Home » Islam: Submission to Allah » Islamic Teachings and Virtues

Category Archives: Islamic Teachings and Virtues

Archives

Important Reflection: Reblog from NotAllBlues

Modus Operandi Pemalsu Hadits dan Pelanggaran Etika Publikasi: Ketika Pencatut Mencatut-Catut

Modus Operandi Pemalsu Hadits dan Pelanggaran Etika Publikasi: Ketika Pencatut Mencatut-Catut

Fajri M. Muhammadin

Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada

Pemalsu hadits adalah salah satu perusak agama. Prinsipnya, yang dikatakan sebagai pemalsu hadits adalah penyandaran informasi secara palsu kepada Nabi Muhammad ﷺ. Mereka dikatakan perusak agama karena apa yang mereka karang akan dianggap bagian dari agama, padahal sebenarnya bukan. Meskipun muatannya bisa jadi terasa ‘baik’, tapi ukuran baik dan buruk bagi kita adalah proses manusia yang bisa benar ataupun salah. Sedangkan penyandaran kepada Nabi menjadikan suatu informasi dianggap kebenaran mutlak.

Inti dari modus operandi pemalsu hadits adalah mengklaim sebuah informasi datang daripada Nabi Muhammad ﷺ, bahkan terkadang sampai memberikan sanad yang palsu. Kenapa mereka sampai menyandarkan sebuah informasi yang mereka karang sendiri kepada orang lain? Ada banyak motif yang umum ditemukan, misalnya: ingin memperkuat kubu politiknya, ingin menarik jama’ah dengan kisah yang unik, dan lain-lain. Motif-motif ini memiliki satu muara, yaitu agar informasi yang mereka karang dapat diterima orang berdasarkan kredibilitas orang yang secara dusta mereka sandarkan informasi tersebut.

Misalnya, Imam Dzahabi menulis bahwa konon ada riwayat hadits Nabi yang menghina Imam Syafi’i dan menyanjung Imam Abu Hanifah yang kononnya diriwayatkan melalui sanad yang oleh antara perawinya adalah Ma’mun bin Ahmad al-Sulami dari gurunya Ahmad bin Abdillah Al-Juwaybari. Masalahnya, Al-Sulami dan Al-Juwaybari ini, menurut berbagai ulama hadits, telah terkenal sebagai pendusta pemalsu hadits. Maka, riwayat ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh banyak ulama misalnya Imam Dzahabi, Ibn al-Jawzi dan lainnya..

Kini kita masuk ke “dunia” lain. Salah satu beban yang diemban oleh akademisi adalah untuk melakukan publikasi di jurnal ilmiah. Di tengah hegemoni indeksasi, para akademisi mencari jurnal ilmiah yang terindeks Scopus. Untuk menyambut kebutuhan ini, para pengelola jurnal pun berusaha men-scopus-kan jurnalnya yang syaratnya antara lain harus memiliki kontributor dari berbagai negara. Tentu ini adalah peluang besar untuk kerjasama internasional, baik dalam kolaborasi riset serta berbagi ide.

Akan tetapi, ternyata banyak juga yang menyambut hal ini dengan jalan pintas. Karena mengetahui jurnal-jurnal mencari naskah dengan kontributor internasional, akademisi lokal rupanya sering mencatut nama orang berafiliasi internasional sebagai ko-penulis tanpa ada keterlibatan dalam riset. Akhirnya, dengan bekal penyandaran naskah kepada co-penulis yang nyatanya tidak menulis, naskah pun lampak lebih bernilai sehingga makin berpeluang untuk diterima oleh jurnal tujuan tersebut.

Misalnya, seorang akademisi Yogyakarta yang sedang menjalani riset Postdoctoral di Jerman, beberapa waktu lalu tiba-tiba terkejut karena namanya dicatut tanpa konfirmasi ataupun komunikasi apapun pada sebuah artikel jurnal yang diterbitkan. Ia pun protes, dan namanya pun dicabut dari penerbitan jurnal tersebut. Bahkan, belum lama ini, ada seorang Professor terganjal pelanggaran etika, bukan hanya jumlah publikasinya di luar kewajaran, tapi karena mencatut tanpa komunikasi banyak akademisi di Malaysia.

Kadang hal ini diasumsikan sebagai “simbiosis mutualisme”. Yang mencatut akan mendapatkan tambahan kredibilitas pada naskahnya sehingga menambah peluang untuk diterima oleh jurnal tujuan. Yang dicatut, dianggap mendapat manfaat karena turut mendapatkan poin untuk keperluan kenaikan pangkat. Di sini, terkadang nama yang dicatut pun menyetujui atau kadang meminta (bahkan kadang memerintahkan) untuk dicatut meskipun tidak terlibat secara substantial dalam riset.

Apa betul bisa dikatakan sebagai “simbiosis mutualisme” apabila kedua pihaknya sepakat? Ada penulis yang berdusta menyandarkan risetnya kepada orang yang tidak meriset, dan ada penulis lain yang mengklaim secara dusta telah melakukan riset. Ini bukan symbiosis mutualisme, melainkan “symbiosis dustaisme”.

Selain permasalahan etika, ternyata dapat muncul masalah yang bersifat substansi. Misalnya, mungkin lebih umum di bidang-bidang Sosio-humaniora, jika riset tersebut mengambil stance akademik yang bertentangan dengan stance akademik orang yang dicatut? Hal ini terjadi pada seorang Professor di Malaysia yang berposisi bahwa tidak ada “jihad ofensif” dalam Islam. Betapa terkejut (dan marah) beliau ketika menyadari ada mahasiswanya yang mempublikasikan karya yang mendukung adanya jihad ofensif, dan mencatut nama beliau sebagai ko-penulis. Jikapun yang tercatut tidak peduli atau tidak keberatan, ini tetap menambah kecelaruan dalam diskursus akademik.

Hal ini bertambah runyam ketika para jurnal pun mengarahkan penulis untuk melakukan pelanggaran etika. Misalnya, ketika naskah sudah selesai proses review dan penyuntingan dan sudah menjelang terbit, tiba-tiba pengelola jurnal meminta penulis untuk menambahkan ko-penulis internasional sebelum penerbitan. Dalam posisi seperti itu, para penulis tidak disyaratkan maupun dimungkinkan untuk adanya perubahan substantial (ataupun non-substansial sekalipun) setelah adanya penambahan ko-penulis baru tersebut. Tanpa mengurangi betapa pentingnya menjaga integritas, harus kita pahami sulitnya posisi penulis yang sudah menjalani proses yang sangat panjang, sudah di penghujung jalan, dan di saat itulah diminta melakukan hal seperti ini.

Kembali ke soal hadits. Para ulama menilai riwayat di atas palsu bukan karena Al-Sulami dan Al-Juwaybari terbukti memalsukan hadits tadi secara khusus, melainkan karena secara umum diketahui suka memalsukan berbagai hadits. Karena itu, sudah hilang kepercayaan pada mereka, dan apapun yang mereka katakan tidak dipercayai lagi. Maka sejarah, melalui banyak ulama mencatat legacy dari Al-Sulami dan Al-Juwaybari beserta pemalsu hadits lain sebagai jajaran pendusta, sampai seribu tahun kemudian. Apa sisa kehormatan dari orang-orang yang setelah ratusan tahun wafatnya masih dikenang karena alasan seperti ini?

Apabila pemalsu hadits merusak agama, maka pelanggar etika publikasi merusak iklim pendidikan dan kemajuan ilmu. Apabila pelanggaran etika publikasi dilakukan dalam ilmu-ilmu agama, terlebih lagi urusan dunia akhirat lebih kena lagi.

Padahal mencatut nama baru satu dari sekian banyak praktek pelanggaran etika yang terjadi. Praktek yang lain, misalnya, adalah plagiarisme. Modus operandi pemalsu hadits juga ada yang seperti plagiarisme, yaitu mencomot hadits yang shahih tapi menempelkan namanya sendiri secara dusta di sanadnya. Marak sekali ini ditemukan di jurnal-jurnal yang terbit di Indonesia juga.

Maka apabila praktek-praktek dusta, “symbiosis dustaisme”, bahkan ekosistem perdustaan, telah makin merajalela di Indonesia, bagaimana nasib reputasi akademisi Indonesia di mata dunia? Jangan-jangan Indonesia bisa menjuarai lomba pelanggaran etika, dan akademisi yang jujur akan dianggap outlier.

Refleksi (Curcol?) Buku: Dampak Ilmu pada Kesalehan Personal

Buku “Dekolonisasi: Metodologi Kritis dalam Studi Humaniora dan Studi Islam” yang diterbitkan oleh Yayasan Bentala adalah kompilasi catatan-catatan oleh penulisnya, Dr. Muhamad Rofiq Muzakkir, selama studi doktoralnya di Arizon State University.

Buku ini sangat saya rekomendasikan, terutama bagi sesiapa yang mempelajari ilmu-ilmu sosio-humaniora. Bahkan untuk bidang hukum, meskipun tidak secara khusus mengkaji hukum Islam, akan sangat penting membaca buku ini karena akan sulit untuk orang Indonesia belajar hukum dan tidak bersinggungan dengan masyarakat yang beragama (apapun, meskipun mayoritasnya Islam) dan masyarakat dengan nuansa adat yang kental (yang bersifat religio magis). Apalagi, di bangku perkuliahan hukum biasanya sangat sekuler konsep-konsepnya, meskipun sesekali ada bau-bau agamanya sedikit.

Yang ingin saya ulas sedikit (barangkali agak curcol) adalah refleksi saya terhadap Bab 16: Pendidikan Islam Pascakolonial: Riset Aria Nakissa. Bab-bab di buku ini sangat pendek dan masing-masingnya bisa membawa perenungan yang panjang sekali. Tapi ada satu renungan spesifik yang ingin saya sampaikan.

Aria Nakissa mengkaji dampak pendidikan ala Barat terhadap pendidikan Islam, khususnya di Mesir. Salah satu dampak yang disoroti adalah mulai berkurangnya dampak ilmu agama kepada karakter pribadi. Tentu seharusnya seseorang yang makin mempelajari ilmu agama akan semakin mempraktekkan apa yang ia ketahui. Sehingga, harusnya mereka adalah orang-orang yang paling baik.

Kalau dipikir-pikir, hal ini dari dulu memang merupakan sebuah ekspektasi saya pribadi (dan, nampaknya, banyak orang juga) terhadap pakar dan pembelajar ilmu agama secara khusus ataupun sosok terpelajar dan/atau pendidik secara umum. Sebagaimana kata pepatah, bagaikan padi yang semakin berisi semakin merunduk.

Karena itulah, meskipun saya bukan pakar agama, tapi sebagai pendidik di bidang hukum saya setengah mati berusaha (misalnya) se-tertib mungkin di jalan raya, tidak buang sampah sembarangan, dan lain sebagainya. Saya masih jauh dari sempurna, tapi saya benar-benar berusaha. Apalagi, ketika menuntaskan Ph.D Thesis, ada satu bab khusus yang membahas amanah dan khiyanat dalam konteks hukum, saya semakin waspada kalau berjanji. Lebih berusaha untuk tidak asal ngomong “insyaAllah” atau “ya” sekadar karena tidak enak, kalau saya tidak yakin bisa memenuhi.

Katanya, akibat pendidikan Barat, mulai nampak ahli-ahli ilmu agama yang kelakuannya tidak mencerminkan hal tersebut. Aria Nakissa menyebut contoh Professor studi Islam yang merokok di ruang publik atau menggunakan bahasa yang kurang sopan ketika mengajar.

Di sini, saya bukan pakar agama tapi saya berusaha belajar. Saya berusaha ke sana-sini kepo sana kepo sini kepada para asatiz dan masyaikh (baik langsung maupun melalui rekaman ceramah ataupun karya tulis) untuk belajar. Dalam banyak hal, alhamdulillah saya mendapatkan bukan hanya ilmu secara substansi tapi belajar banyak dari kesalehan personal dari banyak asatiz dan masyaikh ini.

Sekali-sekali mendengar kabar asatiz dan masyaikh yang ‘miring’, saya selalu berusaha ber-husnudzon dengan menganggap itu minority report saja dan/atau saya belum tahu kebenaran yang utuh terkait kabar-kabar tersebut.

Hanya saja, yang sedikit kecewa adalah ketika ‘statistik’ pengalaman personal yang berbicara. Saya kebetulan memiliki pengalaman bekerjasama dengan berbagai kalangan. Ada pengalaman kerjasama yang manis, ada yang harus berpahit-pahit tapi alhamdulillah berakhir tuntas, tapi ada juga kerjasama yang akhirnya kemudian gagal menuntaskan tujuan.

Tentu saya juga pastinya punya andil dalam kegagalan-kegagalan ini. Tapi, selain itu, banyak kasus gagal yang berakhir demikian karena rekan kerjasama ini tiba-tiba menyublim karena satu dan lain hal. Kadang kita ketahui alasannya, kadang juga tidak diketahui karena ya menyublim saja begitu.

Yang agak mengecewakan adalah karena kok mayoritas kerjasama gagal karena rekan yang menyublim ini, adalah mayoritasnya dari kalangan asatiz dan thulabul ‘ilmi.

The Potential Role of Computational Linguistics by Author Discrimination in the Development of ‘Ulum Al-Hadith

image credit: https://thecustomizewindows.com/

The Potential Role of Computational Linguistics by Author Discrimination in the Development of ‘Ulum Al-Hadith

By: Fajri M. Muhammadin

.

In 2012, an article titled “Author discrimination between the Holy Quran and Prophet’s statements” written by Prof Halim Sayoud was published in Literary and Linguistic Computing Vol. 27(4) year 2012. This amazing article performed author discrimination by stylometric analysis towards the language of the Qur’an and authentic ahadith.

The results show that there is a big difference between the language style of the Qur’an and authentic ahadith, proving that each have distinct authors. This adds up to the already numerous scientific evidences that Prophet Muhammad ﷺ did not author the Qur’an.

PS: Prof Halim Sayoud has updated that research into a much grander one, which he published on his website.

However, research is but a relay. A researcher can only run as far as he/she can until eventually passing on the baton to the next researcher who will continue the race. This is what researchers have always done throughout generations.

Six years later, 2018, I sent an email to Prof Halim Sayoud. He is a Professor of Electronics and Informatics at the University Of Science And Technology Houari Boumediene, Algeria. I asked him (although what I really meant was “do you think you can do this research? I will want to read it after you do.” Hehe), is it possible to do a similar research but to compare the Qur’an and authentic hadith qudsi? The hadith qudsi contains kalam attributed to Allah.

Alhamdulillah, he replied to my email two days later. He said that such research appears to be impossible. He said that stylometric researches would require very large data sets (thousands), while there are only a very little available hadith qudsi (authentic ones are even less). I was surely disappointed, but what can I do. Nonetheless, I was very happy he took the time to respond to my email.

Four years later in 2022, exactly 14 May. It was amidst the screams of my very tired son who was unable to sleep (we are weaning him) that an epiphany came. One that had nothing to do with the many researches and other duties that I was supposed to be thinking about at the time.

What if we use stylometric research to compare authentic ahadith and fabricated ones? If anyone fabricated a hadith, surely the language style would differ greatly with that of Prophet Muhammad ﷺ. After all, the ‘ulama of hadith say that, among the characteristics of fabricated hadith, was the use of imperfect Arabic language in the matn.

The stumbling block of the previous research idea with hadith qudsi does not exist here. Unfortunately, there are so many fabricated hadith out there. There are even special books dedicated to collect fabricated hadith, such as Kitab Al-Mawdu’at Al-Kubra by Imam Ibn al-Jawzi. There will be an abundance of samples for the dataset.

Successful research would provide clear and scientifically sound indicators that there would be very different styles of language between authentic and fabricated ahadith. In such a case, there maybe some prospects to further develop and utilize this research, inter alia:

  1. It may add to the science of matan critic, which might later be further developed to examine da’if (but not fabricated) hadith,
  2. One may also compare the ahadith between those considered sahih by ahlus sunnah and shi‘a.
  3. Etc

It must be noted that even successful research results will not justify its use as sole determiner of hadith status. No researches like this will ever have a 100% confidence rate, while methodological choices could definitely reduce but never eliminate error factors.

After all, even the established methodologies applied by the muhaddithin throughout the ages would hardly achieve a 100% certainty rate, except for the text of the Qur’an and mutawatir hadith (which are not very numerous). What they can do is to further reduce the error factors by analyzing as many aspects and angles as possible while continuously improving the methodology used. Perhaps computational linguistics could contribute to this effort.

Nonetheless, as far as I can think of, there are a few possible problems:

First, the ‘ulama have differed on many occasions regarding the status of a hadith. Regarding authentic hadith, Prof Halim Sayoud used samples form Kitab Sahih Al-Jami‘ or famously known as Sahih Al-Bukhari. There is little to no controversy regarding the authenticity of its content. However, more problems will show regarding the fabricated hadith. There ‘ulama sometimes differ on whether a narration is fabricated or ‘only’ very weak, for example. Even Ibn al-Jawzi’s kitab Al-Mawdu’at al-Kubra is not free from critic. These different rulings regarding hadith status would have different consequences. Hence, such a research would need to be careful in setting the parameter to identify fabricated hadith for its dataset.

Second, some narrations are ruled as fabricated not because of matan fabrication. It is possible that a fabricator actually did on occasions narrate authentic hadith, but all of his reports are rejected because he has made fabrications on other occasions. Another possibility, the matan is not fabricated but the sanad is. Perhaps things like this are why we need very large datasets as sample.

Third, the fabricated ahadith do not come from a single author. There are so many hadith fabricators. In Prof Halim Sayoud’s previous research, he compared two datasets which each has one author. In this research I am thinking about, the Sahih ahadith surely has one author i.e. Prophet Muhammad ﷺ. Meanwhile, the dataset of fabricated ahadith would have many authors. It would be wrong to analyze samples from numerous authors, conclude a style characteristic, and treat it as if it is one author. Meanwhile, each of those hadith fabricators will have different styles from each other. Is there any way to work around this problem?

Before writing this, I have just sent an email to Prof Halim Sayoud to ask what he thinks of this idea. I will update this post when (if) he replies, insha’Allah. UPDATE: He Has Replied to My Email. So below is what he said, and afterwards I will share my thoughts:

————————————————-

Assalam Alaikom Fajri

Sorry for the delay…

Firstly, Thank you for the proposal, it’s very interesting indeed.

Everything one can do for the guidance of humanity is good.

As you know, previous stylometric analysis of the holy Quran and Hadith showed that the two books come from two Authors, and then the Quran cannot be an invention of the Prophet PBUH. As a scientific discovery, this may confirm the authenticity of the holy book somehow.

Now, concerning your proposed idea, I think it could be applied in specific conditions.

So, if you try to use stylometry to check the authenticity of a Hadith, it should be very difficult – Let’s take an example, suppose one want to analyze the following Hadith “صوموا تصحُّوا”, which is composed of only 2 words. In this case this 2-words Hadith doesn’t have enough information to compare to the reference database of the authentic Hadith. In fact, a fair stylometric analysis require about 2500 words.

On the other hand if you try to check the authenticity of a consistent dataset of Hadiths, it should be possible. That is, if you have, for instance, 100 Hadiths that you merge together to produce a big text of about say 1000 words, there is a fair possibility to check whether the investigated dataset is genuine or false.

In that context, I tried to conduct such a test with datasets of about 1030 words per document. Results were interesting, since the fabricated documents were automatically identified as false (i.e. not belonging to the Hadith Author).

That is, I hope you appreciated this discussion and I wish you much success in your professional life…

Best regards

Halim

—————————————————————————

Before anything else, I am very thankful that he did not only answer my question hypothetically but also took the time to run some tests.

The highlight is that the stylometry test can only be done with relatively big datasets, i.e. around 2500 words (Im sure more words would produce stronger results). As he indicated in the email, merging multiple hadith to meet that necessary amount of words is possible.

I have asked him what will happen if the dataset contains a mix of authentic and fabricated ahadith (50:50) to be compared with a second dataset of 100% authentic ahadith. His response is as follows:

———————-

Dear Fajri

In this case you will have some features similar to the reference Hadith and some different, obviously.

Sincerely, I don’t know really what could be the result, but it will probably lead to a borderline decision: not authentic and not too different.

For instance, suppose that a book is written by 2 authors X and Z and is segmented into several segments.

As you can see in the following drawing, if a text segment contains both text from X and Z, then it may be classified as a group Y, which is between them:

XX X XXX XX                        Y                     ZZ ZZZ ZZZ

That is, the document Y is classified quite far from X and from Z too.

Such conditions are misleading, but could bring some information.

Hope I responded to your question…

Halim

—————————–

This is interesting, so it is possible that the results of these tests are not merely black and white YES vs NO but may also show gray areas where there are some similarities. But this should be one among many things considered by the researcher, especially because some hadith forgers (as explained earlier) take authentic ahadith and make up an isnad. Or, a book may contain a mix of multiple ahadith with various grades of authenticity (or lack thereof).

So what seems to be the most apparent potential use of this method? Considering (a) the need for big datasets and (b) the third problem above concerning multiple fabricated narrators.

Perhaps I can think of at least three, to further clarify the previous 2 possible benefits I have already mentioned earlier (I am not deleting the previous list, because they are still relevant):

  1. Investigating Hadith Compilations and/or Their Gradings: it is true that many hadith compilations (e.g. Sunan Tirmidhi and Sunan Abi Dawud) were not intended to be a full authentic compilation. However, scholars have tried making takhrij towards these ahadith in the sunans or others compilations and did their gradings (e.g. Shaykh Nassirudin Al-Albani). It is possible to try extract all ahadiths from the sunans authenticated by Shaykh Al-Albani (or Shaykh Shu’ayb al-Arnawt whoever) and compare them with Sahih Al-Bukhari with stylometry test to see what it looks like. We can do the same with Shi’ah books of ahadith, such as Al-Kulani’s Al-Kafi (of course it will require sorting out only narrations attributed to Prophet Muhammad ﷺ and excluding those attributed to the alleged Infailable Imams).
  2. Investigating Certain Hadith Narrators: It might be fruitful to begin by assessing narrations narrated by known fabricators, one fabricator at a time. One must choose individual fabricators that have narrated many (fabricated) narrations, such as Jabir ibn Yazid Al-Ju’fi and Abu al-Mufaddal al-Shaybani, both Rafidis who have fabricated so many narrations (thanks to Ustaz Tommi Marsetio and Ustaz Abdullah Al-Rabbat for telling me this). Then a stylometry test is done to compare Jabir’s fabrications with authentic ahadith. If the results are successful, maybe we can use this method to assess ambiguous (da’if) narrators as additional consideration for purpose of jarh wa ta’dil. The limitation to this approach is that it can only test narrators with many narrations.
  3. Investigating Sahabah Accuracy: we can compare authentic ahadith narrated from one sahabah, with other statements authentically attributed to that sahabah. This is to assist in examining the extent to which paraphrasing might have been done by the sahabah in narrating ahadith. Bearing in mind, of course, that there are some ahadith reported by multiple sahabah in the exact same wording (but there are also some ahadith reported by different sahabah but with some differences in wording.

================

Unfortunately, I am unable to do this research myself as it is not my field. Insha’Allah I am doing many researches in my own field that intersects with the Islamic sciences, but not this one. I pray that Prof Halim would be inspired to make this research, or at least give constructive feedback to this idea.

I really hope that other Muslim experts on computational linguistics and hadith experts would take this idea and execute it.

.

Potensi Peran Computational Linguistics berupa “Author Discrimination” dalam Pengembangan Kajian Ilmu Hadits

image credit: https://thecustomizewindows.com/

Potensi Peran Computational Linguistics berupa “Author Discrimination” dalam Pengembangan Kajian Ilmu Hadits

Oleh: Fajri M. Muhammadin

.

Pada tahun 2012, sebuah artikel jurnal berjudul “Author discrimination between the Holy Quran and Prophet’s statements” yang ditulis oleh Prof Halim Sayoud diterbitkan di Jurnal Literary and Linguistic Computing Vol. 27(4) tahun 2012. Artikel luar biasa ini melakukan kajian stylometik terhadap gaya Bahasa dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih, lalu membandingkan di antara keduanya (author discrimination).

Hasilnya adalah bahwa gaya Bahasa dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih ternyata sangat jauh berbeda, sehingga membuktikan bahwa keduanya tidak diucapkan oleh penutur yang sama. Hal ini menjadi tambahan bukti saintifik bahwa Nabi Muhammad ﷺ tidak mengarang Al-Qur’an, di samping banyak bukti lain yang telah dimiliki oleh umat Islam.

PS: Prof Halim Sayoud sudah meng-update penelitian beliau jadi lebih besar yang beliau publikasikan di website beliau.

Tapi, yang namanya penelitian itu seperti estafet. Seorang peneliti hanyalah membawa lari sebuah baton sekadar sejauh yang ia mampu, dan di ujungnya ia akan mengoper pada seorang peneliti lainnya untuk melanjutkan lari tersebut. Demikianlah hakikat penelitian dari generasi ke generasi lainnya.

Enam tahun kemudian yaitu tahun 2018, saya mencoba mengirimkan email kepada Prof Halim Sayoud yang merupakan pakar Elektronika dan Informatika dari  University Of Science And Technology Houari Boumediene, Aljazair. Saya bertanya pada beliau (modus saya ‘nanya’, maksud hati ‘gimana kalo anda meneliti lagi nanti saya baca lagi’ hehe), apakah mungkin melakukan kajian serupa untuk membandingkan antara Al-Qur’an dan Hadits Qudsi yang sahih? Karena Hadits Qudsi berisi kalam yang secara periwayatan dinisbatkan kepada Allah.

Alhamdulillah, selang dua hari beliau membalas email saya. Kata beliau penelitian tersebut nampaknya mustahil, sebab kajian stylometri memerlukan sampel data yang sangat besar (katanya memerlukan ribuan kata). Padahal, Hadits Qudsi (apalagi yang sahih) sangat sedikit sekali. Agak kecewa, tapi ya mau bagaimana. Setidaknya saya senang sekali beliau sudah sudi menjawab email saya.

Empat tahun kemudian, tahun 2022, tepatnya tanggal 14 Mei. Di tengah jeritan anak yang ngantuk tapi belum berhasil tidur karena sedang berusaha disapih, datanglah sebuah ilham yang tidak ada hubungannya dengan banyak penelitian dan amanah lain yang seharusnya saya pikirkan.

Bagaimana kalau dilakukan kajian perbandingan stylometri antara hadits-hadits shahih dan dan palsu? Sebab, jika ada orang yang memalsukan hadits, pastilah gaya berbahasanya akan berbeda dengan Nabi Muhammad ﷺ. Makanya di antara ciri hadits palsu menurut para ‘ulama adalah matannya berbahasa Arab yang tidak sempurna.

Masalah yang membentur peluang kajian dengan hadits qudsi dulu, insha’Allah kali ini tidak ada. Qadarullah, hadits-hadits palsu sangat melimpah jumlahnya. Bahkan ada kitab hadits yang khusus menghimpun hadits palsu, misalnya Kitab Al-Mawdu’at al-Kubra karya Imam Ibn al-Jawzi. Jadi, sampelnya banyak sekali.

Kalau kajiannya sukses, akan terlihat jelas dengan indikator-indikator yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah bahwa ada perbedaan gaya Bahasa antara hadits yang sahih dan palsu. Jika demikian, akan ada beberapa peluang prospek penerapan lebih lanjut lagi untuk penelitian ini, di antaranya:

  1. Ilmu ini bisa memperluas kajian kritik matan hadits atas hadits-hadits dha’if ringan dan berat (selain palsu).
  2. Bisa juga dilakukan kajian perbandingan hadits-hadits sahih dari ahlus sunnah dengn hadits hadits dari syi’ah
  3. Dan lain-lain

Sebagai catatan, pun kajiannya membawa hasil yang positif, tentunya bukan berarti metode ini bisa menjadi instrument tunggal dalam menetapkan status hadits. Semua kajian semodel ini pastilah punya confidence level yang tidak mencapai 100%, sedangkan pilihan-pilihan metodologis mungkin bisa memperkecil tapi tidak menghilangkan peluang kesalahan.

Bagaimanapun juga, metode yang sudah terpercaya dan digunakan oleh para ‘ulama hadits sepanjang zaman pun sulit untuk mencapai level yaqin yang 100% kecuali untuk teks Al-Qur’an dan beberapa hadits yang shahihnya mutawatir (yang jumlahnya sangat sedikit). Yang dapat dilakukan adalah terus mencoba mengurangi peluang kesalahan dengan mengkaji berbagai sudut dan senantiasa memperbaiki metodologi. Barangkali, ilmu computational linguistics bisa menjadi tambahan dalam upaya tersebut.

Walaupun demikian, sependek yang saya terfikir, mungkin akan ada beberapa peluang masalah:

Pertama, ‘ulama seringkali berbeda pendapat dalam menghukumi hadits. Dari sisi hadits shahih, dalam kajian sebelumnya Prof Halim Sayoud menggunakan sampel dari Kitab Shahih al-Jami’ atau lebih dikenal dengan Sahih Al-Bukhari yang cuma sedikit kontroversi atas kualitasnya. Masalahnya nanti adalah dari sisi hadits palsunya, sebab ada juga riwayat yang ulama berbeda menghukumi apakah ia dha’if berat atau palsu (termasuk terhadap isi Kitab Al-Mawdu’at al-Kubra). Konsekuensi hukumnya akan berbeda nantinya. Maka, untuk kajian ini akan memerlukan penetapan metode yang teliti dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kedua, sebagian hadits dihukumi palsu belum tentu karena si perawi mengarang matannya. Bisa jadi ia kebetulan sedang meriwayatkan hadits yang sahih tapi terlanjur dikenal sebagai pendusta jadi dianggap palsu juga, atau yang dipalsukan adalah sanadnya saja. Barangkali hal-hal seperti inilah yang diatasi dengan penggunaan sampel yang sangat besar.

Ketiga, tidak adanya penutur tunggal hadits-hadits palsu. Perawi pendusta itu banyak sekali. Kalau kajian Prof Halim Sayoud dulu, yang dibandingkan adalah dua kumpulan sampel yang masing-masingnya berasal dari satu penutur saja. Kalau kajian yang saya usulkan ini, dari sisi hadits shahih jelas penuturnya hanya satu. Sedangkan hadits-hadits palsu, penuturnya banyak sekali. Maka memaksakan kajian ini jangan-jangan akan keliru, sebab akan mengasumsikan satu gaya Bahasa atas beranekaragam penutur yang berbeda. Apakah ada pemilihan metode yang mungkin dapat mengatasi masalah ini?

Sebelum menulis ini, saya baru saja mengirimkan email ke Prof Halim Sayoud untuk ‘bertanya’ (modus) apa pendapat beliau tentang ide ini. Akan saya update tulisan ini ketika (kalau) beliau sudah membalas email saya. UPDATE: beliau sudah membalas email saya! Berikut email beliau, dan akan saya berikan catatan.

——————————————–

Berikut terjemahan bebas email beliau:

Assalam Alaikom Fajri

Maaf atas keterlambatan dalam menjawab…

Pertama, terima kasih banyak atas usulannya. Sangat menarik.

Apapun yang dapat kita lakukan untuk membantu memberi hidayah pada umat manusia adalah suatu kebaikan.

Sudah kita ketahui bahwa analisis stylometrik Al-Quran dan Hadits menunjukkan bahwa kedua buku datang dari dua ‘Penutur’ yang berbeda, maka Al-Qur’an bukanlah rekaan oleh Nabi Muhammad S.A.W. Sebagai temuan saintifik, mungkin bisa menambah bukti otentisitas kitab suci kita.

Terkait idemu, saya fikir bisa diterapkan dalam beberapa keadaan.

Kalau yang ingin kamu lakukan adalah menggunakan stylometry untuk memeriksa sahih-tidaknya sebuah hadits, akan sulit sekali. Misalnya kalau kita mau mencoba menganalisis hadits “صوموا تصحُّوا”, yang hanya terdiri dari dua kata. Dalam kasus ini, hadits berisi dua kata ini tidak memiliki cukup informasi sebagai perbandingan dengan database hadits sahih. Bahkan, analisis stylometrik yang baik akan memerlukan sekitar 2500 kata.

Tapi kalau memeriksa otentisitas dataset kumpulan hadits, seharusnya bisa. Misalnya, kalau kamu punya seratus riwayat yang dihimpun hingga akhirnya berisi sekitar 1000 kata, mungkin bisa dilakukan tes untuk mengkaji apakah dataset tersebut cocok (penuturnya sama dengan yang dibandingkan, yaitu hadits sahih) atau tidak.

Nah dalam konteks tersebut saya mencoba melakukan tes dengan dataset sebesar sekitar 1030 kata per dokumen. Hasilnya menarik, karena dokumen berisi dataset tersebut otomatis diidentifikasi sebagai ‘tidak cocok’ (i.e. tidak berasal dari penutur yang sama dengan dataset hadits sahih).

Saya berharap diskusi ini memenuhi ekspektasimu, dan saya mendoakan kesuksesan untukmu dalam pekerjaanmu.

Hormat saya,

Halim

——————-

Saya sangat berterima kasih karena beliau bukan hanya menjawab pertanyaan saya secara hypothetical, tapi sampai repot-repot mencoba menjalankan eksperimen.

Poin terpenting dari email beliau adalah bahwa tes stylometry cuma bisa dilakukan dengan dataset yang relatif besar, yaitu sekitar 2500 kata (saya yakin kalau makin besar akan makin baik). Sebagaimana yang beliau katakan, ini bisa dilakukan dengan mencampur banyak hadits untuk memenuhi jumlah kata yang besar.

Saya sudah menanyakan pada beliau, apa yang akan terjadi kalau dataset berisi campuran hadits sahih dan palsu (50-50) lalu dibandingkan dengan dataset berisi 100% hadits sahih. Berikut jawaban beliau:

———————————

Berikut terjemahan bebas email beliau:

Dear Fajri

Dalam kasus seperti itu, maka akan ada data yang serupa dan berbeda dengan hadits-hadits sahih, tentunya.

Jujurnya, saya tidak tahu bagaimana nanti hasilnya kalau dilakukan uji stylometri. Tapi mungkin saja hasilnya tidak tegas: sangat cocok ya tidak, tapi sangat tidak cocok ya tidak juga.

Misalnya, ada buku yang ditulis oleh dua penulis X dan Z yang terbagi dalam bab-bab.

Sebagaimana contoh di bawah, jika ada bab yang mengandung tulisan X adan Z sekaligus, mungkin akan dikelompokkan jadi Y yang berada di antara X dan Z:

XX X XXX XX                        Y                     ZZ ZZZ ZZZ

Maksudnya, bab Y diklasifikasi jauh berbeda dari X maupun Z.

Keadaan ini mengelirukan, tapi bisa memberikan tambahan informasi.

Hope I responded to your question…

Halim

—————————

Ini menarik karena mungkin saja hasilnya bukan sekedar COCOK vs TIDAK COCOK, tapi ada abu-abunya kalau memang ada campuran antara palsu dan sahih. Tapi intinya ini salah satu dari sekian banyak yang perlu dipertimbangkan oleh seorang peneliti. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bisa saja ada perawi yang mengambil matan hadits sahih lalu yang dipalsukan adalah sanadnya. Atau, ada kompilasi hadits yang isinya hadits-hadits yang beraneka ragam tingkat kesahihan (dan ketidaksahihan)nya.

Lalu bagaimana kiranya menggunakan teknik ini? Khususnya mempertimbangkan (a) perlunya dataset besar, dan (b) masalah ketiga di atas terkait banyaknya pemalsu hadits yang berbeda dalam satu kompilasi.

Mungkin ada tiga kemungkinan penggunaan, untuk lebih menjelaskan dua manfaat yang sudah sempat saya singgung di atas (yang di atas tidak saya hapus, karena masih relevan. ):

  1. Mengkaji kompilasi hadits dan/atau penilaian ulama atasnya: memang betul bahwa banyak kompilasi hadits (semisal Sunan Tirmidzi dan Sunan Abi Dawud) yang tidak dimaksudkan menjadi kumpulan hadits sahih. Tapi para ‘ulama telah mencoba melakukan takhrij terhadap kompilasi-kompilasi hadits ini dan memberikan penilaian (misalnya, Syaikh Nassirudin Al-Albani). Mungkin bisa dicoba mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab-kitab Sunan yang disahihkan oleh Syaikh Albani (atau Syaikh Syu’aib Al-Arnauth atau siapa lah yang lain) dan dibandingkan dengan Sahih Al-Bukhari dengan tes stylometry. Bisa juga dilakukan kajian terhadap kitab-kitab hadits Syi’ah seperti Al-Kafi-nya Al-Kulani (tentu harus disortir yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad ﷺ saja, karena kitab tersebut juga berisi riwayat-riwayat yang kononnya datang dari imam-imam Syiah yang lain).
  2. Mengkaji Perawi-Perawi Tertentu: Mungkin akan bagus untuk memulai dengan mengkaji perawi-perawi pendusta yang merawikan banyak riwayat dusta, misalnya Jabir ibn Yazid Al-Ju’fi atau Abu al-Mufaddal al-Shaybani, keduanya adalah Syiah Rafidah yang memalsukan banyak hadits (terima kasih pada Ustaz Tommi Marsetio dan Ustaz Abdullah Al-Rabbat yang telah mengusulkan kedua nama ini). Riwayat-riwayat mereka bisa dibandingkan dengan hadits-hadits sahih melalui tes stylometri. Kalau hasilnya sukses, mungkin bisa mulai mencoba melakukan kajian serupa terhadap perawi-perawi yang masih 50-50 (dha’if) sebagai pertimbangan tambahan dalam kajian jarh wa ta’dil. Tentunya batasan kajian ini adalah hanya bisa dilakukan terhadap perawi yang banyak meriwayatkan.
  3. Mengkaji Keakuratan Sahabat: kita bisa membandingkan (a) hadits sahih yang diriwayatkan oleh seorang sahabat, dengan (b) kalam-kalam personal sahabat tersebut yang sahih dinisbatkan kepadanya. Ini bisa menjadi pertimbangan tambahan dalam memeriksa sejauh mana para sahabat melakukan parafrase dalam meriwayatkan hadits. Sebab, ada banyak hadits dengan redaksi sama persis yang diriwayatkan oleh banyak sahabat sekaligus, tapi ada juga hadits yang redaksinya beda dengan makna yang sama diriwayatkan oleh sahabat yang berbeda.

Sayang sekali ini bidang ini bukan kepakaran saya, jadi saya tidak mampu melakukan kajian ini sendiri. Insha’Allah saya sedang melakukan kajian-kajian lain terkait Islam yang beririsan dengan bidang saya, tapi untuk ide penelitian yang saya tulis ini saya tidak bisa. Mudah-mudahan Prof Halim berhasil ter-moduskan dengan baik, tapi kalaupun tidak mudah-mudahan setidaknya beliau bisa memberikan masukan terkait ide tersebut.

Saya berdoa mudah-mudahan pakar ilmu computational linguistics Muslim Indonesia bisa bekerjasama dengan pakar-pakar ilmu hadits menyambut ide penelitian ini dan dieksekusi dengan baik.

.