Ketika Niat Baik Tidak Cukup: Pengalaman Juri Lomba Debat Bahasa Inggris

Terkadang penyesalan yang besar dalam hidup terjadi bukan karena hal-hal yang kita niatkan buruk, melainkan hal yang niat kita sebetulnya baik tapi ternyata berakhir buruk.

SEBUAH TRADISI PENJURIAN DEBAT BAHASA INGGRIS
Sebelum saya masuk cerita, harus saya jelaskan dulu tradisi dalam debat bahasa Inggris. Dalam kompetisi-kompetisi debat bahasa Inggris berskala regional, nasional, dan internasional, ada sebuah kebiasaan tersendiri termasuk dalam penjurian.

Pada lomba lomba ini, juri akan menjelaskan dengan sangat elaboratif hingga detil kepada para peserta, bagaimana mereka mencapai keputusannya. Bukan sekedar “argumen anda agak lemah, kurang bukti” melainkan sampai: argumen mana saja yang lemah, lemahnya seperti apa persisnya, tambahan hujjah seperti apa yang kiranya mampu memperkuatnya, dan lain sebagainya. Bahkan, setelah pengumuman hasil, sangat biasa bagi peserta untuk mendekati para juri untuk meminta evaluasi yang lebih komprehensif lagi.

Salah satu kebiasaan lain pada lomba debat (mungkin kalau yang ini tidak unik pada lomba debat) adalah bahwa pada babak babak penting juri tidak mengumumkan langsung pemenangnya. Melainkan semua peserta akan dikumpulkan di aula besar untuk menyaksikan pengumuman. Akan tetapi, di match masing masing para juri akan tetap memberikan ulasan evaluatif terhadap debatnya TANPA mengumumkan pemenangnya. Ini disebut “Silent Round”.

Biasanya ini dilakukan di babak terakhir preliminary, lalu babak babak eliminasi.

Satu lagi yang relevan, pada babak Preliminary, pemasangan match adalah sesuai peringkat. Maksudnya rangking 1 vs 2, 3 vs 4, dlsb, sesuai poin yang dikumpulkan pada babak babak preliminary sebelumnya (babak 1 dipasangkan secara acak).

GIANT VS DWARF
Suatu hari pada tahun 2007, Jogja Debating Forum (JDF) membantu Dinas Pendidikan Kota Jogjakarta melaksanakan lomba dalam rangka seleksi untuk National Schools Debating Championship. Lomba ini berjenjang di tingkat Kota/Kabupaten, Propinsi, Nasional, untuk memilih timnas dan kemudian lanjut ke tingkat Internasional.

Sebagai wakil presiden JDF saat itu, saya ditunjuk sebagai ketua tim juri pada lomba yang kemudian dilaksanakan di SMA Muhammadiyah 5.

Setelah melalui beberapa babak preliminary, sampailah pada babak preliminary terakhir. Sesuai poin, sebagian kecil peserta akan lolos ke babak Elimination, sebagian akan gugur. Dari sekian banyak match pada babak ini, saya menempatkan diri untuk menjadi juri di salah satu “Bubble Room”. Maksudnya adalah ruangan-ruangan di mana tim yang menang akan lolos dan yang kalah tidak akan lolos, yaitu peringkat tengah tengah. Beda dengan ruangan “upper rooms” peringkat teratas yang mana tim kalah pun masih akan lolos, atau “bottom rooms” peringkat bawah yang mana tim yang menang pun tidak akan lolos.

Saat itu saya menjadi juri untuk dua tim yang bagai langit dan bumi.

Di satu sisi ada tim SMAN 5 Jogja. Bukan hanya mereka salah satu sekolah unggulan di Jogja, tapi tradisi keikutsertaan mereka dalam kompetisi English Debate juga sangat panjang. Mereka termasuk yang terbaik. Di babak-babak sebelumnya menang sekali, lalu kalah melawan tim lain yang juga papan atas.

Di sisi lain ada tim SMA XYZ (saya lupa). Bukan SMA terkenal, nampaknya juga belum pernah ikut lomba debat. Mereka sampai bisa melawan SMAN 5 karena sempat kalah oleh tim yang lebih kuat, lalu ketemu tim yang sama lemahnya sehingga menang. Sampailah pada babak preliminary terakhir dengan peringkat berdempetan dengan SMAN 5 Jogja.

NIAT BAIK
Hasilnya adalah sebagaimana diprediksi. SMAN 5 berperforma tidak jauh tapi masih di atas rata rata, sedangkan SMA XYZ berperforma sangat sangat buruk. Kemenangan yang amat telak bagi SMAN 5.

Di sinilah ujian saya. Karena ini “Silent Round”, saya harus memberikan ulasan terhadap debatnya tanpa memberi pengumumannya. Normalnya, ulasan harus diberikan se-berimbang mungkin supaya tidak kelihatan siapa yang menang. Tapi bagaimana cara melakukan hal tersebut apabila kemenangannya betul betul teramat telak??

Akhirnya yang saya putuskan saat itu adalah untuk bermain dengan “reverse psychology”. Dalam ulasan saya, kritik-kritik saya untuk tim SMAN 5 amatlah pedas dan cara penyampaian saya sengaja saya buat agak berlebihan. Saya sebut sekilas saja kelebihan mereka, lalu saya hajar terus berlebay lebay pada kekurangan mereka.

Sedangkan untuk SMA XYZ, sebaliknya. Segala puja puji saya lemparkan terhadap kelebihan mereka (yang teramat sedikit, terus terang). Untuk kekurangan mereka, saya coba jelaskan tapi tidak saya tekankan terlalu banyak, bahkan saya kemas sebagai “ini potensi dan PR kalian untuk lain kali”.

Setelah memberikan ulasan, kami pun bubar dari ruangan dan menuju aula utama. Di sanalah terjadi mimpi buruk saya.

PENGUMUMAN DAN PENYESALAN
Menjelang pengumuman, saya menemukan tim SMA 5 sedang mengadu pada pelatih mereka. Mereka sampai nangis karena merasa begitu buruk, dan merasa akan kalah. Pelatih mereka, namanya Mas Gentur, adalah teman saya. Dari tatapan matanya ke saya, saya yakin dia tahu sebetulnya apa yang saya lakukan. Sungguh, siapapun yang menonton match tadi dengan setengah objektif sekalipun akan sulit menyangkal betapa telak tim SMA 5 mengalahkan lawannya.

Akan tetapi, mungkin memang saya terlalu convincing sehingga tim SMAN 5 betul betul ketakutan. Saya cuma senyum saja, karena inshaaAllah tidak lama lagi mereka akan mendapatkan kabar baik.

Ketika panitia sudah memulai embel embel pengantar sebelum pengumuman, barulah saya melihat tim SMA XYZ.

Langsung saat itu jantung saya copot.

Mereka menghadap ke arah panggung dengan bergandengan tangan dan senyum berseri seri. Salah satu speaker mereka adalah seorang tunanetra, tapi senyum senyum menunggu ‘kabar baik’

🙁

Pengumuman bukan dibacakan melainkan dengan slide show (ya, kurang sensitif terhadap yang difabel, maaf). Saya tidak akan melupakan respon tim SMA XYZ. Si tunanetra masih senyum senyum bertanya pada kawan-kawannya “kita menang ya?”, sedangkan kedua kawannya ekspresinya tampak jelas amat sangat terkejut, terpukul, dan kecewa. “Enggak, kita enggak lolos.” kata salah satu dari mereka, lalu si tunanetra langsung berubah wajahnya. “Oh.” katanya.

Saya langsung merasa sangat bersalah, dan tidak sanggup lagi melihat kelanjutannya. Saya pun berpindah tempat, pokoknya nggak mau lihat tim SMA XYZ.

Yah, begitulah. Kadang memang niat baik saja tidak cukup 🙁

Dan kadang terlalu memberi semangat secara tidak realistis akan membawa kepahitan tersendiri x_x