MENYOAL DISKURSUS BID’AH : BEBERAPA OBSERVASI

Leonidas al-Wahabi


Beberapa waktu lalu, saya mendengar seseorang mengkritik “Wahabi yang membid’ahkan talqin jenazah”. Katanya, talqin jenazah adalah adab kepada jenazah. Katanya lagi, ada bid’ah lebih besar yang lebih penting diurus yaitu bid’ah pemikiran.

Ini menarik karena diskursus soal bid’ah tidaklah baru. Bahkan dari zaman sahabat Nabi, Ibn Umar telah menegur Mu’awiyah karena suatu amalan bid’ah. Tapi tidak bisa dinafikkan bahwa diskursus bid’ah adalah salah satu masalah yang meresahkan pada masa ini.

Berikut beberapa observasi yang saya simpulkan:

1. Menghindari Bid’ah Sebagai Adab Kepada Nabi

Melakukan bid’ah pada agama adalah seolah Allah melalui Nabi Muhammad s.a.w. belum menyempurnakan agama. Karena itulah, bila ada yang protes karena “kenapa bid’ah dibilang masuk neraka?”, saya pun agak pelik karena “Kullu bid’ati dholalah, kullu dholalati fin naar” ini bukan kalam wahabi melainkan kalam Nabi Muhammad s.a.w.

Karena inilah, jutaan ulama dari zaman salaf hingga sekarang semuanya ada membahas bid’ah. Mulai dari bid’ah aqidah semisal syi’ah, hingga bid’ah amaliyah semisal shalat ragha’ib.

2. Bid’ah ada yang Hasanah/Wajib/Sunnah/Mubah

Bukannya Salafi tidak mengetahui hal ini, tapi ini adalah sekedar khilaf lafzi. Ulama yang menyempitkan definisi bid’ah sebagai “semua sesat” akan berfatwa bahwa bid’ah hasanah/wajib/sunnah/mubah ini adalah “bid’ah lughotan, bukan bid’ah syariat”. Ya tetap boleh. Sedangkan ulama pro-bid’ah hasanah/wajib/sunnah/mubah pun ada yang mensesatkan amalan bid’ah tertentu sebagai haram.

Misalnya kirim Al-Fatihah pada mayyit (bid’ah menurut Imam Syafi’i), talqin mayat (bid’ah menurut Imam Syan’ani), adzan pada mayat (bid’ah menurut Imam Ibn Hajar al-Haytami), zikir saat membawa jenazah (bid’ah menurut Imam Nawawi), dan banyak lagi, dan ini semua maksudnya bid’ah haram. Wahabikah Imam-Imam ini? Adakah Imam-Imam ini tidak beradab kepada jenazah? Tentulah bukan demikian, karena para Imam ini sekedar mencerminkan adab kepada Nabi dan kepada Allah.

Sedangkan di sisi lain, ulama yang tidak mengakui adanya bid’ah hasanah pun tetap membolehkan sebagian amalan yang baginya tidak termasuk bid’ah dalam hal agama. Mereka tidak menyuruh orang ke masjid naik unta, karena itu adalah bid’ah lughatan (Bahasa) dan bukan bid’ah syariat. Misalnya Imam Ibnu Taimiyyah (Wahabi kan? Hehe) tidak menganggap bid’ah pada mengirim bacaan al-Qur’an kepada mayat dan talqin mayat.

Poinnya: jangan menafikkan adanya bid’ah dholalah/haram. Jangan auto-alergi mendengar kata tersebut.

3. Ada Bid’ah Yang Lebih Besar, Jangan Fokus Yang Kecil

Saya harus akui bahwa sebagian ulama salafi memang lebih suka menghindar apabila dihadapi dengan bid’ah filsafat sekuler barat. Tapi bukan sama sekali dihindari bid’ah besar. Syekh Shalih bin Fawzan Al-Fawzan ada menulis sedikit tentang tema filsafat misalnya materialisme dalam Kitab Tauhid. Belum lagi Syekh Sulthan Al-Umairiy banyak bahasan filsafat. Belum lagi bid’ah aqidah lainnya semisal pemikiran khawarij dan lain-lainnya, tapi mungkin memang yang paling besar zaman ini adalah fitnah bid’ah filsafat sekuler Barat. Mungkin ini “home-work” lah. Wallaahu’alam.

Akan tetapi, adil adalah ketika semua ada tempatnya. Bukanlah bid’ah “kecil” bisa dinafikkan. Ingatlah bahwa bid’ah fiqih ini banyak berkenaan dengan ibadah mahdoh, dan tentu kita tidak boleh menafikkannya sama sekali karena ibadah mahdoh adalah salah satu hak Allah.

Di satu sisi, janganlah terlalu fokus pada “bid’ah kecil” sampai lupa yang besar. Tapi di sisi lain, jangan remehkan “bid’ah kecil”.

4. Jangan Membid’ahkan Amalan Masyarakat?

Saya agak heran dengan statement ini. Kalau kita buka kitab-kitab fiqih mazhab mana saja, pastilah ada amalan-amalan yang dihukumi bid’ah. Pastilah fatwa ini dilakukan terhadap amalan yang dipraktekkan sebagian masyarakat pada zaman itu, sebab jumhur fuqaha mengatakan tidak boleh berfatwa tentang hal yang tidak ada saat itu.

Apa jangan-jangan sebenarnya ada sebagian pihak yang tidak suka dikritik, dan tidak suka menerima nasehat?

Catatan: bukan berarti pihak yang menasehati tidak perlu menjaga akhlaq dan adab ketika menyampaikan nasehat. Ini sangat penting. Janganlah teriak-teriak “bid’ah heyyyyy neraka heyyy” di tengah perayaan Maulid Nabi!

Jangan berlebihan. Imam Ahmad membid’ahkan qunut subuh berterusan yang disunnahkan oleh gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tapi ternyata pujian sang murid kepada sang guru tetap luar biasa, dan ia fatwakan kalau imam berqunut makmum harus ikut. Salafi kontemporer pun berfatwa serupa.

Syekh Albani membid’ahkan tarawih melebihi 12 rakaat, sedangkan mayoritas salafi kontemporer mengatakan hal tersebut boleh. Apakah mereka berkelahi? Justru mereka terus saling menghormati dan memuliakan. Untuk hal-hal kecil seperti ini harusnya tidak dibuat menjadi big deal apabila kedua pihak dapat menjaga akhlaq dan adab.

Penting ada keseimbangan antara akhlaq dan adab para pemberi nasehat dan keterbukaan hati para pihak yang dinasehati, terlepas dari apakah kemudian nasehat tersebut diterima atau tidak.

5. Jangan Membid’ahkan Perkara Khilafiyah?

Apabila tidak ada yang membid’ahkan, takkan jadi khilafiyah kan? Lalu apa salahnya apabila memilih salah satu pendapat?

Ini pun masalah yang serupa dengan “jangan merasa paling benar sendiri”. Ini merupakan ucapan yang diarahkan pada seseorang yang tidak mau mendengar nasehat. Akan tetapi, ucapan ini pun harus direnungkan oleh orang yang memberi nasehat juga. Bukan sedikit orang yang mengucap “jangan merasa paling benar sendiri”

Adanya khilafiyah tidaklah bermakna ada ‘relativisme’. Islam ini agama yang logis. Tidak akan ada hal yang halal dan haram sekaligus. Bila ada khilafiyah, mestilah salah satunya keliru. Karenanya ada beberapa opsi yang terjadi:

  • Opsi 1: yang membid’ahkan yang keliru, tentu ia harus stop.
  • Opsi 2: yang membid’ahkan ternyata benar, tentu yang dinasehati sepatutnya berubah.
  • Opsi 3: salah satu atau keduanya tidak cukup ilmu untuk melanjutkan perbahasan, maka katakanlah “saya coba kaji lagi inshaAllah”.
  • Opsi 4: sama-sama masih tidak teryakinkan oleh hujjah pihak yang lain atau tidak terlalu faham karena masih level taqlid, maka tetaplah berpegang pada pendapat masing-masing.

Dan, pada opsi manapun yang berlaku: saling ucapkanlah terima kasih karena diskusi tersebut inshaaAllah berkah, karena dilakukan dua Hamba Allah yang ingin melakukan ibadah terbaik.

Siapa yang salah berijtihad pun inshaaAllah dapat pahala satu, dan seorang muqallid pun inshaaAllah mendapatkan pahala jika ia melakukan apa yang ia lakukan karena Allah, apalagi jika pada diskusi ini ia mempelajari sesuatu yang baru. Tidak perlu hal ini dirusak dengan kebencian terhadap satu sama lain.

6. Jangan Terlalu Mudah Membid’ahkan Sesuatu?

Apa kategori “terlalu mudah”? Ada kisah nyata yang pernah saya saksikan sendiri di sebuah grup WhatsApp berisi mahasiswa Pasca Sarjana (Masters dan Ph.D) yang banyak di antaranya pun bidang agama.

Ada perdebatan ketika Ustaz A mengajak kawan-kawan melakukan sebuah amalan tertentu. Kemudian Ustaz B mengatakan bahwa amalan itu adalah bid’ah. Ustaz A membalas, ia berkata “tapi ulama fikih ada yang mensunnahkannya jadi kita amalkan.” Ustaz B menjawab lagi bahwa sebagian fuqaha yang mensunnahkannya itu menggunakan dalil suatu hadits yang ternyata dha’if. Ustaz B menyampaikan penilaian ulama-ulama hadits besar Imam X, Y, Z terkait hadits tersebut dan menunjukkan screenshot kitab sebagai bukti.

Apa yang terjadi?

Ustaz A berkata, “saya tidak terlalu faham hadits. Pokoknya tidak boleh bermudah-mudah membid’ahkan sesuatu.”

Saya pun agak pelik. Ustaz B jelas telah melakukan kajian sehingga mengetahui apa dalil-dalil para fuqaha yang mensyariatkan amalan tersebut, kemudian telah mengkaji status hadits tersebut. Ini dasarnya ia berhujjah demikian. Sedangkan Ustaz A hanya sekedar mengetahui satu amalan yang disebut dalam suatu kitab fikih, lalu ia menyampaikannya, itu saja. Dan bermodalkan ini, melawan hujjah Ustaz B dengan berkata “tidak boleh bermudah-mudah membid’ahkan”.

Batin saya pun berkata: engkaulah (Ustaz A) yang tampaknya terlalu bermudah-mudah.

Perdebatan semacam ini sering saya saksikan. Apabila kemudian terjadi diskusi berfaedah, alhamdulillah. Terkadang terhadap dakwaan bid’ah ada sanggahan yang menunjukkan dalil pensyariatan, alhamdulillah semua belajar. Terkadang dakwaan bid’ah tersebut benar adanya, alhamdulillah semua belajar. Terkadang hujjah kedua pihak sulit dicari mana yang lebih kuat, alhamdulillah hati kita lebih lapang untuk saling menghormati khilafiyah.

Tapi kalau dakwaan bid’ah sekedar ditolak dengan kalimat pendek tidak berfaedah, nah ini yang saya malas.

Sama juga kalau ada yang mendakwa bid’ah tapi ternyata ia sendiri tidak berilmu untuk menjelaskannya, sedangkan ketika ada yang menyampaikan hujjah lain ia tetap memaksa mempertahankannya dengan hujjah yang buruk (terkadang dengan adab yang buruk), saya pun tidak menyukainya.

PENUTUP: AMALAN BID’AH VERSUS AHL AL-BID’AH

Bila seseorang melakukan amalan yang haram (misal, makan babi), haruslah kita katakan bahwa amalan itu salah dan bolehjadi mendekatkan kepada neraka karena ia adalah dosa. Tapi bukanlah langsung kita katakan bahwa dia adalah ahli neraka. Bisa saja ia mendapat udzur jahil, atau banyak amal shalih lain yang menyelamatkannya.

Demikian pula soal bid’ah. Ahl al-Bid’ah adalah istilah yang telah digunakan oleh banyak ulama silam hingga sekarang dan bukan hanya wahabi, dan dalil menyatakan bahwa tempat mereka adalah neraka (walaupun nampaknya tidak akan selamanya di neraka). Akan tetapi, melakukan suatu amalan bid’ah tidaklah lantas membuat seseorang otomatis menjadi ahl al-bid’ah yang serta merta menyeretnya ke neraka.

Harus difahami bahwa persoalan bid’ah ini walaupun bukanlah satu-satunya persoalan dalam Islam, tapi ia adalah salah satunya. Kita tidak boleh alergi dengan pembahasan ini, tapi kita tentu tidak boleh terlalu fokus padanya sampai melupakan hal yang lain.

Adil.