Kedudukan Hadits Ahkam yang Sanadnya Dha’if: Imam Ahmad

Berikut faedah bagus yang saya dapatkan di salah satu grup WhatsApp ketika para masyaikh berdiskusi tentang kedudukan hadits ahkam yang sanadnya dha’if. Semoga bermanfaat:

.

Ustadz NM menulis:

Dalam perspektif para imam Hadis, perkara Ahkam itu justru lebih menuntut syarat kesahihan sanad yg lebih tinggi ketimbang perkara yg lebih pure Akidah. Atau setidaknya seimbang.

قَالَ إسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْه: دَخَلْت عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ طَاهِرٍ فَقَالَ: مَا هَذِهِ الْأَحَادِيثُ الَّتِي تَرْوُونَهَا قُلْت: أَيُّ شَيْءٍ أَصْلَحَ اللَّهُ الْأَمِيرَ؟ قَالَ: تَرْوُونَ أَنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ إلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قُلْت: نَعَمْ رَوَاهَا الثِّقَاتُ الَّذِينَ يَرْوُونَ الْأَحْكَامَ.

dan mereka tidak membagi hadis-hadis dalam dikotomi Mutawatir-Ahad, sebagaimana dikaji dan disimpulkan oleh Syaikh Hatim.

====

Ustadz SP menulis:

Syaikhana, bukannya imam ahmad sering berhujjah dg hadis dhoif dalam perkara ahkam? Dan ungkapan beliau hadis dhaif lebih saya sukai dari ro’yun, itu bagaimana syaikhana?

قال أحمد: الناس كلهم أكفاء إلا الحائك والحجام والكساح، فقيل له: تأخذ بحديث ((كل الناس أكفاء إلا حائكاً أو حجاماً)) وأنت تضعِّفه؟، فقال: إنما نضعِّف إسناده، ولكن العمل عليه

Contohnya tadz…

قال القاضي في العدة:
فصل (1)
[141/ب] وقد أطلق أحمد رحمه الله القول بالأخذ بالحديث الضعيف.
فقال مهَنّا (2) : قال أحمد: الناس كلهم أكْفاء إلا الحائك والحجام والكساح (3) ، فقيل له: تأخذ بحديث (كل ‌الناس ‌أكْفاء إلا حائكاً (4) أو حجاما) (5) وأنت تضعفة؟ فقال: إنما نضعف إسناده، لكن العمل عليه وكذلك قال في رواية ابن مُشَيْش (1) وقد سأله: عمن تحل له الصدقة وإلى أي شيء يذهب في هذا؟ فقال: إلى حديث، حكيم بن جبير (2) ، فقلت: وحكيم بن جبير (3) ثَبَت عندك في الحديث (4) ؟ قال: ليس هو عندي ثَبَتاً في الحديث وكذلك قال مُهَنّا: سألت أحمد رحمه الله: عن حديث مَعْمَر عن الزهري عن سالم (1) عن ابن عمر عن النبي – صلى الله عليه وسلم -: أن غيلان (2) أسلم وعنده عشر نسوة (3) ، قال: ليس بصحيح، والعمل عليه، كان عبد الرزاق يقول: عن مَعْمر عن الزهري مرسلاً

ثم قال القاضي:
[و] معنى قول أحمد: “ضعيف”: على طريقة أصحاب الحديث؛ لأنهم يضعفون بما لا يوجب تضعيفه عند الفقهاء، كالإرسال والتدليس والتفرد بزيادة في حديث لم يروها الجماعة، وهذا موجود في كتبهم: تفرد به فلان وحده، فقوله: “هو ضعيف”، على هذا الوجه وقوله: “والعمل عليه” معناه: على طريقة الفقهاء

=========

Ust NM menulis:

Bahasan “berhujjah dengan hadis dhaif” itu seringkali tidak diurai secara jelas subjek pembahasan dan peristilahannya.. Makanya menjadi kabur.

Jadi perlu dibedakan antara:

  1. Menjadikan hadis dhaif sebagai hujjah karena menganggapnya sebagai Sunnah Nabi.
  2. Menjadikan hadis dhaif sebagai hujjah walaupun ia tidak dianggap sebagai Sunnah Nabi.
  3. Mengambil atau menggunakan kandungan suatu hadis dhaif karena isinya dinilai benar (terlepas soal statusnya sebagai Sunnah Nabi atau bukan).
  4. Berhujjah bukan dengan hadis dhaif itu saja, tetapi dengan gabungan hadis-hadis yg banyak atau hadis bersama dalil-dalil lain yg himpunannya membentuk suatu kekuatan setara hujjah.
  5. Bukan berhujjah dengan hadis dhaif, melainkan mengedepankannya dibandingkan opini orang biasa.
  6. Menyebutkan hadis dhaif hanya sebagai suatu harapan atau perspektif atas keutamaan suatu amalan yg memang sudah ditetapkan dengan dalil lain yg sahih, sebab keutamaan atau pahala yg disebutkan itu sama sekali tidak mustahil.
  7. Sekadar meriwayatkan atau mempublikasikan suatu hadis dhaif, bukan menggunakannya sebagai hujjah.

Nomor 1 dan nomor 2 jelas bukan manhajnya para Imam Hadis.

Hanya saja, seringkali nomor 3-6, dan bahkan nomor 7, itu disebut dg istilah “berhujjah dengan hadis dhaif”, padahal hakekatnya bukan…

Hujjah adalah sesuatu yang harus diikuti dan tidak boleh diselisihi. Dalam definisi ini, tidak mungkin para Imam Hadis berhujjah dengan hadis yg dipandangnya lemah. Justru terma “hujjah” dengan terma “dhaif” itu dua hal yg kontradiktif. Hujjah berarti sesuatu yg kuat, bahkan sangat kuat.

Adapun sekadar mengambil (al-akhdzu bihi, al-amal bihi, apalagi sekadar menyebutkan bahwa al-amalu alaih/ya’maluunahu) ini tentu derajat yg di bawah derajat hujjah.

Apalagi sekadar mengedepankannya dibandingkan perkara lain (misal dibandingkan opini subjektif orang). Apalagi sekadar menyebutkannya sebagau suatu kemungkinan, harapan, dan data riwayat. Tentu ini semua jauh dari posisi hujjah.

Adapun berhujjah dengan gabungan banyak hadis dhaif, atau gabungan hadis dhaif dan dalil-dalil lainnya, maka itu tentu di laut bahasan.. sebab yg dijadikan hujjah bukan hadis dhaifnya itu sendiri, melainkan himpunan banyak bahan. Ini sebagaimana makan kecap saja atau terasi saja, tentu rasanya aneh atau tidak enak.. tapi dalam tabungannya dengan bahan-bahan lain, dia bisa menjadi enak.

Yg disebutkan dari Imam Ahmad di sini (Catatan Fajri: maksudnya, ini menanggapi pesan Ust. SP di atas) adalah contoh untuk nomor 3 atau 4. Tidak mungkin dijadikan contoh untuk nomor 2 apalagi nomor 1.

Beliau di situ sama sekali tidak mengatakan “qola Rasulullah” dan sama sekali tidak menisbatkannya sebagai Sunnah Qauliyah Nabi. Jadi jelas bukan jenis nomor 1.

Kalau pernyataan beliau “al-amalu alaih” adalah penyebutan ijmak atau semi ijmak atau tradisi Salaf, maka ya berarti hujjahnya ada di ijmak atau tradisi Salaf tsb, bukan di hadis itu. Hanya saja kebetulan isi hadis itu sesuai dengan tradisi Salaf. Jadi juga bukan jenis nomor 2.

Aqwal para imam mengenai hal tsb sebetulnya cukup jelas. Semisal Imam Syafii, Ibnu Mahdi, dan Imam Ahmad. Mereka membedakan antara “berhujjah” dan “hukm” dengan sekadar “naktub, yuktab, fil-fadhail, fil jaza'”

Dan praktik mereka pun dalam Fikih makin jelas.. Betapa banyak hadis yg ditolak konsekuensi hukumnya oleh Imam Ahmad dan Imam Syafi’i dengan alasan bahwa sanadnya dhaif..?

Seandainya mereka memposisikannya sebagai hujjah, maka itu berarti sengaja menolak hujjah, dan itu keterlaluan untuk dinisbatkan ke mereka. Radhiyallahu ‘Anhum.