Pengangkatan Ulama Fikih Sebagai Hakim ICC: Sesuaikah Dengan Hukum Islam?
Berikut adalah terjemahan dari artikel saya berjudul “An Islamic legal scholar as judge at the ICC: In conformity with Islamic law?” yang diterbitkan oleh Völkerrechtsblog. Saya berterima kasih kepada Syaikh Pega Aji Sitama yang melakukan penerjemahan awal, yang hanya saya koreksi sebagiannya saja. Semoga bermanfaat, dan mohon masukannya!
=================
Juliette Rémond Tiedrez menulis artikel fantastis tentang Völkerrechtsblog berjudul “Time for an Islamic legal scholar at the ICC?” (untuk versi bahasa Indonesia klik di sini). Dia menyarankan keharusan adanya ulama fikih yang duduk sebagai hakim Mahkamah Pidana Internasional (ICC) berdasarkan beberapa alasan. Yang pertama dan utama, tradisi hukum Islam digunakan secara luas namun biasanya (dalam konteks internasional) dilupakan dan tidak ada yang mewakili, sehingga dapat menimbulkan pertanyaan mengenai legitimasi ICC sebagai mahkamah yang ‘internasional’. Ia menunjukkan bagaimana mahkamah ini dipandang sebagai “alat neo-kolonialis yang dipakai oleh Barat”. Alasan kedua, ada lebih banyak masalah terkait Islam yang ditangani. Ini akan terkait alasan ketiga di mana Tiedrez mencatat bahwa “Muslim tidak boleh diadili oleh non-Muslim menurut hukum Islam”.
Pertanyaan soal legitimasi memang menjadi alasan penting. Selain sumber yang dikutip oleh Rémond Tiedrez, mantan hakim Mahkamah Internasional (ICJ) Awn Al-Khasawneh pun menyesalkan betapa sulitnya menjadikan prinsip-prinsip hukum Islam sebagai rujukan saat menjadi hakim di ICJ. Padahal, prinsip-prinsip hukum Islam kadang-kadang dipakai: tidak sekedar dalam Hostages Case (USA v. Iran) untuk “pendukung legitimasi”, tetapi juga sebagai dasar penalaran dalam Oral Proceedings pada kasus Pulp Mills (Argentina v. Uruguay, CRT 2009/14). Baru-baru ini, Komisi Hukum Internasional (International Law Commission, ILC) mengutip Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam tahun 1990 sebagai salah satu instrumen HAM internasional. Yang harus dicatat, Al-Khasawneh optimis bahwa hukum Islam akan menemukan caranya berpartisipasi dalam hukum internasional.
Walaupun usulan Rémond Tiedrez pun sangat menarik, saya agak kesulitan menemukan dasar pernyataannya bahwa “Muslim tidak boleh diadili oleh non-Muslim menurut hukum Islam”. Namun, telah jelas bahwa Muslim tidak boleh mengadili dengan hukum selain apa yang diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Para ‘Alim ‘Ulama Islam dari generasi pertama hingga saat ini telah menegaskan hal tersebut berdasarkan ayat-ayat Al-Quran seperti Surah Al-Ma’idah, 4: 44-47, dan 50 dan berbagai dalil lainnya. Sebagai konsekuensinya, mengimani bahwa ada hukum lain yang lebih baik daripada hukum yang diturunkan oleh Allah dapat membatalkan ke-Islaman. Terlebih lagi, kemurtadan menurut Islam bukan sekedar terang-terangan menyatakan keluar dari agama Islam, tetapi juga jika mereka telah melakukan tindakan yang dikenal sebagai nawaqidul Islam/Iman (pembatal keislaman/keimanan).
Dzahirnya, seorang Ulama Fikih duduk sebagai hakim ICC dan memakai Statuta Roma alih-alih prinsip-prinsip hukum Islam adalah bertentangan dengan Islam. Namun, saya menemukan ada dua hal yang bisa melegitimasi (menurut hukum Islam) seorang Ulama Fikih untuk menjadi hakim ICC.
Pertama, harus dipilih Ulama Fikih yang benar-benar kompeten. Ia mesti menguasai dan berpengalaman menggali tradisi syariat Islam yang tepat dari khazanah turats (literatur Islam klasik oleh para ulama lintas generasi), alih-alih merujuk pada praktek negara-negara mayoritas Muslim saat ini. Sebagaimana disampaikan Ahmad Al-Dawoody (dalam konteks hukum perang, tetapi berlaku untuk sebagian besar meski tidak semua kasus): “…meluasnya ‘westernisasi’ pada sistem hukum, kecuali hukum keluarga, di kebanyakan negara Muslim telah membuat para ahli hukum Islam asing terhadap ranah kebijakan publik dan pemerintah, paling nampak pada dua bidang yang dulunya sarat peran ulama, yaitu pemerintahan Islam dan hukum internasional Islam.“
Soal pengangkatan juga penting dipertimbangkan karena berkaitan dengan benar tidaknya sebagai suatu otoritas menurut Islam. Dalam hukum Islam, Qadi (hakim) ditunjuk oleh penguasa Muslim di dalam wilayah hukumnya. Pasal 36 Statuta Roma tampaknya telah memenuhi hal ini bahkan dari sudut pandang Islam, karena hakim ditunjuk oleh Assembly of State Parties (Majelis Negara Anggota) yang sudah mencakup berbagai negara mayoritas Muslim. Namun, untuk memastikan kompetensi Ulama Fikih yang ditunjuk, keterlibatan Organisasi Kerjasama Islam maupun majelis-majelis ‘Ulama (seperti Akademi Fikih Islam Internasional, Liga Muslim Dunia, Majelis Ulama Indonesia, serta Komisi Penelitian dan Fatwa Arab Saudi) bisa menjadi nilai tambah yang sangat baik.
Kedua, perlu ada pertimbangan lebih terhadap hubungan antara fiqh al-siyar (hukum internasional Islam) dan hukum internasional kontemporer. Ulama Islam klasik seperti Al-Shaybani dan Al-Fazari telah menilai pakta dan resiprositas sebagai sumber hukum internasional Islam, berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunnah (dengan demikian hukum ini tidak termasuk dalam kategori “selain apa yang diturunkan oleh Allah”). Adapun Ulama kontemporer seperti Muhammad Hamidullah mencoba mengaitkannya dalam konteks modern agar lebih eksplisit mencakup juga perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasional. Meskipun hal itu hanya sekedar mencerminkan padangan negara Islam terhadap hukum internasional yang bersifat positivis-tradisionalistik.
Di sisi lain, ICC bersumber hukum utama Statuta Roma yang disusun dalam suatu era international law-making kontemporer yang, menurut Catherine Brölmann, mengarah pada “munculnya sebuah dimensi publik dalam tatanan hukum internasional.” Ia lebih lanjut mendeskripsikan tatanan hukum ini sebagai “(…) aturan dengan fungsi statutorial, di atas dan di luar aturan yang mengatur hubungan hukum secara sukarela antar subyek yang setara”. Terutama sekali, Statuta Roma merupakan bagian dari jus cogens, norma tertinggi dalam hukum internasional yang tidak dapat diderogasi.
Beberapa cendekiawan semisal Abdullahi An-Na’im tampaknya cenderung (atau bahkan secara eksplisit menyatakan) bahwa Syariat Islam harus segera menyesuaikan diri dengan hukum internasional yang (diklaim) bersifat ‘universal’. Tapi manhaj ‘reformasi Islam’ yang digagasnya telah mendapat kritikan kuat karena bertentangan dengan pondasi-pondasi Islam. Saya sendiri pernah mengkritik metode An-Na’im dalam konteks hak asasi manusia internasional. Manhaj-nya sendiri saja sudah merupakan masalah, padahal masih ada masalah lain yaitu “kebijakan neo-kolonialis” yang menimbulkan pertanyaan terhadap ada/tidaknya universalitas sejati dalam hukum internasional. Tentu ini akan berbuntut debat yang sangat panjang. Posisi saya, berdasarkan ajaran Islam yang mapan, mensubordinasikan Syariat Islam di bawah hukum selain yang diturunkan Allah adalah lebih dari sekedar ‘tidak Islami’: ia membatalkan keislaman. Mengingat bahwa Pasal 21 Statuta Roma jelas mensubordinasikan sistem hukum domestik, maka jelas bahwa ini merupakan sebuah benturan. Benturan ini bukan sekedar pada aturan tapi juga pada pandangan alam (worldview).
Akan tetapi, ada jalan keluarnya. Bentrokan semacam ini dapat diselesaikan sesuai ajaran Islam dengan mendefinisikan kembali kedudukan ICC bagi Muslim dan menempatkannya di tempat yang tepat. Langkah awal yang dapat membantu adalah dengan merujuk pada syarat suatu amalan diterima oleh Allah. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Rajab Al-Hanbali, suatu amalan diterima apabila (a) memiliki niat yang tepat yaitu untuk Allah saja, dan (b) ia bersesuaian dengan hukum Allah.
Persyaratan (a), yang merupakan elemen awal yang sangat penting, akan terpenuhi jika batinnya tidak bermaksud menjadikan Syariat Islam menjadi setara atau bahkan lebih rendah daripada Statuta Roma. Sebaliknya, hukum-hukum non-Islami ini bisa dianggap sebagai perjanjian saja, sepanjang isinya tidak bertentangan dengan Islam sehingga mengikat menurut Syariat Islam. Oleh karena itu, Pasal 21 harus dipahami bahwa Statuta Roma boleh lebih tinggi dari hukum domestik asalkan untuk hal-hal yang tidak bertentangan dengan Syariat Islam, dan Syariat Islam tidak dilihat sebagai hukum ‘domestik’ (buatan negara) karena diyakini berasal dari Allah.
Hal di atas akan langsung ambyar apabila ada ketentuan Statuta Roma yang bertentangan dengan hukum Islam. Di sinilah persyaratan (b) masuk. Sejauh mana Statuta Roma (dan hukum pidana internasional pada umumnya) kompatibel dengan Syariat Islam? Sepanjang keduanya kompatibel, seharusnya tidak ada masalah. Di sinilah para Ulama harus meningkatkan penelitian mereka.
Mohamed Elewa Badar berpendapat bahwa ketentuan Statuta Roma sebagian besarnya konsisten dengan Syariat Islam. Walaupun kontribusinya ini sangat baik, tapi sekedar jurnal saja tidak akan cukup untuk mencakupi semua isu secara komprehensif. Maka, sangat penting untuk melakukan penelitian lebih komprehensif terkait masalah ini. Misalnya, apakah ada tindak pidana di bawah kewenangan ICC yang dapat digolongkan sebagai hudud (hukuman yang ditentukan secara spesifik dalam Al-Qur’an dan Sunnah)? Jika ya, sang Ulama Fikih harus menerapkan hudud alih-alih Statuta Roma, yang mana ini benar secara Islam tetapi salah menurut perspektif Statuta Roma. Jika tidak ada yang tergolong hudud, maka sang Ulama Fikih dapat memperlakukan kejahatan itu sebagai ta’zir (hukuman diskresi berdasarkan prinsip-prinsip yang ditemukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah) dan memutuskan berdasarkan Statuta Roma sebagai manifestasi dari ‘diskresi’ tersebut, yang nampaknya mungkin bisa diterima dalam hukum pidana internasional.
Saya pernah mengkaji secara perbandingan umum antara Syariat Islam dan hukum humaniter internasional (hukum tentang perang) yang sekilas nampak kompatibel. Akan tetapi, apabila dikaji secara lebih rinci akan ditemukan banyak pertentangan yang membutuhkan rekonsiliasi (yang benar dan jujur). Ini tidak hanya penting dengan kejahatan yang dilakukan dalam konflik bersenjata saja. Justru, kita memerlukan penelitian yang lebih komprehesif untuk mengidentifikasi potensi penyelesaian konflik, menyoroti kecocokan dan bahkan mengeksplorasi kemungkinan sintesis.
Pada akhirnya, saya memandang bahwa penunjukan ahli Syariat Islam sebagai hakim ICC sebagai langkah positif. Dari sudut pandang Islam, penunjukan semacam ini berisiko melanggar pondasi ajaran Islam. Namun, saya juga melihat masalah ini sebagai peluang untuk penelitian lebih lanjut di dunia Islam, terutama pada khazanah turats, dan tentang bagaimana Islam seharusnya berinteraksi dengan masyarakat internasional.
=============================
Fajri Matahati Muhammadin memperoleh gelar Ph.D dari Ahmad Ibrahim Kuliyyah of Laws, International Islamic University of Malaysia, dan Master dari School of Law, University of Edinburgh. Sekarang ia berprofesi sebagai pensyarah di Departmen Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (Indonesia).