Qur’aniyyun Yang Menolak Hadits: Menyoroti Premis Utama

Kalangan Qur’aniyyun (dikenal juga dengan ‘inkarus sunnah’) terkenal karena keengganannya menggunakan hadits. Alasan mereka: “hadis tidak pasti sahih, dan ulama Cuma menyampaikan. Yaudah, pakai Qur’an saja”. Kekeliruan mereka mudah dipatahkan dengan menyuruh mereka jelaskan tatacara shalat dari Qur’an saja, tapi kali ini mari kita coba kupas premis dasar mereka.

PREMIS QUR’ANIYYUN INTINYA ADALAH SEPERTI INI:

Premis 1: Al-Qur’an sudah dijamin keasliannya oleh Allah, sedangkan hadits tidak dijamin keasliannya. Ilmu ilmu sanad mattan ilal dll itu semua Cuma asumsi saja tapi tidak bisa dijamin.

Premis 2: Nabi bertugas menyampaikan Al-Qur’an, dan tidak mungkin menentang Al-Qur’an.

Kesimpulan: ya sudah, cukupkan diri dengan Al-Qur’an saja.

Dan akhirnya nampak bahwa kalangan Qur’aniyyun menghafalkan Al-Qur’an, kalau di Indonesia mereka utamanya menghafal terjemahannya saja. Sebetulnya luar biasa, dengan cepat bisa mengutip nomor surat nomor ayat yang sangat banyak. Minimal sebagai aksi ‘theatrical’ ini luar biasa, karena kesannya keren sekali bisa kutip baaaaaanyak sekali dalil. Akan tetapi, ternyata metode mereka sangat keliru sejak akar-akarnya. Mari kita kupas kesalahan-kesalahannya.

ISU PERTAMA: MEMATUHI ALLAH DAN RASUL

Beraneka ayat menyebutkan wajib menaati Allah DAN Rasul secara terpisah, antara lain: Surah Ali Imran ayat 32, Surah An-Nisa ayat 59 dan 136, Surah At-Taghabun ayat 12, Surah An-Nur ayat 51, dan banyak lagi. Kalau misalnya yang Rasul sekedar menyampaikan teks Al-Qur’an, tidak ada gunanya menyebut keduanya (patuh pada Allah dan Rasul) secara terpisah.

Maksudnya “terpisah” bukanlah bahwa keduanya tidak berhubungan erat. Maksudnya adalah tidak mungkin “Taat pada Allah” dan “Taat pada Rasul” merujuk pada benda yang persis sama.

ISU KEDUA: NABI BUKAN SEKEDAR MENYAMPAIKAN AL-QUR’AN

Nabi Muhammad s.a.w. bukan hanya sekedar menyampaikan Al-Qur’an, tapi juga menjelaskannya. Ini disebutkan dalam Surah An-Nahl ayat 44. Segala perbuatan Nabi juga merupakan contoh, disebut Uswatun Hasanah, sebagaimana Surah al-Azhab ayat 21. Maka bukan sekedar apa yang beliau sampaikan (yang pastinya tidak mungkin hanya Al-Qur’an saja) yang merupakan percontohan.

Artinya, ada dua hal yang dibawa oleh Nabi yaitu lafaz Al-Qur’an dan juga penjelasannya. Berarti apabila kita hanya menerima lafaz Al-Qur’an, berarti kita menolak penjelasan terhadap Al-Qur’an. Betapa banyak hukum yang jadi hilang, misalnya tatacara shalat dan lain sebagainya.

ISU KETIGA: METODE PELESTARIAN AL-QUR’AN

Qur’aniyyun menerima bahwa Al-Qur’an dijamin keasliannya oleh Allah, sebagaimana disebut dalam Surah Al-Hijr ayat 9. Tapi apa bedanya dengan kitab lain yang bisa saja kita karang sekarang, lalu diklaim “akan dijaga”? Kenapa klaim Al-Qur’an kita terima? Jawabnya adalah dengan ilmu riwayat, yang dengannya lafaz Al-Qur’an terpelihara hingga sekarang.

Hadits pun dipreservasi dengan metode yang sama. Kalau Allah mempreservasi Al-Qur’an dengan wasilah ilmu riwayat, kenapa hadits ditolak mentah-mentah padahal menggunakan metode yang sama?

ISU KEEMPAT: KEYAKINAN VS KERAGUAN

Apakah hadits pasti terjamin keasliannya? Dalam kajian ilmu hadits, ada sebagian hadits yang tergolong muttawatir. Berarti level keasliannya dapat dibandingkan dengan Al-Qur’an secara metodologis yang dapat dijangkau oleh akal. Hadits yang sahih tapi belum sampai muttawatir pun telah melalui seleksi yang sangat ketat yaitu: ilmu sanad, ilmu mattan, ilmu ilal, dan lainnya.

Akhirnya, apabila kesemua ilmu telah menyatakan sebuah hadits sebagai sahih, alasan apa untuk menolak meyakininya? Hanya satu akhirnya: “ya kan bisa saja, manusia bisa saja salah.” Hanya itu saja, tanpa bukti di mana kesalahannya. Ini adalah keraguan yang tidak memiliki dasar. Apabila ada keraguan yang berdasar, hadits tersebut tidak akan divonis sahih. Allah sudah melarang kita mengikuti keraguan dalam Surah Yunus ayat 94, At-Taubah ayat 45, Surah Yunus ayat 36, Surah Al-Hujarat ayat 12.

ISU KELIMA: TIDAK MUNGKIN DIBEBANI MELEBIHI KEMAMPUAN

Telah masyhur Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 286 di mana Allah tidak menguji manusia di luar kemampuannya. Tidak mungkin Allah memerintahkan manusia mematuhi Rasul dan mengikuti suri tauladan beliau apabila manusia yang hidup di zaman setelah Rasul wafat tidak mungkin mengetahui apa perintah dan suri tauladan Rasul tersebut.

Pun apabila manusia ada kesilapan dalam hadits itu maka inshaaAllah akan diampuni, karena telah bersusah payah menggunakan segala ilmu untuk meminimalisir kemungkinan salah itu. Al-Baqarah ayat 286 juga menyampaikan hal ini. Nah, kalau Qur’aniyyun yang menolak semua hadits mentah-mentah sekedar dengan ilmu “kan bisa aja”, diampuni nggak ya?

ISU KEENAM: KEKURANGAN DAN KELEBIHAN ULAMA

Ketika Allah meninggikan derajat para ulama (Surah Mujadilah ayat 11), tentulah bukan sekedar mengetahui Al-Qur’an saja melainkan mengetahui penjelasannya. Sahabat Nabi belajar dari Nabi, Tabi’in belajar dari Sahabat, Tabi’ Tabi’in belajar dari Tabi’in, dan seterusnya hingga zaman ini. Mereka tidak luput dari salah, tapi mereka berbeda hanya dalam hal detil saja dan bukan pada hal yang pondasi.

Dalam ilmu matematika, tentu beda level kekeliruan menghitung yang mungkin terjadi antara orang yang baru menguasai kali bagi tambah kurang dengan doktor ilmu matematika, tanpa menafikkan bahwa doktor pun bisa saja salah.

Tidak bisa kita membandingkan antara alim ulama yang telah mengetahui lafadz Al-Qur’an, hadits, Bahasa Arab termasuk balaghah dan lain-lain, ilmu tafsir warisan ulama sepanjang zaman, dan berbagai ilmu alat lainnya, dengan tuyul Qur’aniyyun yang sekedar tahu Al-Qur’an saja dan kebanyakannya hanya hafal versi terjemahannya.

ISU KETUJUH: PRODUK FIKIRAN QUR’ANIYYUN

Wal hasil, Qur’aniyyun memiliki beberapa hasil ‘fatwa’ yang sangat keliru tapi masyhur di kalangan da’i-da’i mereka. Antara lain beginilah fatwa mereka (daftar akan diupdate kalau ada yang baru):

1. Fir’aun: Mereka mengklaim bahwa dalam Bahasa Arab berasal dari kata “Far’un” yang bermakna tongkat, dan merupakan simbolisasi “kekuasaan”.

Bantahan: Fir’aun adalah serapan dari Bahasa Ibrani Paroh, yang aslinya berasal dari Bahasa Mesir Kuno bermakna ‘rumah besar’. Entah ini ngasal atau dusta.

2. Mukjizat Musa: Mereka mengklaim bahwa ketika Nabi Musa a.s. mengubah tongkatnya menjadi ular yang menelan ular-ular para penyihir Fir’aun, ini kiasan saja sebagai simbolisasi bahwa sesungguhnya “mereka beradu hujjah, bukan sihir”. Alasannya? Katanya, apabila kisahnya diambil harafiah, maka tidak ada manfaat kisah itu bagi zaman sekarang.

Bantahan: Tidak ada kisah dalam Al-Qur’an melainkan ada faedahnya agar kita berfikir dan diperingatkan (Surah Yusuf ayat 111, Surah Hud ayat 120, Surah Al-A’raf ayat 176). Banyak sekali ulama sudah menulis hikmah dari kisah-kisah nabi termasuk kisah mukjizat ini. Saya tidak perlu menyebut apa hikmah-hikmahnya, tapi apabila kalangan Qur’aniyyun tidak bisa menemukan hikmahnya maka merekalah yang perlu introspeksi diri. Jangan malah ngarang.

3. Hukum Poligami: Mereka berkata bahwa poligami dilarang mutlak. Dalilnya adalah syarat poligami adalah adil (Surah An-Nisa ayat 3), tapi kita tidak mungkin adil (Surah An-Nisa ayat 129).

Bantahan: Pertama, coba ayat-ayat tadi dibaca dengan teliti. Ayat 3 berbicara tentang “kekhawatiran/ketakutan” tidak bisa adil sebagai sebab “nikahi satu saja”. Ayat 129, kalau dibaca tidak separo-separo, setelah mengatakan ‘tidak bisa adil’ kemudian lanjut menjelaskan bagaimana seharusnya adil dan menjamin ampunan bagi mereka yang sudah berusaha. Silahkan baca kitab-kitab tafsir, semua menjelaskan ayat ini tanpa menutup-nutupi apapun. Sedangkan Qur’aniyyun, membaca terjemahan saja dengan tidak teliti pula tapi berani berfatwa.

Kedua, nyatanya Nabi Muhammad s.a.w. berpoligami. Sahabat berpoligami, tidak ada yang ditegur Nabi serta-merta karena berpoligami. Tabi’in banyak berpoligami, tidak ada yang ditegur Sahabat serta-merta karena berpoligami. Padahal merekalah yang paling memahami Al-Qur’an setelah Nabi, karena memiliki guru-guru yang terbaik. Ini siapa Qur’aniyyun tiba-tiba ujug-ujug mengharamkan secara mutlak?

Catatan: bukan maksud saya untuk mengajak semua orang berpoligami. Benar banyak syaratnya. Saya hanya bicara hukum.

4. Hukum Berjilbab: Menurut mereka, berjilbab bagi Muslimah baligh tidak wajib dengan alasan “ayatnya hanya berkata ‘hendaknya’. Maka itu maknanya tidak wajib.”

Bantahan: yang menggunakan ‘hendaknya’ itu hanya terjemahan Bahasa Indonesia saja. Dari Bahasa Arab aslinya sifatnya imperatif. Di ayat yang sama (Surah An-Nur ayat 31), ada larangan menampakkan aurat, dan ini lebih lagi mendukung wajibnya berjilbab. Dan banyak lagi dalilnya sebenarnya.

KESIMPULAN

Dengan demikian, sudah jelas bahwa Qur’aniyyun telah salah premisnya dari awal apalagi produk-produk turunannya. Kesalahan ini bisa diungkapkan bahkan dengan metode mereka sendiri yaitu hanya mengutip Al-Qur’an. Karena itulah, bagi kalangan Qur’aniyyun sebaiknya bertaubat dan mencari majelis ilmu yang benar. Bagi selain Qur’aniyyun, janganlah hadiri majelis-majelis Qur’aniyyun. Sudah tepat fatwa dari berbagai ulama dari segala penjuru dunia yang menyebutkan sesatnya kalangan ini.

Wallaahu’alam