Fatwa Haram Jokowi: Kok Fatwa Ngurusi Politik?

Assalaamu’alaykum,

Ada isu menarik nih, yaitu fatwa haramnya memilih Jokowi-JK oleh beberapa ulama. Mengenai substansi fatwa tersebut, saya adalah anti Jokowi tapi tidak sepakat dengan fatwa haramnya memilih dia karena tidak ada bukti Jokowi mengandung babi atau alkohol hehehe (seperti kata Shaykh Dharmawangsa Tunpangkat hehehe).

Masalah dalil para Ulama FUUI yang mengatakan bahwa keharaman memilih Jokowi adalah karena PDIP adalah partai yang anti-Islam, saya agak ragu walaupun saya anti banget sama Jokowi. Perkara PDIP betul anti-Islam atau tidak, orang boleh berpendapat beda-beda. Saya sih sepakat bahwa PDIP partai anti-Islam, mungkin anda berpendapat berbeda, ini perbedaan pendapat yang sah sah saja. Tapi saat terpilih, seorang presiden kan akan independen dari partai politiknya (eh iya nggak sih? Hahaha). Lebih masuk akal memfatwa haram PDIP. Tapi bagaimana dengan PDIP yang mengendalikan dari belakang layar dari balik bayangan? Sebuah kaidah fiqih mengatakan untuk hal keduniawian, semua bersifat halal sampai terbukti kehalalannya. Kalau masih ada keraguan, maka ya sulit mengharamkannya. Jadi, ya, kalau sampai haram saya sih nggak berani bilang setuju atau enggak setuju. Kalau makruh mungkin lah ya hahahahahaha.

Tapi poin utama post ini bukan itu.

Saya tertarik pada status sohib saya yang mengatakan bahwa Ulama tidak boleh ikut campur mengharamkan pilihan politik seseorang, dan sedih melihat Ulama ditunggangi kepentingan politik sampai menggunakan dalil. Nah, saya sebagian setuju dan sebagian tidak setuju dengan status ini. Demikian alasan-alasan saya.

1. Fatwa, secara hukum, adalah suatu pendapat saja
Fatwa Ulama ahlus sunnah wal jamaah (singkatnya Sunni) tidaklah bersifat mengikat, beda dengan kaum Syi’ah. Dalam hukum Indonesia, fatwa itu tidak punya posisi apapun kecuali sebagai pertimbangan dalam kasus-kasus terkait hukum islam yang terpositifkan misalnya hukum nikah dan perbankan syariah. Itupun mostly fatwa MUI yang dipakai.

Secara normatif pun, sebuah fatwa itu tidak mengikat. Qur’an dan Sunnah Rasul yang mengikat, sedangkan fatwa itu ibarat “sebuah opinion of interpretation” gitu lah. Karena itu, kalau kita tidak sepakat dengan interpretasi itu monggo tidak diikuti. Yang haram adalah menolak Qur’an dan Sunnah Rasul itu.

Artinya, prinsipnya, dengan segala embel-embel agama, ini adalah sebuah opini. Apakah kebebasan beropini mengecualikan Ulama?

2. Fatwa kok ngurusi pilihan politik?
Islam itu bukan hanya berisi tata cara ibadah ritual, melainkan sebuah ‘way of life’. Saya sudah menjelaskan di artikel lain bagaimana Islam itu adalah paket hidup lengkap, walaupun dalam hadist dikatakan juga ‘ikuti sunnahku semampumu’.

Selama masih ada hubungannya dengan Maqqasid al-Shari’ah (tujuan hukum): menjaga agama, nyawa, fikiran, keturunan, dan harta, artinya ya masuk ranah ilmu fiqih. Dan tentu politik masuk banget kan di situ. Sah sah saja melakukan fatwa di bidang itu.

Lebih lanjut, apakah orang berhak menggunakan alasan agama dalam kehidupan berdemokrasi? Tentu boleh, walaupun kita boleh berdebat di sini. Indonesia adalah negara yang plural, dan Islam mengakui pluralitas kok. Yang haram adalah pluralisme. Lagipula agama adalah salah satu hal yang membentuk kepribadian dan pola pikir banyak orang (maka juga pilihan), walaupun belum tentu orang tersebut mengatakan “ini karena agama!”.

Kalau benar-benar tidak boleh menggunakan agama, berapa banyak orang indonesia yang sudah memilih dengan alasan ilegal? Ulil Absar Abdala sang boss JIL sesat pun nggak boleh mendukung sekulerisme dong, karena menurut dia Islam itu pro sekulerisme, sehingga “sekulerisme” itu pun jadi sebuah pendapat berdasarkan agama bagi dia.

Lagipula, bagi banyak orang Muslim, pendapat politik itu kan masuk dalam ranah menjalankan agama yang haknya dijamin di UUD 1945. Dan Pasal 28I UUD 1945 mengatakan bahwa hak beragama adalah hak yang tidak boleh dibatasi. Walaupun kita mengikut logika Mahkamah Konstitusi yang mengatakan bahwa Pasal 28J adalah bersifat menderogasi pasal-pasal sebelumnya, di pasal 28J tersebut mengatakan bahwa Agama adalah justru salah satu yang membatasi hak bukannya yang dibatasi! Okelah, ada “ketertiban umum”. Tapi Islam tidak melanggar ketertiban umum. Mungkin pengikutnya kali ya bisa jadi. Dan ingatlah, ini cuma opini politik saja.

3. Ulama ditunggangi politik
Nah, aku setuju dengan ini. Ulama tidak boleh ditunggangi politik. Maksudku “ditunggangi politik” itu adalah “mencari-cari dalil untuk menjustifikasi keinginan kubu politik tertentu”. Ini beda dengan seorang, karena dalil, memilih menjustifikasi kubu politik tertentu.

Kelihatannya serupa. Tapi perbedaan jelasnya adalah di mentalitas dan prioritas. “Penunggangan politis” maksudnya adalah dimana pilihan pribadi (tanpa dalil agama) menjadi prioritas, lalu baru sengaja pilih-pilih dalil yang mendukung itu. Jadi dalil adalah No.2 dibandingkan nafsu pribadinya. Beda dengan yang satu lagi, dalilnya dulu yang dilihat baru memilih, sehingga dalil jadi No.1.

“Penunggangan politis” ini nggak benar karena menentang definisi kata “islam” itu sendiri. “Islam” didefinisikan sebagai “penundukan diri pada kehendak Allah ‘Azza wa Jal'”. Karena itu, mestinya dalil (perintah Allah dan Rasul-Nya) adalah yang utama. Kalau mencari-cari dalil untuk menjustifikasi keinginan pribadi, itu artinya menundukkan Allah pada kehendak diri, astaghfirullah!

Makanya, walaupun misalnya ternyata memang dalil yang digunakan benar, ini tetap salah. Dalam hadist Sahih, dikatakan bahwa setiap perbuatan itu dinilai dari niatnya. Jadi percuma berbuat yang benar tetapi dengan niat tidak lurus.
PS: untuk melihat lengkapnya hadist-hadist ini, silahkan lihat Kitab Riyaadus Shaliheen, Buku 1, Bab 1, Bagian 1.

Demikian pendapat saya. Wa Allaahu ‘alam