Hukum Umum dan Hukum Islam: Beberapa Keserupaan dalam Kaidah

Assalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh

Jadi saya ceritanya sedang iseng mencoba belajar Ushul Fiqih, dengan buku karya Shaykh al-Uthaymeen. Makin ke tengah saya makin nggak mudeng, rupanya memang butuh dibantu oleh orang yang paham. Akan tetapi, saat dipelajari, paling tidak ada yang masuk lah sedikit-sedikit. Ternyata, yang saya temukan adalah bahwa ada berbagai kesamaan asas antara kaidah hukum Islam dengan kaidah ilmu hukum umum yang saya pelajari dalam studi saya di Fakultas Hukum.

Berikut beberapa persamaan yang saya temui. InshaaAllah saya mulai dengan kaidah-kaidah untuk mengatasi konflik antar peraturan hukum:

  1. TINGGI-RENDAH

Hukum Umum

Dalam ilmu hukum umum, berlaku sebuah kaidah yang dikenal dalam bahasa latin yaitu lex superiori derogate legi inferiori.[1] Dalam bahasa Indonesia, maksudnya adalah hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah. Konteks ‘tinggi’ dan ‘rendah’ di sini adalah secara hierarkial tergantung bentuk peraturan hukumnya. Dalam hukum Indonesia, hierarki kekuatan hukum peraturan perundang-undangan dapat dilihat di Pasal 7, UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Sebuah contoh adalah jika ada Undang Undang (UU) yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, misalnya UU Sumberdaya Air yang dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Jika memang terbukti keduanya bertentangan, maka yang akan dimenangkan dan diutamakan adalah UUD 45 sedangkan UU Sumberdaya Air tersebut akan dicabut.[2]

Hukum Islam

Dalam hukum Islam dipahami bahwa sumber hukum tertinggi adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Sunnah tidak mungkin bertentangan dengan Al-Qur’an (inshaaAllah nanti akan dibahas takhshish dan nasakh).[3] Akan tetapi, tidak hanya kedua itu saja sumber hukum Islam. Ulama berijtihad dan membuat fatwa-fatwa tentang masalah-masalah yang tidak secara langsung diatur dalam Al Qur’an dan Sunnah. Para pemimpin (ulil amri. Jokowi? Hahahaha) juga kemudian membuat aturan-aturan yang wajib dipatuhi kaumnya.

Akan tetapi, dari kesemua itu, dapat dilihat bahwa Al Qur’an dan Sunnah hierarkinya adalah yang paling tinggi. Karena itu, jika ada fatwa atau perintah yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah, haruslah ditinggalkan. Hal ini dapat dilihat di Surah An-Nisa ayat 59. Imam Shafi’i r.a. juga pernah menyuruh meninggalkan pendapatnya jika ditemukan hadist sahih yang menentangnya.

Dengan demikian dapat kita lihat bahwa asas lex superiori derogate legi inferiori juga berlaku dalam hukum Islam, walaupun tidak tampak ada semacam hierarki yang panjang selayaknya peraturan perundang-undangan Indonesia.

  1. UMUM-KHUSUS

Hukum Umum

Dalam hukum umum, berlaku juga sebuah kaidah yang berlaku jika ada dua aturan hukum yang bertentangan tetapi secara hierarki ternyata sejajar. Kaidah ini adalah lex specialis derogate legi generalis, yaitu hukum yang lebih khusus akan mengalahkan hukum yang lebih umum.[4] Maksudnya adalah bahwa aturan hukum yang umum akan berlaku kecuali dalam area-area yang khusus diatur oleh si aturan hukum yang khusus tersebut.

Contohnya adalah dalam kasus Pidana Penggelapan (Pasal 372 KUHP) dan/atau Pidana Penipuan (Pasal 378 KUHP). Silahkan dibaca teks pasal-pasal tersebut, akan terlihat bahwa ada berbagai macam perbuatan criminal termasuk korupsi Korupsi yang bisa masuk ke salah satu atau kedua pasal tersebut. Akan tetapi, perbuatan Korupsi juga masuk ke dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Yang manakah yang berlaku? Keduanya adalah berstatus UU, sehingga sejajar dan tidak bisa digunakan lex superiori derogate legi inferiori, padahal pelabelan dan juga ancaman sanksi pidana antara keduanya berbeda.

Jawabannya adalah bahwa pasal-pasal KUHP yang bersifat umum akan terus berlaku, kecuali dalam kasus khusus yakni Korupsi di mana kasus khusus ini harus ditindak dengan hukum yang khusus yakni UU Tindak Pidana Korupsi. Ini adalah akibat asas adalah lex specialis derogate legi generalis tadi.

Hukum Islam

Ternyata dalam hukum Islam dapat ditemukan kaidah yang serupa. Terkadang ada aturan-aturan yang bersifat umum (‘Am) dan ada juga yang bersifat khusus (Khash), yang terkadang di antara keduanya bertentangan sedangkan keduanya adalah dalil Al-Qur’an dan/atau Sunnah Dalam hal demikian, akan berlaku serupa dengan kaidah hukum umum yakni aturan hukum umum berlaku kecuali saat bertemu situasi yang memenuhi aturan hukum khusus (di mana yang khususlah yang akan berlaku). Ini dinamakan takhsish.[5]

Contoh dari takhsish ini adalah potongan Surah An Nisa ayat 11:

يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوۡلَـٰدِڪُمۡ‌ۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِ‌ۚ

Allah menshari’atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…

Ini berlaku umum kecuali saat salah satu atau lebih dari si anak adalah kafir sedangkan pewaris Muslim, atau si pewaris adalah kafir sedangkan anak-anaknya Muslim, sesuai hadist riwayat Usamah bin Zaid r.a.:

لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ، وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ

“Tidak boleh orang Muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi harta orang Muslim” (Sahih Al-Bukhari, No. 6764, Sahih Muslim, No. 1614, dan Sunan Abu Dawud, No. 2909 disahihkan Albani)

  1. LAMA-BARU

Hukum Umum

Saat ada dua aturan hukum yang bertentangan, padahal keduanya secara hierarki bersifat sejajar dan juga tidak bersifat umum-khusus alias mengatur materi yang sama, maka akan berlaku asas lex posteriori derogate legi priori atau hukum yang lebih baru mengalahkan hukum yang lebih lampau.[6]

Sebetulnya saat sebuah UU baru diberlakukan sedangkan isinya sebagian atau seluruhnya menggantikan suatu UU yang lama, UU yang baru tersebut bisa saja mencantumkan pasal yang secara khusus mencabut UU yang lama. Misalnya pada UU No. 12 tahun 2011 yang tadi sempat disinggung. Cobalah tengok pasal 102, yang menyatakan bahwa sejak berlakunya UU No. 12 tahun 2011 tersebut, UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan[7] dinyatakan tidak berlaku lagi.

Akan tetapi, tidak semua UU baru mencantumkan pasal pencabutan UU yang lama. Misalnya Staatsblad 1875 No. 179 yang mengatur tentang hukum pertanahan,[8] dan kemudian muncullah UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang intinya mengatur tentang pertanahan ini. Nah, UUPA ini tidak menyatakan mencabut Staatsblad 1875 No. 179 tadi, tetapi karena materinya sama, UUPA yang dianggap berlaku karena merupakan hukum yang lebih baru atas dasar asas lex posteriori derogate legi priori tadi.

Hukum Islam

Ternyata dalam hukum Islam dapat terjadi juga pencabutan hukum lama oleh hukum yang baru, dan hal ini dinamakan nasakh atau abrogasi. Hal ini dapat dilakukan jika dua dalil tidak dapat digabungkan, dan diketahui bahwa dalil yang mengabrogasi datang setelah dalil yang diabrogasi.[9]

Contoh nasakh[10] adalah pada Surah Al Baqarah ayat 184:

أَيَّامً۬ا مَّعۡدُودَٲتٍ۬‌ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ۬ فَعِدَّةٌ۬ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَ‌ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُ ۥ فِدۡيَةٌ۬ طَعَامُ مِسۡكِينٍ۬‌ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرً۬ا فَهُوَ خَيۡرٌ۬ لَّهُ ۥ‌ۚ وَأَن تَصُومُواْ خَيۡرٌ۬ لَّڪُمۡ‌ۖ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Dan aturan tersebut telah diabrogasi oleh Surah Al Baqarah ayat 185:

شَہۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدً۬ى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَـٰتٍ۬ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِ‌ۚ فَمَن شَہِدَ مِنكُمُ ٱلشَّہۡرَ فَلۡيَصُمۡهُ‌ۖ وَمَن ڪَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ۬ فَعِدَّةٌ۬ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَ‌ۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِڪُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِڪُمُ ٱلۡعُسۡرَ وَلِتُڪۡمِلُواْ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُڪَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَٮٰكُمۡ وَلَعَلَّڪُمۡ تَشۡكُرُونَ

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa asas lex posteriori derogate legi priori ternyata berlaku juga dalam hukum Islam.

PENUTUP

Demikian beberapa persamaan yang saya temukan antara hukum Islam dan hukum umum. Sementara mungkin ini saja, bisa jadi tulisan ini saya ralat lagi kalau ada kesalahan atau tambahan. Mohon masukannya juga kalau ada yang salah. InshaaAllah kalau sedang ada senggang dan mood, saya akan buat bagian kedua dari tulisan ini yang membicarakan tentang beberapa keserupaan dan perbedaan pada metode tafsir hukum Islam dan hukum umum.

Hanya saja, timbul satu pertanyaan. Ketika banyak persamaan-persamaan kaidah, kenapa tidak pernah kita diajarkan atau diperkenalkan bahwa kaidah-kaidah ini ada di hukum Islam juga? Sampai-sampai, mayoritas dari sarjana hukum akan lulus dalam keadaan tidak mengenal bahwa ada kaidah-kaidah semacam ini dalam hukum Islam. Bahkan, ketika kemudian diperkenalkan setelahnya, responnya “oh Hukum Islam ada beginiannya juga toh?” Bahkan, sampai seorang doktor hukum lulusan USA pun bertanya, “memangnya Islam ada hukumnya?”

Tentu bagi seorang pelajar ilmu hukum yang beragama Islam harusnya menyadari bahwa ada yang salah, atau setidaknya kurang, dalam cara ia belajar hukum.

 

PS: sebelum temen-temen takfiri mengkafirkan saya (lagi) karena ‘mentasyabuhkan hukum umum kepada hukum islam’, ini saya cuma mencari beberapa persamaan saja untuk memudahkan pemahaman. Tidak ada niatan untuk menyebutkan satu lebih baik dari yang lain, karena kita sama-sama tahu hukum mana yang lebih sempurna.

 

REFERENSI

[1] Sudikno Mertokusumo. 1991. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Penerbit: Liberty Yogyakarta, Hlm. 74

[2] Dan ini memang terjadi, silahkan lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XI/2013

[3] bahkan ada yang mengatakan bahwa jika ada hadist yang mattan-nya bertentangan dengan Al-Qur’an maka hadist tersebut tidak mungkin sahih. Tapi pendapat ini tidak tepat. Yang tepat adalah pendapat Imam Shafi’i r.a. dan Shaykh Albani r.a., hadist sahih tidak mungkin bertentangan dengan Al Qur’an. Harus dilihat bersama-sama sesuai dengan penafsiran yang tepat.

[4] Loc. Cit., Mertokusumo,

[5] Shaykh Muhammad bin Shalih al ‘Uthaymeen. 2008. Ushul Fiqih (Edisi Bahasa Indonesia). Penerbit: Media Hidayah, hlm. 60-70

[6] Loc. Cit., Mertokusumo

[7] Lihatlah kedua UU tersebut sama-sama berjudul “…tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.”

[8] dari namanya kelihatan sekali buatan pemerintah colonial, tapi saat Indonesia merdeka, banyak hukum-hukum Belanda tetap diberlakukan agar tidak terjadi kekosongan hukum, sampai dengan ada hukum baru yang dibuat untuk menggantikannya.

[9] Op. Cit., al-Uthaymeen, hlm. 82-90

[10] Contoh ini nyomot dari web Shaykh Shalih al-Munajjid, fatwa No. 105746 http://islamqa.info/en/105746