Kenapa Saya Memilih IIUM (Part III of IV)
PERTANYAAN 3: KAMU PINDAH JURUSAN LAGI?? KOK SEKARANG JADI STUDI AGAMA? HOBI BENER BERUBAH HALUAN?
Pindah Jurusan
Saya mau ketawa kalau mendengar pertanyaan ini. Memang track record saya dalam pindah-pindah agak kurang bagus. Saya dulu cita-cita mau masuk fakultas hukum, lalu malah kuliah fisika. Eh lalu pindah ke fakultas hukum. Setelah lulus saya ada cita-cita mau jadi dosen, eh malah masuk ke law firm, eh terus belum selesai kontrak malah kepingin keluar dan balik jadi dosen. Dan sekarang ini, kok saya katanya minat dengan hukum internasional eh malah kok sekarang jadi agama Islam?
Yang pertama ingin saya sampaikan adalah bahwa tidak semua orang diberkahi dengan rencana yang matang sejak awal dia akil baligh. Terkadang ia ingin coba-coba dulu sebelum kemudian kelak menetapkan arah. Terkadang juga ia memiliki rencana lalu galau di tengah jalan, dan di tengah kegalauan itu ia bisa memutuskan untuk tegas bisa juga memutuskan untuk mencoba belok.
Ketika dia pernah mengatakan “saya tahu apa yang saya lakukan”, tentunya ini jangan diartikan sebagai orang ini sombong dan merasa tahu segalanya. Pahamilah bahwa ia melihat ilmu pengetahuan sebagai puzzle, dan maksudnya “saya tahu apa yang saya lakukan” adalah bahwa dia sudah memilih di mana mencari potongan puzzle berikutnya.
Masalahnya tidak ada yang mengetahui masa depan. Saya punya rencana sejak lama, setidaknya sejak SMA. Saya sudah punya cita-cita. Tapi namanya manusia, tentu ketika dia bertambah ilmunya masa dia tidak bertambah wawasan dan kebijaksanaannya? Dan jika sudah bertambah wawasan dan kebijaksanaannya, bukankah dia akan melihat lebih banyak pilihan yang ada dan lebih banyak melihat ada apa di balik pilihan-pilihan ini?
Dan oleh karena itu, bukan sedikit kemungkinan untuk ia memutuskan untuk either konsisten dengan rencananya atau berbelok, dengan mempertimbangkan maslahat atau mudharat dalam perjalanan hidupnya?
Terus terang saya tidak melihat bahwa saya tidak konsisten. Sejak SMA, secara konsisten saya memang ingin kuliah hukum. Ketika saya kemudian kuliah di Fisika, justru itulah penyimpangan dari goal saya. Terus terang saya galau, karena diterima hukum tapi di kampus Swasta tapi diterima Fisika (pilihan kedua, pertamanya hukum tapi gagal) di universitas negeri yang –debatably- terbaik di Indonesia. Bukti konsistensi saya adalah bahwa saya menginginkan untuk pindah ke fakultas hukum sesuai cita-cita awal. Dan nyatanya Alhamdulillah saya masih konsisten dan berkarya di bidang saya ini.
Menjadi Dosen?
Menjadi guru dan mengembangkan ilmu pun ternyata ada di darah daging saya entah berapa generasi ke belakang. Sebelum lulus saya sudah kepingin menjadi guru atau dosen. Kenapa saya kerja di law firm? Silahkan tanya semua orang tempat curhat saya, niatnya Cuma mau magang supaya ada pengalaman kerja hukum. Karena kok sekian tahun kerja pengalaman kerja saya kok non hukum.
Sangat di luar kendali bahwa ternyata ketika saya wawancara magang, malah ternyata ditawari kerja full time dengan kontrak setahun. Kenapa saya tidak menolak saja kalau saya memang tidak mau? Mungkin sulit mendeskripsikan keadaan wawancara saat itu, apalagi saya mana tahu bahwa akan mendapat kesempatan mengajar di kampus sebelum saya mendapat S2? Akhirnya atas kebaikan hati atasan-atasan saya, saya pun keluar dari law firm untuk mengajar di kampus tercinta sambil menunggu berangkat S2.
Allah sangat baik kepada saya memberikan kesempatan saya mengajar walaupun belum S2 (sebenarnya kurang cocok dengan aturan) dan mendapatkan beasiswa LPDP dengan bisa dibilang tidak sengaja. Dengan cita-cita saya sebagai dosen, apakah masuk akal jika saya saat itu menyia-nyiakan kesempatan mengajar dan berangkat S2, hanya karena “harus konsisten”?
Pertama, tidak. Itu tidak worth it. Ini cita-cita saya. Sudah saatnya saya kembali on track, dan ini kesempatan yang sangat besar yang tidak datang pada setiap orang.
Kedua, tidak. Ini bukanlah inkonsistensi. Saya kerja di law firm itulah yang inkonsisten dengan tujuan saya di awal. Justru keluar dari law firm adalah harga mahal konsistensi saya.
Pindah Jurusan Lagi?
Keilmuan hukum internasional sangat luas dan abstrak. Begitu banyak cabang-cabang dari hukum internasional yang masing-masingnya adalah bidang ilmu sendiri. Misalnya, di fakultas hukum, ada hukum pidana. Ada department khusus hukum pidana. Ada juga hukum lingkungan, dan department khusus hukum lingkungan. Nah dalam hukum internasional ada hukum pidana internasional, hukum lingkungan internasional, terus saja ada hukum HAM internasional, ada hukum ekonomi internasional, hukum organisasi internasional, dan seterusnya tapi semuanya diampu di satu department saja. Tidak mungkin satu orang diminta mendalami semuanya.
Di sinilah saya memilih untuk mendalami hukum humaniter internasional sejak sekian tahun yang lalu. Tapi kemudian datangnya Daulah Khawarij (ISIS) pada awal tahun 2014 pada konflik Suriah di tengah studi saya di Inggris membuat saya terpaksa belajar hukum Islam tentang perang. Di sinilah kemudian tumbuhlah minat saya untuk mempelajari hukum Islam.
Apakah ini pindah jurusan? Jangan begitu. Jangan sampai kita terpengaruh oleh sekulerisme buta sehingga seolah-olah dianggap Agama Islam segitu irelevannya dengan hukum. Studi hukum Islam ada dalam berbagai universitas di dunia ini termasuk UGM dan bahkan universitas barat termasuk SOAS yang dalam namanya saja sudah “Oriental Studies”. Kadang dia dipelajari dengan jurusan dengan nama lain misalnya fiqih, ushul fiqih, syariah, Islamic jurisprudence, dan lain sebagainya. Erat sekali hubungan antara Islam dan Hukum Islam, buktinya antara lain di Surah Al Maidah ayat 44, 45, dan 47 (cari sendiri lah ya kalo nggak tau isinya).
Hukum humaniter internasional adalah salah satu disiplin hukum internasional yang sangat berkembang, dan interaksinya dengan fiqhul jihad atau hukum perang dalam Islam. Fiqhul jihad ini adalah termasuk dalam hukum internasional dalam Islam atau disebut Al Siyar, sebagaimana dituliskan dalam Kitab Siyaar Al Saghir oleh Imam Syaibani, Islamic Law of Nations oleh Prof Majid Khadduri, Muslim Conduct of State oleh Dr Muhammad Hamidullah, dan lain sebagainya. Dr Naheed Samour dari Humboldt University Berlin menulis di European Journal of International Law dan juga Jean Pictet salah satu tokoh besar International Committee of the Red Cross menulis dalam bukunya Development and Principles of International Humanitarian Law betapa hukum Islam sangat sarat kontribusinya dalam hukum internasional antara lain dalam hukum humaniter internasional.
Penelitian ke arah harmonisasi hukum sangat penting di sini, apalagi kita berbicara dua peradaban berbeda yang sedang “berbenturan”. Bagaimana caranya melakukan harmonisasi hukum? Harmonisasi inilah inti penelitian saya, dan alat yang saya pilih untuk pelajari adalah Islamisasi ilmu bukannya ilmuisasi Islam (hermeneutics). Makanya, nyambung kan?
Ini masih jurusan yang sama kok. Saya masih konsisten, dan dalam konsistensi ini saya terus memperkaya dan mempertajam arah keilmuan saya.
< Back to Part II ………………………….. Proceed to Part IV>