Urgensi Islamisasi Ilmu Hukum

Image result for kitab ulama
(image: duta islam.com)

Islamisasi ILMU HUKUM ini tidak sama dengan Islamisasi HUKUM. Yang kedua ini adalah salah satu PR besar yang harus difikirkan oleh akademisi-akademisi pengajar fakultas hukum yang beragama Islam. Baru dengar judulnya, saya sudah sering dapat respon negatif yang seringkali wujudnya adalah dalam bentuk pertanyaan. Saya pun paling suka memulai pembahasan tentang tema ini dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Mereka bertanya:

“Memangnya di Indonesia ini semuanya Muslim?”

Maka saya jawab:

“Tidak. Tapi saya ingin tanya balik. Ketika teori hukum di SEMUA buku-buku teks Pengantar Ilmu Hukum kita isinya semua teori dari Eropa dan mayoritas bercorak sekuler, anda nggak pernah mempermasalahkan padahal kita bukan orang Eropa maupun Sekuler SAMA SEKALI. Kenapa ditawari yang mayoritas, justru anda baru protes?”

Mereka bertanya:

“Bukankah teori-teori yang sekuler lebih universal, sehingga lebih cocok mewakili seluruh keanekaragaman?”

Maka saya jawab:

“Sejak kapan masyarakat yang semuanya berkarakter religio-magis justru diwakili oleh teori-teori berlandaskan sekulerisme?”

Mereka bertanya:

“Berarti kamu setuju kalau ada teori hukum Nasrani, Hindu, Buddha, gitu?”

Maka saya jawab:

“Apabila mereka memiliki teori hukum (bukan sekedar concept of ethics and morality saja), silahkan buat penelitian untuk menginklusikan hal tersebut. Yang jelas, sebagian pemikiran pakar hukum Nasrani sudah dibahas (misalnya St. Thomas Aquinas). Tapi itu urusan agama masing-masing. Saya Muslim, ya saya bahas Islam.”

Ingatlah bahwa teori-teori hukum ini berfungsi sebagai landasan dan konsep kita terhadap hukum itu sendiri, yang akan terwujud dalam pemahaman, penafsiran, dan penerapan hukum. Pemahaman terhadap teori-teori hukum inilah jantungnya pendidikan di program studi ilmu hukum, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa fakultas hukum itu ‘cuma sekedar menghafal pasal’.

Ketika Nabi Muhammad salallaahu ‘alayhi wa sallam diutus sebagai Rahmatan lil ‘aalamiin, diturunkanlah Syariat kepada umat manusia yang tidak terkecuali suku bangsa dan berlaku hingga akhir zaman. Masa pun berlalu, dan muncul para alim ulama yang menjadikan soal hukum ini sebagai cabang keilmuan sendiri. Ada ilmu fiqih dan ada pula ushul al-fiqh yang berkembang sangat pesat dari zaman Imam empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Shafi’i, dan Imam Ahmad) dan sebetulnya zaman itu ada banyak sekali Imam yang lain misalnya Imam Sufyan al-Thawri, Imam Dawud al-Zahiri, Imam ibn Hazm, Imam al-Layth, dan beraneka lainnya. Terus dari abad ke abad hingga lewat satu milenia, hingga sekarang evolusi teori dan pemikiran hukum Islam amat berkembang sangat pesat. Mulai dari ushul al-fiqh yang jadi disiplin ilmu sendiri dari zaman Imam Shafi’i, berkembang sangat pesat, hingga kemudian muncul maqashid shari’ah yang berevolusi dari zaman Imam Haramayn, Imam Ghazali, Imam Ibn Ashur, lalu di zaman sekarang ada Jaser Auda dan lain sebagainya.

Dari sekian buanyak literatur yang ada tentang teori dan pemikiran hukum Islam, apakah ada satu saja, SATU SAJA, teori tersebut diajarkan pada mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum di fakultas hukum? Dalam penelitian saya sejauh ini, banyak buku teks mata kuliah PIH yang sudah saya bandingkan, dan tidak ada satu pun. SATU PUN TIDAK ADA.

Mungkin sesekali ada disinggung dengan tidak berarti. Misalnya, Prof Sudikno Mertokusumo dalam Mengenal Hukum ketika membahas soal keadilan sebagai tujuan hukum. Beliau mengutip ayat Al-Qur’an yang intinya menjelaskan bahwa Islam mengajarkan keadilan. Tapi adakah penjelasan tentang apa makna dan konsep keadilan dalam Islam? Tidak. Justru, dalam buku yang sama, Prof Sudikno menjelaskan bahwa ‘Norma Agama’ memiliki ‘kekurangan’ karena antara lain (a) hanya memberi kewajiban, tidak ada hak, dan (b) tidak memberikan sanksi di dunia. Semua orang yang memiliki pemahaman dasar tentang Islam akan tahu bahwa ‘kekurangan’ tersebut tidak ada pada Islam.

Entah berapa banyak karya ulama dari zaman ke zaman tentang konsep keadilan dalam hukum, tidak ada satupun dibahas. Ribuan atau bahkan ratusan ribu karya tentang maslahat dan maqashid al-shari’ah yang pada pokoknya membahas rinci dan luas ‘kemanfaatan’ sebagai tujuan hukum dalam Islam, adakah satu saja buku PIH yang menyinggung? Nein! Tidak terhitung qawaidh fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) yang dikenal dalam keilmuan fiqih dari sejak sekian abad lalu, tapi PIH tidak membahas asas-asas hukum selain asas dari Romawi atau Belanda saja.

Pada akhirnya, sebuah penelitian yang saya lakukan menunjukkan hal yang menyedihkan. Dari semua responden mahasiswa Muslim, semua muanya dapat menjawab apa yang dimaksud dengan lex specialis derogat legi generalis (hukum khusus mengalahkan hukum umum). Mahasiswa yang pemalas dan ‘kurang pintar’ sekalipun belum saya temukan yang tidak mengenal asas ini. Tapi dari kesemua responden tersebut, tidak ada satu orang pun yang mengenal apa yang dimaksud dengan takshish. Padahal, takshish merupakan sebuah istilah dalam ushul al-fiqh yang maknanya juga ‘hukum khusus mengalahkan hukum umum’!

Indonesia, selalu dibangga-banggakan sebagai negara Mayoritas Muslim terbesar dunia. Sebagian bahkan mengatakan bahwa kebangkitan umat Islam akan dimulai dari Indonesia. Konon ‘Islam dan Pancasila bukan untuk dibenturkan’, dan Sila 1 Pancasila dimaknai sebagai perwujudan dari Islam (menurut Deklarasi Nahdlatul Ulama, dan banyak lagi). Tapi mahasiswa hukumnya begitu asing dari tradisi keilmuan hukum Islam yang teramat luas, dalam, dan kaya. Ibarat pepatah ‘ayam di lumbung padi mati kelaparan’.

Memang Indonesia bukanlah negara yang menerapkan Syariat Islam. Apakah harusnya menerapkan Syariat, itu diskusi terpisah. Akan tetapi, hukum Indonesia ini -walaupun secara struktur asal memiliki banyak hukum warisan penjajah- adalah mencerminkan karakter dan pemikiran bangsa Indonesia. Atau, setidaknya teorinya begitu. Karakter hukum Indonesia ini tidaklah sekuler, Sila pertama saja bunyinya begitu, dan semua produk hukum selalu menyebut Tuhan Yang Maha Esa di bagian paling atas halaman depan.

Bukan mau merendahkan bangsa Eropa yang pemikir-pemikir hukumnya dari zaman ke zaman memang banyak dan berkembang pesat. Tapi apabila ideologi bangsa dan konstitusi mencerminkan pemikiran dan falsafah bangsa Indonesia, apabila pembuatan serta penegakan hukum adalah berlandaskan hal tersebut, seberapa logiskah kita untuk terus menerus memenuhi pendidikan ilmu hukum dengan teori-teori dari bangsa lain yang dipaksakan melalui penjajahan?

Technically, dapat dikatakan bahwa, pada zaman dahulu kala, Islam pun dibawa dari luar. Tapi kita semua tahu bagaimana ia masuk ke Nusantara dengan damai, kemudian mengakar ke masyarakat dan lama sekali dipraktekkan sebelum datangnya penjajah Belanda yang kemudian memaksakan sistem hukum baru.

Memang betul tidak semua warga Indonesia adalah beragama Islam. Tapi apabila fikiran kita sebelumnya telah terbuka untuk menerima teori-teori hukum dari bangsa dan pemikiran yang jauh dengan bangsa kita, alangkah baiknya bila kita lebih terbuka menerima teori-teori dari bangsa dan pemikiran yang lebih dekat pada kita. Apalagi, tidaklah seseorang beragama Islam melainkan dia mengimani bahwa Nabi Muhammad adalah Rahmatan lil ‘alamin. Sejak kapan Islam hanya membawa manfaat bagi pemeluknya saja?

Nyatanya, Mahkamah Internasional (International Court of Justice) pun, pemikiran hukum Islam sesekali dipakai sebagai pertimbangan hukum. Bahkan, bukan tidak pernah hal tersebut terjadi pada sengketa yang tidak melibatkan negara Islam pun pernah menerapkan salah satu kaidah fiqih yaitu درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح (menghilangkan mafsadat lebih diutamakan daripada mengambil manfaat) pada sengketa Argentina vs Uruguay yang diputus tahun 2010 yang membicarakan masalah kerusakan lingkungan.

Terlebih lagi, dan barangkali ini yang terpenting, nyatanya teori dan pemikiran hukum Islam ini amat asing bagi telinga pelajar hukum Indonesia zaman now. Rasanya begitu irelevan Islam dalam pemikiran hukum, padahal sesungguhnya tidak demikian. Sudah mafhum bahwa makhluq yang bernama manusia ini cenderung takut pada apa yang tidak dipahaminya, sehingga terkadang mudah menolak sesuatu hanya berdasarkan asumsi-asumsinya saja.

Kalau kata pepatah, ‘tak kenal maka tak sayang’. Kawan-kawan aktivis dakwah meralatnya menjadi ‘tak kenal maka taaruf (kenalan)’. Bagaimana kalau dikenali dan dipelajari dulu teori-teori hukumnya, baru nanti kita diskusikan apakah cocok atau tidak untuk semua?

Yang jelas ini adalah PR bagi semua yang terlibat dalam pendidikan hukum. Para akademisi (terutama yang Muslim) haruslah mulai menyiapkan bahan ajar dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang menginkorporasikan teori dan pemikiran hukum Islam. Terutama sekali mata kuliah PIH, karena ia bersifat pondasi terhadap keseluruhan pendidikan ilmu hukum. Mahasiswa hukum, terutama yang Muslim, tidak boleh sekedar mengandalkan apa yang diajarkan dosen. Sumber ilmu bagi seorang Mahasiswa bukan hanya kelas melainkan juga (dan justru utamanya) di luar kelas. Jangan cuma mengandalkan dosen dan slide saja, dan ingatlah bahwa menuntut ilmu itu bukan sekedar hidup dari satu ujian ke ujian lainnya saja!

Memang tidak mudah, karena starting point kita saja sudah terlanjur tertinggal jauh dengan keadaan sekarang. Tapi bacalah Surah Ar-Rum ayat 7: apakah itu tidak membuat kita khawatir? Justru ini adalah peluang besar. Nabi Muhammad s.a.w. bersabda وَلَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ (Sahih Muslim No. 1211), maknanya “dan ia (maksudnya pahala amalan tersebut) sesuai dengan usaha yang dikeluarkan”. Dan hadits ini melahirkan kaidah fiqih ما كان أكثر فعلا كان أكثر فضلا “Amalan yang lebih banyak pengorbanan, lebih banyak keutamaan”.

Semoga kita menjadi bagian dari upaya ini.

Catatan: sementara ini saya sudah melakukan beberapa penelitian terkait ini, dan sudah dipublikasikan, yaitu pada judul-judul di bawah ini:

  1. Desekulerisasi Pendidikan Hukum Dalam Fakultas Hukum Di Indonesia: Menganalisa Buku Teks ‘Pengantar Ilmu Hukum’ Khususnya Pada Bab ‘Klasifikasi Norma’(ditulis bersama Hanindito Danusatya).

Tersedia dalam bahasa Inggris, dapat diunduh di sini. Tersedia juga dalam bahasa Indonesia, dapat diunduh di sini.

  1. Urgensi Inkorporasi Maqasid Syariah sebagai Penjabaran ‘Kemanfaatan’ sebagai Tujuan Hukum dalam Pendidikan Hukum di Indonesia (ditulis bersama Pak Nurizal Ismail dan Hanindito Danusatya).

Tersedia dalam bahasa Inggris, dapat diunduh di sini. Semoga versi terjemahan bisa menyusul.

  1. Inkorporasi ‘Qawaidh Fiqhiyyah’ pada Bab ‘Asas Hukum’ dalam Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hukum dalam Pendidikan Hukum Di Indonesia (ditulis bersama Vina Berliana Kimberly dan Novita Dwi Lestari)

Tersedia dalam bahasa Inggris, dapat diunduh di sini. Tersedia juga dalam bahasa Indonesia, dapat diunduh di sini.

Saya berterima kasih banyak kepada teman-teman yang sudah turut berpartisipasi dan mendukung saya dalam penelitian-penelitian ini. InshaaAllah ini bukan yang terakhir. Semoga lebih banyak yang bisa turut berpartisipasi.