Pelajaran dari Lomba Debat: Suatu Kerinduan

Pelajaran dari Lomba Debat: Suatu Kerinduan

 

Kemenangan yang Ajaib

Pada tanggal 9-10 November 2013 di King’s College London, saya mengikuti lomba debat bahasa Inggris khusus WNI di United Kingdom (UK) yang diadakan oleh ISIC dan PPI-UK. Di lomba tersebut, saya berpartner dengan Omi Ongge (beasiswa DIKTI, di London Metropolitan University) atas nama Jogja Debating Forum (JDF). Setelah mengalahkan tiga tim di babak penyisihan (Newcastle University, Indonesia Mengglobal, dan University of Edinburgh), tim kami lolos ke final untuk rematch melawan Indonesia Mengglobal.

Yang ingin saya ceritakan adalah hikmah yang saya dapat di babak final lomba tersebut, saat melawan tim “Indonesia Mengglobal” yang terdiri dari Willy Limiyadi (Oxford University) dan Santi Nuri Darmawan (King’s College London). Di babak final tersebut, dewan juri terdiri dari empat orang akademisi bergelar Doktor, satu orang Inggris yang tidak saya kenal, dan Bapak Dubes RI untuk UK (Prof siapa ya saya lupa namanya).

Tema mosi untuk babak tersebut adalah (diterjemahkan) “kurangnya cinta tanah air, yang berimbas pada kurangnya permintaan pasar, menghambat daya saing industri manufaktur Indonesia”, di mana tim kami berperan sebagai Tim PRO.

Objektif dari pengalaman saya sembilan tahun menjadi pengajar dan juri debat, kami kalah (walaupun barangkali tidak telak). Saya kuliah hukum perang dan partner saya politik, sedangkan lawan kami kuliah ekonomi. Tapi terjadi keajaiban. Tiga juri memihak kami, dan tiga memihak lawan. Karena seri, panitia meminta penonton menentukan pemenang.

Alhamdulillah, penonton memilih kami jadi juara!

Kenapa kami bisa menang? Banyak spekulasi. Memang saat menyampaikan argumentasi, saya setengah stand-up comedy sehingga menghibur banyak penonton. Mungkin penonton (mayoritas peserta presentasi paper ilmiah) sudah lelah dengan rangkaian acara yang panjang, sehingga agak kurang tertarik menyimak penjelasan yang relatif rumit tentang faktor-faktor daya saing industri manufaktur dan lebih senang dengan lawakan saya? Itu adalah salah satu alasannya. Namun, yang lebih penting lagi, adalah mendengar apa yang dikatakan oleh beberapa penonton yang saya tanya setelah acara selesai.

Agen Ind*mie

Terus terang saya agak muak membaca materi yang sudah kami unduh tentang topik tersebut. Begitu banyak yang harus dibaca, sedangkan waktu begitu sedikit, dan sebagian besarnya terlanjur kami habiskan dengan mengobrol. Omi maju pertama, menceritakan bagaimana industri garmen Indonesia jatuh bukan karena kualitas tetapi karena pembeli lebih suka label asing. Itu saja yang berhasil kami serap dari bahan bacaan, dan saya tentu harus bawa materi yang berbeda. Saya memutuskan untuk curhat saja.

Sebetulnya saya intinya menyampaikan bahwa kecintaan produk dalam negeri bisa menjadi ajang mouth-to-mouth advertising saat putri-putra tanah air sedang ada di luar negeri. Jenis advertising tersebut sangat efektif karena tidak memakan biaya, dan langsung berdampak pada grassroot society. Tapi, sambil curhat ternyata saya malah seakan menjadi agen mie instan terbaik dunia.

Saya bercerita bahwa saya begitu suka pada merk tersebut, tetapi kecewa dengan ‘Export Product’ yang dijual di UK karena rasanya agak lain (baca: kurang micin hehehe). Akhirnya, saya mencari pemesanan online untuk mencari produk yang lebih otentik. Dan karena biaya kirim yang lebih irit kalau memesan banyak, saya akhirnya memperdayai beberapa teman dari negara lain (misalnya Estonia, Hong Kong, Saudi Arabia, Palestina, dlsb) untuk ikut membeli. Mereka memang suka Ind*mie, tapi belum pernah merasakan produk ‘otentik’ (kecuali yang dari Hong Kong).

Kisah kawan dari Hong Kong menarik juga. Di sana, Ind*mie nomor satu diikuti Niss*n di nomor dua, karena Ind*mie jauh lebih murah walaupun Niss*n lebih enak. Sedangkan di Korea Selatan, Ind*mie nomor dua karena, walau Niss*n lebih mahal, tetapi warga Korsel lebih cinta produk tanah airnya. Tentu contoh ini saya ceritakan dalam argumentasi saya.

Sangat menyenangkan rasanya saat berargumentasi di podium, sambil tertawa terus menerus bersama penonton. Sayangnya, saya harus kemudian agak berkecil hati karena begitu pembicara kedua lawan kami maju (Santi), berlapis-lapis analisisnya menghantam argumen saya yang hanya didukung oleh curhat kangen mie instan tanah air. Karena itulah, saya fikir mungkin kebetulan saja juri memutuskan seri dan penonton sedang ingin dihibur saja.

Bukannya itu salah, karena bisa jadi itu memang benar. Tetapi saat saya tanya beberapa kawan di bangku penonton, mereka mengatakan hal yang sama.

Gue jadi pengen makan Ind*mie”

(Ada yang menambahkan “…padahal gue udah makan.”)

Santi pun memulai pidato argumentasinya dengan (terjemahan): “Fajri kok berani bilang Niss*n lebih enak daripada Ind*mie?

Setelah pidatonya selesai, kami bersalaman dengan lawan kami, dan topik pertama yang dibahas adalah tentang kurang otentiknya Ind*mie yang dijual di UK, dan kami sedikit berdebat lagi produksi Ind*mie mana yang lebih mendekati otentik (Santi: Produksi Saudi, saya: Impor dari Hong Kong yang dijual di Chinese Store). Diskusi senada dengan kawan-kawan lain terjadi setelah acara usai.

Cuma kebetulan saja yang saya bahas di lomba ini hanyalah mie instan. Pada kenyataannya, bukan cuma ind*mie saja yang dikangeni oleh para WNI yang menonton acara tersebut. Kisah Ind*mie ini hanya puncak gunung es dari apa yang ingin saya ceritakan (walaupun sudah menghabiskan setengah jatah kata hehehe).

Ind*mie cepat hilang dari pembahasan, karena beralih ke objek lain tapi dengan tema yang senada. Silih berganti kami bercerita tentang betapa kami rindu masakan tanah air. Ada yang rindu sambel terasi, dan yang lain pamer karena berhasil menemukannya di UK. Saya membagi betapa terharunya saat menemukan kecap dan sambal merek A*C di Chinese Store, dan betapa kecewanya saat mendapatkan informasi penjual tempe di Edinburgh tempat saya kuliah yang ternyata HOAX!

Sehari sebelum babak final, sebetulnya awalnya diumumkan bahwa di kompetisi tersebut tidak disediakan konsumsi. Kami juga kecewa karena katanya Gita Gutawa dan Maudy Ayunda akan tampil, tapi mereka tidak jadi. Tapi kemudian, ternyata dibagikan nasi rendang dengan kuah pedas khas Manado (iya bukan ya?). Saya kurang tahu asalnya persisnya dari mana, yang jelas kuahnya tidak murni beraroma Padang. Namun itu tidak penting, karena ada satu hal yang pasti: ini rasa INDONESIA!

Saya sudah makan karena mengira tidak akan diberi makan. Akan tetapi, dalam bus menuju pulang, saya melahap konsumsi dari panitia sampai habis, termasuk emping yang sebetulnya tidak boleh saya makan. Keesokan harinya, setelah babak final selesai, kotak makan tersebut juga menjadi topik hangat pembicaraan. Seorang kawan dari Nottingham bercerita bahwa dia sebetulnya tidak begitu tahan dengan makanan pedas, tapi tetap melahapnya sambil bercucuran keringat dan air mata. Saat itu, saya tidak malu mengatakan keras-keras bahwa saya rindu makanan Indonesia!

Tuh Kan, Kangen..

Sebelum saya berangkat ke UK, banyak teman-teman yang bertanya apakah saya akan kesulitan beradaptasi di luar negri. Salah satu kekhawatiran orang-orang adalah kesulitan mencari makanan Indonesia, karena takut seleranya tidak cocok. Teman-teman calon penerima beasiswa LPDP juga banyak yang yang khawatir hal yang sama. Apalagi, Edinburgh adalah kota di UK yang tidak banyak akses ke bahan-bahan makanan Indonesia.

Saat itu saya tidak khawatir. Pertama, masa kecil saya dihabiskan di Manchester UK (usia 1-6 tahun). Setelah pulang, butuh bertahun-tahun untuk menyesuaikan lidah dengan tempe, tahu, dan bumbu khas Indonesia. Saya biasa kok makan makanan asing. Kedua, saya bukan orang yang “kalo bukan makanan Indonesia (atau malah, makanan daerah!) saya nggak bisa makan” seperti banyak teman dan anggota keluarga saya. Saya senang mencoba makanan baru. Ketiga, sekian lama hidup di Jogja, saya mulai bosan dengan makanan yang ada. Karena itulah, dengan tenang saya mengatakan “santai, saya tidak akan kangen makanan Indonesia!”

Minggu-minggu awal sampai di Edinburgh, UK, saya sangat puas makan beranekaragam masakan internasional. Mulai dari makanan India, Timur Tengah, Mediterania, hingga makanan lokal, baik racikan sendiri maupun sekali-sekali beli. “Tuhkan betul, saya baik-baik saja?” batin saya, saat teman-teman saya di Facebook atau Whatsapp entah mengeluh karena kesulitan menemukan tempe atau nasi, atau bersyukur karena menemukan teman-teman PPI dan bahan-bahan makanan Indonesia.

Tapi minggu-minggu terus berlalu, dan rasanya ada yang begitu hampa. Makin muak makan makanan dengan roti (kebanyakan yang saya beli selalu roti, karena paling murah), dan yang lebih memuaskan adalah makanan India atau Thailand. Itupun tidak bisa benar-benar memuaskan, sedangkan itupun tidak bisa sering karena mahal kalau makan di restoran. Sebetulnya kesimpulan sudah ada di kepala, tapi saya belum mau mengakuinya.

Suatu hari saat saya masuk Chinese Shop, barulah saya sadari kalau hati tidak bisa bohong. Begitu melihat botol botol kecap dan sambal merk A*C, meluaplah perasaan yang tertuang dalam wujud kalap. Saya beli masing-masing satu botol, lalu bahan-bahan lainnya termasuk nasi dan beberapa bungkus ind*mie.

Malam itu juga saya memasak nasi goreng ayam. Setelah kenyang makan (dengan bayangan ind*mie untuk sarapan besok), saya sudah tidak bisa menyangkal lagi. Makan bukan hanya dengan mulut, kerongkongan, lambung, dan usus, melainkan juga dengan hati.

Karena itulah, saat saya mengakhiri pidato babak final lomba debat ISIC, diiringi gemuruh tepuk tangan dan tawa, jelas sekali bahwa curhat saya bukan curhat biasa. Sampai sebegitunya hingga saya yang mestinya menganalisis industri manufaktur malah curhat kangen ind*mie, dan penonton yang merupakan akademisi atau mahasiswa Indonesia yang berkuliah di UK dan datang untuk karya ilmiah (dan semestinya menilai analisis kami) juga ikut merasakan kangen yang sama.

Saya memang petualang  makanan, dan juga petualang pendidikan. Banyak sekali teman-teman yang juga begitu, dan karena itulah kita dapat jumpai warga Indonesia di segala penjuru dunia. Semuanya ingin mendapatkan hal yang baru dan tidak bisa didapat di tanah air. Tapi walaupun demikian, kemanapun kita pergi, ada sebagian dari hati (lidah dan pencernaan) kami yang masih tertinggal di Indonesia.

.

(Ditulis 10 Maret 2014)