November 16, 2018
Murid: “Seperti Anak Sendiri”?
Ketika Rektor UGM mengatakan bahwa pelaku dan korban pelecehan adalah “seperti anak sendiri” (sehingga akan diberi tindakan yang ‘mendidik’ macam tu lah), banyak sekali reaksi yang muncul. Salah satunya ada mahasiswa saya yang protes intinya ‘jangan ngaku ngaku ayah saya’.
.
Kali ini saya tidak mau membahas stance saya terhadap kebijakan UGM terkait masalah pelecehan tersebut. Saya kok jadi kepingin menulis tentang soal ‘seperti anak sendiri’ ini. Sudah ngemeng ke salah satu mahasiswa nih kalo saya mau nulis tentang itu. Tapi, setiap mau menulis, kok agak susah rasanya. Langsung muncul ingatan-ingatan tentang murid-murid saya, dan rasanya kok sulit dirangkai jadi satu tulisan.
.
Saya mungkin belum lama jadi dosen, baru mulai ngajar awal 2013. Tapi saya mengajar dalam berbagai kapasitas sudah lama, yaitu sejak tahun 2003. Silih berganti saya bukan hanya berganti guru, melainkan berganti murid dan berganti tempat mengajar.
.
Banyak yang begitu berkesan bagi saya. Mulai dari M. Rifky yang saya lihat sejak masih unyu pake seragam SMA, eh sekarang dia sudah jadi kolega, sesama dosen di Fakultas Hukum UGM. Ada juga si X (dia menolak disebut namanya) yang sejak kelas 1 SMA merasa begitu kerdil dan dikerdilkan oleh orangtuanya sampai stress bertahun-tahun dan tidak percaya diri, lalu saat wisuda ia berpidato dengan sangat percaya diri sebagai lulusan terbaik dengan prestasi akademik dan non-akademik yang bejibun.
.
Ada Ima yang culun banget waktu masih tingkat 1 kuliah, ekspresinya kayak mau nangis waktu latihan moot court. Eh belum lama ini saya temui dia sudah CPNS di kementrian luar negeri, calon diplomat inshaaAllah. Belum lagi Fatime, salah satu bimbingan skripsi saya yang kok saya merasa mbimbing anak umur 12 tahun, eh sekarang sudah jadi pengembara keadilan di Bandung sana. Nggak habis-habis ingatan saya tentang para murid-murid saya yang awalnya krucil-krucil lalu setelah tahun-tahun berlalu telah tumbuh jadi luar biasa, tidak ada habisnya kalau saya cerita semua satu persatu yang berlalu di benak saya sekarang.
.
Tahun 2016 akhir saya harus meninggalkan Jogja karena mau lanjut studi S3 di Malaysia. Sejarah panjang saya mengajar sejak 2003 terpaksa stop dulu, dan rasanya ada yang hilang. Beneran. Saya masih menjaga silaturahmi dengan sebagian dari mereka, kadang lihat di sosial media melihat perkembangan mereka. Sesekali saya pulang dan bertemu mereka langsung, tapi tentu ini tidak sama dengan dulu.
.
Tapi sangat mengharukan sekali momen saya berangkat. Beberapa minggu sebelumnya, muncul Ahong, Kay, dan Ratna (mewakili Ima juga tapi waktu itu ndak ikut dateng) bawa hadiah perpisahan beserta kartu yang berisi pesan-pesan dari mereka.
.
Lalu ketika saya sampai di stasiun Tugu mau hijrah ke Jakarta (sebelum lanjut ke Malaysia), saya disamperi oleh Bram dan Kirana untuk melepas saya. Mereka membawa segepok surat dari beberapa mahasiswa untuk saya, mayoritas diprint kecuali punya Kirana yang ditulis tangan (lalu dikasih NIM kayak tugas hahaha). Mulai dari Giok yang merupakan mahasiswa yang luar biasa sejak semester 1, Sukhema Amsyong yang lucunya stengah mati kalo ngomel keluar bahasa cina-nya haha, Umar dengan syair-syairnya yang luar biasa, Fitwy hamster, dan banyak lagi.. Dramatis banget, padahal nggak sampe setengah tahun saya main ke jogja juga itu hehe..
.
Surat-surat ini saya tempel di samping meja saya, jadi kalau saya sedang agak suntuk kerja liat surat-surat itu agak semangat dikit lah.
.
Di Jakarta lagi, ketemuan dengan mahasiswa yang kebetulan sedang magang atau liburan antara lain Dipo dan Julian dan anak-anak moot court lain, main ke Grand Indonesia dan dolanan di Timezone..
.
Dulu tiap hari saya ketemu mereka. Entah berapa mata kuliah yang saya ajar mereka (kalo tau jadwal ngajar saya saat itu, saking banyaknya kelas saya macam harus kagebunshin). Kelak ketika saya kembali mengajar nanti, semua mahasiswa yang tiap hari saya temui ini akan sudah lulus.
.
Ingatan-ingatan ini terus mengalir, dan akhirnya tidak berhasil saya menulis tentang pendapat saya mengenai “mahasiswa seperti anak sendiri”. Saya nggak tau gimana caranya memulai, merangkai, mengalirkan, dan mengakhiri sebuah tulisan yang benar-benar mewakili dengan penuh apa yang saya fikirkan tentang soalan itu. Konklusi pun tidak bisa saya capai, dan tulisan yang saya rencanakan pun nggak jadi-jadi.
.
Dari ocehan panjang tidak jelas ini, sebetulnya cuma satu hal saja di benak saya: kangen anak-anak