“Ini Sunnah” vs “Bukan! Itu kan cuma karena waktu jaman Nabi…”: Di Balik Ikhtilaf Ulama vs Di Balik ‘Ikhtilaf’ Awam
Assalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh
Belum lama ini saya terlibat diskusi singkat dengan beberapa teman. Sebetulnya iseng saja saya berceloteh sebelum makan, “Makan dengan tangan saja lah, lebih nikmat dan sekalian sunnah.” Lalu teman-teman saya mengatakan “Eh itu mah bukan sunnah, cuma kebetulan saja zaman nabi tidak ada sendok!” Statement ini yang membuat saya penasaran.
Lihat pernyataan ibn Ka’b bin Malik r.a. dari ayahnya (yaitu Ka’b bin Malik r.a.):
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْكُلُ بِثَلاَثِ أَصَابِعَ وَيَلْعَقُ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يَمْسَحَهَا
“Rasulullah s.a.w. makan dengan tiga jari dan beliau menjilatinya sebelum melapnya” (Sahih Muslim, Hadist No. 2032b)
Salah satu amanat di sana adalah Nabi s.a.w. makan dengan tangan. Nah, saya paham bahwa ada ulama besar seperti Shaykh Nassirudin Albani yang berkata:
“…sendok hanyalah menggantikan peran tiga jari sebagaimana di zaman ini kendaraan mesin yaitu mobil menggantikan peran binatang tunggangan semisal onta, kuda atau yang lainnya.”[1]
PS: Mohon dicatat tapi bahwa Shaykh Albani r.a. bukan membahas sunnah atau tidaknya makan dengan tangan, melainkan membantah pendapat bahwa haram hukumnya makan dengan sendok
Terus terang setelah searching memang baru tahu bahwa ada Ulama yang menafsirkan demikian. Penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa sendok sudah ada sejak jaman Mesir kuno, dan catatan menunjukkan bahwa peradaban Islam awal sudah menggunakan sendok (untuk makan sup, [2] walau Shaykh Albani menyebutkan bahwa dulu sup diminum langsung dari mangkuk).
Tapi yang menjadi perhatian saya adalah apakah teman-teman saya menyatakan demikian karena memang tahu, atau serta merta berusaha ‘merasionalisasi’ saja?
Memang saya buka tulisan ini dengan masalah makan dengan tangan, mungkin bonus menjilat jari setelah makan, tetapi argumen ‘rasionalisasi’ ini rasanya sering sekali terdengar di masa sekarang ini. Misalnya tentang larangan isbal, masalah jilbab, makan kurma, mencuci tangan sebelum makan, dan lain sebagainya. Mungkin memang ada Ulama ahli hadist yang memang merasionalisasi dengan kaidah-kaidah yang tepat, seperti kasus makan dengan tangan tadi?
Ilmu saya masih dangkal, belum sampai bisa membandingkan kedua pendapat tersebut. Saya sih cuma berfikir, di mana-mana yang namanya ngefans itu kan pingin mirip dengan yang diidolakan itu. Misalnya pecinta Justin Beiber yang laki-laki akan berusaha menyanyikan lagu-lagunya, meniru gaya berpakaiannya, meniru gaya rambutnya, dan lain sebagainya, bahkan ada yang operasi plastic supaya mirip. Sedangkan para fans yang wanita, akan mencari pacar yang seperti deskripsi kalimat sebelumnya (kalau gagal dapat Justin Beiber aslinya). Mereka akan beli merchandise, beli kasetnya, dan lain sebagainya.
Oke, mungkin kita cari contoh yang lebih relevan. Lihat misalnya Anas bin Malik r.a.. Setelah melihat Rasulullah s.a.w. dengan senang melahap Labu, beliau (Anas r.a.) berkata:
فَلَمْ أَزَلْ أُحِبُّ الدُّبَّاءَ مِنْ يَوْمِئِذٍ
“Sejak saat itu aku jadi menyukai labu”
(Sahih al-Bukhari, Hadith No. 2092)
Memangnya Rasulullah s.a.w. menganjurkan makan labu? Sama sekali tidak. Tapi begitulah wujud cinta Anas bin Malik r.a. kepada Sang Nabi Muhammad s.a.w. Lihat juga sabda Rasulullah s.a.w. juga riwayat Anas bin Malik r.a.:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya. (2) Apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allah. (3) Ia tidak suka untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagai-mana ia tidak mau untuk dilemparkan ke dalam api.” (Sahih Muslim, Hadith No. 43a)
Nah, mencintai seorang idola di zaman Nabi s.a.w. dan zaman Justin Beiber kelihatannya tidak terlalu jauh berbeda (walaupun ada cara menunjukkan cinta pada Nabi s.a.w. yang berlebihan dan terlarang, misalnya membuatkan patung/gambar beliau lalu disembah-sembah dll).
Bukannya saya bilang bahwa saya segitunya cinta sama Nabi Muhammad s.a.w. dan bau-baunya surga Firdaus sudah tercium, hahaha. Tapi saya cuma mau mencoba, sejauh yang saya bisa, mengikuti perilaku selayaknya orang yang mencintai Rasulullah s.a.w. Kadang saya ya masih malu-malu, misalnya belum tentu mengucapkan salam duluan. Susah juga pakai gamis terus seperti teman-teman Muslim di UK sana (mereka bilang: Nabi dulu berpakaian seperti ini!) sambil mengajar di Indonesia. Nanti saya dituduh ISIS sama mahasiswa bodoh (lagi), lalu dilaporkan (lagi), dan saya bisa repot (lagi).
Yang saya khawatirkan adalah teman-teman yang hobi merasionalisasi ini. Kalau memang mereka memahami ilmunya lalu menyimpulkan demikian, ya Allaahu’alam, mungkin no problem. Tapi kalau mereka asal saja menyimpulkan? Misalnya masalah “Nabi s.a.w. tidak memakai sendok hanya karena tidak ada sendok.” Pernah lagi ada yang mengomentari janggut saya “Zaman itu zaman batu, belum ada besi, makanya jenggot tidak dipotong!” Astaghfirullah, kesemua itu adalah pernyataan yang berbahaya. Kok bisa-bisanya sok tahu apa yang menjadi maksud dan situasi perbuatan atau perintah Rasulullah s.a.w.?
Dari Abu Hurayrah r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda:
مَنْ تَعَمَّدَ عَلَىَّ كَذِبًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang dengan sengaja berbohong atas namaku, maka tempatnya di Neraka” (Banyak hadist serupa di Sahih Muslim, Hadist No 1-8)
Ada lagi yang berkata “aduh itu hal remeh temeh, hal kecil saja, kan sunnah, nggak wajib”. Padahal, Abu Dharr r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah kalian sekali-kali meremehkan kebajikan sedikitpun, walau hanya sekedar bertemu dengan saudaranya dengan wajah berseri” (Sahih Muslim, Hadith No. 2626)
Terlebih lagi ada yang bilang “yah, nggak penting lah itu sunnah, kita toh melakukannya walaupun bukan sunnah”. Padahal rugi! Umar ibn al-Khattab r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
“Sebuah amal dinilai dari niatnya” (Sahih al-Bukhari, Hadith No. 6689, dan Sahih Muslim, Hadith No. 1907a)
Apa hikmah hadith ini? Salah satunya adalah ini: ingatlah bahwa hukum asal semua perkara (keduniawian) adalah mubah. Tidak ada pahalanya tidak ada dosanya. Kalau niatnya adalah riya’ kepada manusia, jadilah dia dosa. Jika tidak ada niatan sama sekali, biasa saja, maka tetaplah dia mubah. Tapi dengan niatan untuk mengamalkan sunnah, barulah dia menjadi amalan sunnah dan inshaaAllah mendapatkan pahala. Makanya, rugi!
Nah, bagaimana nasib seseorang yang berbohong atas nama Rasulullah s.a.w., meremehkan sunnah, atau bahkan menertawainya?
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengecualikan saya sendiri dari kategori tersebut. Demi Allah, Demi Allah, entah berapa banyak dosa yang kita lakukan karena kelalaian atau kelemahan kita. Atau, misalnya, kita sebetulnya sudah tahu dan sudah sering menasehati atau berkoar-koar tentang suatu amalan, tapi kita sendiri belum mengamalkannya?
Allah berfirman:
ڪَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ
“Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah karena kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan” (Surah Ash-Shaaf ayat 3)
Nah, jadi kita-kita yang nyinyirin orang begini juga harus hati-hati. Tapi ya ayolah makanya kita berusaha sajalah. Baik yang menyinyir maupun yang dinyinyiri. Jangan tunjuk-tunjukan, kita Cuma saling menasehati dan sama-sama berusaha. Yuk perbanyak amalan-amalan mulai dari yang besar sampe yang kecil-kecil ya dicoba dulu, selain itu juga banyak-banyak kita minta maaf ke Allah supaya dosa-dosa dan kebodohan kita diampuni. Banyak caranya, mulai dari melakukan amalan-amalan baik, shalat lima waktu, bersabar saat diuji, atau ya mintalah ampunan dengan tulus.
Allah berfirman:
وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Surah An-Nisa ayat 110)
——————————————
[1] Silahkan cek ulasan lengkap statement Shaykh Albani r.a. di link ini: http://ustadzaris.com/hukum-makan-dengan-sendok
[2] James E. Lindsay. 2005. Daily Life in the Medieval Islamic World. Westport: Greenwood Publishing Group, hlm. 128