adian Husaini dan kawan-kawan INSIST lain dalam bukunya “Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam” menjelaskan lebih lanjut salah satu kekurangan besar epistemology sains yaitu hanya menjadikan pengalaan inderawi sebagai sumber ilmu. Padahal, pertama kali Allah menyebut tentang muttaqin (orang-orang yang bertaqwa) dalam Al-Qur’an, ciri pertama mereka adalah ‘[yaitu] mereka yang beriman pada yang ghaib…” (Al-Baqarah ayat 3). Ust. Hamza Tzortzis juga dalam bukunya “The Divine Reality: God, Islam & The Mirage of Atheism” menjelaskan bahwa ada penalaran deduktif (rasional) sebagai bukti bahwa tidak semua ilmu atau kebenaran didapatkan dengan pengalaman inderawi.
Tolak Ukur Kebenaran Al-Qur’an dan Penafsirannya
Justru, kebenaran Islam didapatkan dari khabar shadiq. Landasannya simpel saja: bila sebuah ilmu didapatkan dari Allah, Sang Pencipta yang Maha Mengetahui, maka ia tidak mungkin salah. Jika manusia, sebagai makhluq yang sangat terbatas ilmu dan kemampuannya, merasa bahwa ilmu Allah salah, maka tentu manusia itulah yang salah. Memang kesannya tiranikal sekali, seperti penindas-penindas yang kemudian dijatuhkan dalam sejarah. Tapi itulah khabar shadiq. Kalau yang mengklaim kebenaran mutlak adalah manusia, maka klaim tersebut tidak mungkin benar. Sedangkan kalau yang mengklaim kebenaran mutlak adalah Allah, barulah klaim tersebut benar. Mempertanyakan logika dasar ini adalah sama dengan mempertanyakan apa betul ada Allah, atau apa betul sebuah ilmu datang dari Allah. Akan tetapi, bila sudah pasti ilmu tersebut datang dari Allah, maka kebenaran sudah dapat dipastikan.
Karena itulah ketika bicara tentang ijtihad, ulama boleh berbeda pendapat, tetapi ketika bertemu dengan dalil yang bersifat qat’i maka debat selesai. Tidak ada lagi ijtihad di sana.
Kitab suci kita umat Islam ini berisi Ilmu Syar’i. Dijelaskan oleh Syaih Muhammad bin Shalih al-Uthaymin dalam Kitab Al-Ilmi, Ilmu Syar’i adalah ilmu yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya berupa keterangan dan petunjuk. Dengan demikian, hanya satu cara yang pantas untuk menjadi tolak ukur kebenaran dari ilmu Syar’i: apakah ia betul dari Allah dan Rasul-Nya? Apakah sahih haditsnya? Apakah betul ada ayat yang berkata demikian?
Menafsirkannya pun juga hanya layak dengan satu cara, yaitu melihat mana yang paling sesuai makna asli dari Qur’an dan Sunnah. Maka dari itu, tafsir yang paling utama adalah tafsir bil riwayah yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an sendiri atau dengan hadits.
Selain itu, harus juga ditafsirkan sesuai dengan kaidah-kaidah Bahasa Arab. Sebab Allah sendiri bersabda bahwa Al-Qur’an adalah dalam Bahasa Arab, antara lain dalam Surah Yusuf ayat 2 dan Surah Ar-Ra’d ayat 37. Salah satu hikmahnya adalah karena makna di balik sebuah kata dalam sebuah bahasa pastilah terkurung dalam bahasa tersebut, sehingga bila ia diterjemahkan maka akan hilang sebagian dari makna tersebut. Semua ahli bahasa pasti memahami ini. Maka, bagi yang belum menguasai bahasa Arab, sekedar ‘kitab terjemahan’ tidaklah cukup melainkan diperlukan kitab tafsir terjemahan yang menjelaskan semua aspek kebahasaan (selain juga tafsir bil riwayat tadi) untuk meminimalisir makna yang terreduksi akibat pengalih bahasaan.
Karena itu pula, para mufassirun pun telah mengetahui bahwa takwil (menggeser makna dari makna zahir/harafiah) pada dalil pun hanya boleh dilakukan jika hal tersebut dijustifikasi juga oleh dalil lain. Atau, yang berkembang pesat di abad ini adalah maqashid al-shari’ah yang melihat tujuan hukum syariat, ini pun diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah dan bukan bersumber dari penalaran manusia. Metode-metode penafsiran lain yang digunakan oleh para ulama ahlus sunnah wal jama’ah pun adalah apa yang diturunkan dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Renungan
Intinya, alat utama yang digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an adalah apa yang sepadan dengan hakikat dan tolak ukur kebenaran Al-Qur’an yang sudah dijelaskan tadi: mana yang paling asli dan mendekati aslinya. Tidak sepantasnya Al-Qur’an diukur kebenarannya atau ditafsirkan dengan alat yang diciptakan oleh manusia, tidak dapat menangkap kebenaran secara menyeluruh, bisa jadi salah dan berubah-rubah terus.
Pada akhirnya, sebagaimana ditemukan oleh da’i-da’i kita di dunia Barat, secara praktis ‘keajaiban sains Al-Qur’an’ ini menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, memang banyak juga orang masuk Islam karena mengetahui keajaiban-keajaiban ini. Hanya saja kita ketahui bahwa hidayah ada pada Allah, dan orang bisa mendapatkannya melalui banyak cara. Kita bersyukur ketika setelah belajar lebih lanjut para mualaf ini menemukan kebenaran Islam yang lebih hakiki, bukan hanya sekedar dari ‘keajaiban sains’. Karena, di sisi lain, ternyata banyak juga yang murtad karena bantahan-bantahan terhadap ‘keajaiban sains’ tersebut. Ternyata betapa rapuh ‘keajaiban sains’ ini, dan kerapuhan tersebut adalah akibat hakikat sains sendiri yang memang bukan ditujukan untuk menjadi tolak ukur kebenaran.
Bukannya tulisan ini mau mengatakan bahwa sains itu tidak penting sama sekali atau tidak boleh digunakan. Bagaimanapun juga, peradaban Islamlah yang dulu melakukan pengembangan sains besar-besaran dan itu bukan ‘terlepas dari Islam’ melainkan ‘karena Islam’. Ini tema terpisah yang dapat didiskusikan secara terpisah, akan tetapi ada sedikit hikmah yang perlu kita pahami dari periode tersebut.
Ternyata, pada era keemasan peradaban Islam dalam ilmu pengetahuan itu, saya belum menemukan ada satupun ilmuan dan Ulama Islam yang menjadikan sains sebagai tolak ukur atau penafsiran terhadap Al-Qur’an. Yang ada adalah Al-Qur’an dijadikan sumber hikmah, sumber ilmu, serta sumber petunjuk untuk menjadi pedoman dalam hidup manusia. Itu tujuan Al-Qur’an. Sebagian dari umat ini adalah penguasa dan pembantunya, maka Al-Qur’an memberi pedoman untuk itu. Maka jika sebagian dari umat ini adalah ilmuan, maka Al-Qur’an memberi pedoman untuk itu pula.
Ilmu yang di dapatkan dari Al-Qur’an dan Sunnah dapat digunakan sebagai pedoman bagi para ilmuan untuk mengembangkan sains. Sehingga pada akhirnya sains merupakan produk yang membawa maslahat bagi umat manusia untuk kemudian beribadah kepada Allah dengan kualitas yang lebih baik lagi. Bahwa sains tidak dapat mencari kebenaran mutlak dan memiliki kemungkinan salah? No problem, memang sains ya seperti itu. Kita berusaha mencari yang terbaik, lalu terus mencari untuk terus memperbaiki. Kita syukuri apa manfaat yang kita dapatkan, dan berdoa kepada Allah agar dapat terus menemukan lebih banyak lagi.
Itulah hakikat sains dalam Islam, bagi para ilmuan yang bertaqwa dan bersyukur kepada Allah atas sedikit ilmu yang diteteskan oleh Allah kepada mereka. Bukan justru menjadikannya tolak ukur kebenaran Al-Qur’an dan Islam itu sendiri.