PASAL 27 KONVENSI WINA 1969 DAN FIKIH SIYAR: INKOMPATIBILITAS?

The Role of Dragomans in the Ottoman Empire
Image: https://aiic.net

Secara umum banyak pakar melihat kompatibilitas antara hukum internasional Islam (fikih siyar) dengan hukum internasional dalam hal kepatuhan terhadap perjanjian internasional. Bahkan, umat Islam mengenalnya lebih dulu daripada Bangsa Eropa. Akan tetapi, ada titik buta yang seringkali lupa dikaji oleh para pakar ini yaitu Pasal 27 Konvensi Wina.

Pendahuluan

Pacta sunt servanda, pada bangsa Romawi, dikenal berlaku pada kontrak biasa saja dan bukan pada hukum internasional. Dalam khazanah Eropa, menurut John T. Parry (2014) dan banyak lainnya, baru Hugo Grotius di abad 17 yang pertama menerapkan asas tersebut dalam konteks hukum internasional. Di sisi lain, Khaled Bashir (2018) menunjukkan bahwa kewajiban taat pada perjanjian telah jelas dalam literatur fikih siyar (yaitu hukum internasional Islam) sejak awal, baik dalam Sunnah Rasul (abad 6-7 M) maupun di magnum opus fikih siyar klasik yaitu karya Imam Shaybani (wafat abad 9 M). Bashir lebih lanjut menjelaskan betapa karya Imam Shaybani jauh mengalahkan karya para pendiri hukum internasional Eropa (Grotius, Gratian, Gentili, Vitoria, dll) dari keluasan dan kedalaman cakupan bahasan.

Setelah mulai ketinggalan di beberapa abad belakangan, dalam dekade-dekade ini mulai banyak karya yang membahas tentang fikih siyar dan hubungannya dengan hukum internasional. Tapi inipun masih ketinggalan dalam membahas perkara detil. Misalnya, dalam berbagai tulisan saya, tahun 2015, 2018, juga 2020, saya menulis bahwa literatur fikih jihad sangat ketinggalan jaman, kurang rinci dalam membahas masalah-masalah kekinian. Dan, nampaknya masalah ini bukan hanya sekedar pada literatur fikih jihad saja melainkan pada fikih siyar secara umum.

Perlu dicatat, ini bukan berarti Syariat tidak lengkap. Hanya saja, Syariat hanya memberi aturan spesifik pada sebagian hal saja. Sedangkan pada mayoritas hal, Syariat hanya memberikan rambu-rambu dan kaidah-kaidah. Pada hal-hal seperti ini, tugas para ‘alim ‘ulama untuk menerapkan Syariat pada hal-hal baru yang tidak dirinci dalam Syariat. Inilah fikih.

Konvensi Wina 1969 dan Pasal 27

Islam mewajibkan menaati perjanjian (lihat antara lain Surah Al-Maidah ayat 1), dan mengkhianati janji merupakan salah satu tanda kemunafikan (Sahih Al-Bukhari). Telah dijelaskan di awal bahwa hal ini pun berlaku dalam konteks fikih siyar dalam Islam. Karena itu, banyak pakar seperti Muhammad Hamidullah (2011) dan Labeeb Ahmed Bsoul (2010 dan 2016) membahas tentang perjanjian sebagai salah satu sumber hukum dalam fikih siyar.

Akan tetapi, ternyata agak sulit menemukan karya yang membahas tentang hubungan antara hukum perjanjian Islam dan internasional secara terperinci. Dalam tulisan-tulisan saya terkait fikih jihad, saya melihat bahwa terkadang ada kesamaan secara prinsip antara hukum Islam dan internasional tapi ada pertentangan-pertentangan pada perinciannya. Ternyata, dalam konteks hukum perjanjian internasional ini saya menemukan sesuatu.

Konvensi Wina 1969 adalah konvensi internasional yang mengkodifikasi aturan-aturan hukum terkait penyusunan perjanjian internasional yang tertulis, dan banyak kaidah di dalamnya mencakup hukum kebiasaan yang berlaku untuk perjanjian tidak tertulis juga (Mark Villiger, 2009). Jadi kalau bicara tentang hukum tentang perjanjian internasional, Konvensi Wina 1969 adalah rujukan paling utama.

Pasal 27 Konvensi Wina 1969 berbunyi: “A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to perform a treaty. This rule is without prejudice to article 46.” Simpelnya, negara tidak boleh menjadikan “bertentangan dengan hukum nasional” sebagai alasan mangkir dari kewajiban menurut perjanjian tersebut.  Ada pengecualian di sana, yaitu pada Pasal 46 yang akan dibahas nanti.

Secara umum, nampaknya ini sesuai saja dengan Islam. Bila negara ikut sebuah perjanjian, lalu dia buat aturan yang bertentangan dengan perjanjian tersebut, ya itu kan khianat. Atau, kalau sebuah negara ikut sebuah perjanjian yang ternyata bertentangan dengan sebuah hukum yang sudah ada di negara tersebut, ngapain ikut perjanjian itu kalau tidak berniat untuk merubah hukum tersebut?

Akan tetapi, ternyata ada skenario di mana hal ini bisa jadi masalah.

Masalah Pasal 27 dan Syariat Islam

Dengan prinsip yang senada dengan Pasal 1320 KUHPerdata, sebuah perjanjian dalam Islam tidaklah sah apabila bertentangan dengan Qur’an dan Sunnah, sebagaimana dijelaskan oleh Shaykhul Islam Ibnu Taymiyyah dalam Majmu’ Al-Fatawa 31/19 (1426 H). Dalam konteks fikih siyar pun tentu sama. Karena itu, sudah selayaknya pemimpin umat Islam memastikan dulu apakah sebuah perjanjian internasional bertentangan dengan syariat Islam sebelum mengikatkan diri kepadanya.

Hanya saja, kehidupan itu dinamis. Bukan tidak mungkin seorang pemimpin Musim tidak peduli dengan hal tersebut, lalu ia digantikan oleh pemimpin yang peduli. Atau, baru disadari kemudian bahwa perjanjian tersebut bertentangan dengan Syariat Islam. Di banyak negara mayoritas Muslim, tidak semua pemerintah berhubungan dekat dengan ulama sehingga banyak hal pun bisa terjadi.

Dengan demikian, dalam kasus seperti itu muncul dilema: kalau ikut Konvensi Wina, melawan Syariat. Kalau ikut Syariat, bertentangan dengan Konvensi Wina. Bagaimana dong?

Disebutkan di atas bahwa Pasal 27 dijelaskan lebih lanjut oleh Pasal 46, yang pada intinya memberikan pengecualian apabila ada pelanggaran hukum nasional yang jelas (manifest) dan bersifat fundamental. Sayangnya, ini hanya terkait kewenangan dalam akreditasi perwakilan negara dalam perundingan dan/atau menyetujui perjanjian.

Ada juga Pasal 47 Konvensi Wina yang menyatakan bahwa bisa saja negara memberi batasan khusus pada kewenangan perwakilannya, dan apabila hal ini sudah diberitahukan pada perwakilan perunding lain bisa saja jadi alasan tidak sahnya perjanjian apabila si perwakilan melanggar kewenangannya. Sekilas mungkin nampak bisa diargumentasikan bahwa menegaskan di awal bahwa kewenangan perwakilan negara Islam adalah menyetujui sepanjang tidak bertentangan dengan Syariat Islam dan ini mungkin menyelesaikan masalah.

Sayangnya ide ini sulit. Oliver Dorr dkk (2012) menjelaskan bahwa, pada Pasal 47, poin dari penegasan di awal kepada perwakilan perunding lain ini adalah perwujudan dari manifest yang juga tercantum di Pasal 46. Intinya adalah memberi kejelasan pada para perunding lain tentang batasan-batasan ini agar dapat menjadikannya pertimbangan dalam perundingan. Ini pun, konteksnya lebih pada hal yang lebih sederhana. Misalnya, bila seorang diberi kewenangan untuk berunding, belum tentu ia juga berwenang untuk menyatakan persetujuan mewakili negaranya. Masalah ‘pertentangan dengan Syariat Islam’ ini adalah hal yang rumit, memerlukan penguasaan ilmu, jadi agak sulit untuk termasuk dalam Pasal 47.

Apakah bisa batalkan perjanjian sekalian? Pasal 54 Konvensi Wina mengatakan bahwa negara boleh keluar dari perjanjian apabila perjanjian tersebut mengatur hal itu, atau bila negara (atau negara-negara) pihak lain mengizinkannya. Dalam literatur fikih juga memang tidak boleh semena-mena membatalkan perjanjian (Ahmad Azhar Basyir, 2000). Pertentangan dengan Syariat Islam adalah pengecualiannya, sebagaimana dijelaskan tadi, tapi hukum internasional nampaknya tidak akan peduli hal tersebut.

Hukum Indonesia pun mengalami dilema yang sama, ketika dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-IX/2011 menolak gugatan judicial review terhadap Piagam Asean tapi tetap menyatakan bahwa MK berwenang melakukan judicial review terhadap UU Ratifikasi. Di hukum nasionalnya sangat mudah, tapi untuk hukum internasionalnya runyam.

Kesimpulan

Simpelnya, Pasal 27 dan segala turunannya itu bisa diakui oleh fikih siyar kecuali ketika ia melarang Muslim membatalkan perjanjian yang bertentangan dengan Syariat. Dalam konteks tersebut, yang bisa dilakukan oleh umat Islam adalah (1) mencegah kemungkinan itu terjadi sedapat mungkin, dan kalau ada yang luput maka (2) bersiap untuk menghadapi konsekuensi, baik tuntutan ganti rugi atau dampak lainnya.

Saya tidak setuju dengan pendekatan sebagian akademisi yang seakan-akan harus cocok semua antara hukum internasional dan Islam, apalagi kalau sampai ada yang tidak cocok maka Islam yang dikompromikan. Surah Al-Fatihah yang selalu diulang minimal 17x sehari, ayat 4-nya berbicara tentang hari pembalasan. Kalau nanti tiba hari pembalasan, kira-kira yang diterima oleh Mahkamah Allah adalah Qur’an dan Sunnah (Syariat Islam) atau Konvensi Wina 1969? Jawabannya mudah.

Pendekatan akademisi yang lebih benar adalah melihat ini sebagai gejala dari sebuah masalah yaitu ketidakinklusifan keterlibatan sistem-sistem hukum besar di dunia dalam membentuk norma-norma hukum internasional. Banyak pakar seperti Awn Al-Khasawneh (2013), Salim Farrar (2014), Christopher Weeramantry (1988), Julie Fraser (2020) dan banyak lagi, menjelaskan tidak adilnya tatanan hukum internasional yang tidak melibatkan hukum Islam dalam pembentukannya. Ditambah dengan Antony Anghie (2004), Benoit Mayer (2014) dan lainnya, mereka semua melihat bahwa ‘Eurosentrisme’ yang menghegemoni dalam hukum internasional sehingga umumnya cuma mempertimbangkan kontribusi sistem hukum Civil Law dan Common Law, adalah sangat tidak adil.

Padahal, hukum Islam juga merupakan salah satu sistem hukum besar di dunia. Apalagi, menurut penelitian Pew Research Center (2017), Islam diproyeksikan akan terus tumbuh menjadi agama mayoritas dunia pada tahun 2075. Apabila mau mengkonstruksi hukum internasional yang dapat diterima oleh semua bangsa, maka dialog antar bangsa tersebut tidak boleh bersifat konfrontatif. Sungguh, dialog antar sistem hukum yang fair sudah lama ditunggu.