Seputar Jus Cogens

PENGANTAR

Mahasiswa yang telah mengambil mata kuliah hukum internasional mestinya telah mengenali sumber-sumber hukum internasional yang disebutkan dalam Pasal 38 ICJ Statute, yaitu:

  1. Perjanjian Internasional
  2. Hukum Kebiasaan Internasional
  3. Prinsip-prinsip umum hukum
  4. Putusan hakim terdahulu
  5. Karya-karya pakar hukum

Akan tetapi, mestinya kita ketahui juga bahwa masih ada sumber hukum internasional di luar kelima hal tersebut. Contohnya adalah Soft Law atau aturan-aturan yang formalnya tidak mengikat (misalnya Codex Alimentarius yang dikeluarkan oleh FAO atau Resolusi UN General Assembly). Untuk pembahasan lebih mendetail tentang Soft Law sebagai sumber hukum internasional silahkan lihat artikel ini ini ini.

Salah satu sumber hukum internasional yang jarang dibicarakan di luar konteks akademis adalah norma Jus Cogens. Norma-norma Jus Cogens ini terkadang disebut sebagai ‘Norma Tuhan’, tetapi terkadang tidak jelas juga. Kenapa demikian? Mari kita simak pembahasannya.

APA ITU JUS COGENS?

Dalam bahasa Latin, Jus Cogens berarti ‘hukum memaksa’. Jus Cogens disebut sebagai norma-norma yang diakui oleh masyarakat internasional memiliki kedudukan tertinggi dalam hukum internasional. Maksudnya adalah jika ada suatu peraturan hukum yang bertentangan dengan Jus Cogens, maka peraturan hukum tersebut dianggap batal.[1]

Misalnya saja dalam Pasal 53 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (VCLT), suatu perjanjian internasional akan null and void ketika bertentangan dengan Jus Cogens (dalam konvensi ini disebut sebagai peremptory norms, yaitu sebutan lain dari Jus Cogens). Pasal terebut menjelaskan juga bahwa Jus Cogens ini adalah norma yang diakui oleh hukum internasional sebagai norma yang tidak boleh disimpangi oleh suatu apapun. Ketika sebuah norma Jus Cogens bertentangan dengan Jus Cogens lainnya, barulah bisa disimpangi (lebih detail akan dijelaskan nanti).

Pasal 64 VCLT menjelaskan bahwa jika sebuah perjanjian internasional sudah dibuat, lalu di kemudian hari ada Jus Cogens baru yang muncul (kenapa bisa tiba-tiba muncul baru? Akan dijelaskan nanti inshaaAllah) maka perjanjian tersebut harus berhenti berlaku.

Kasus lain misalnya adalah Pinochet Case di UK House of Lords pada tahun 1998. Normalnya seorang kepala Negara (baik aktif atau mantan) memiliki kekebalan dari yurisdiksi hukum Negara lain. Tapi karena Augusto Pinochet (mantan pemimpin Chile) diberi surat penangkapan oleh Spanyol atas dugaan kejahatan penyiksaan atau Torture yang merupakan pelanggaran jus cogens, maka kekebalan beliau pun menurut mayoritas hakim di UK House of Lords adalah gugur.[2]

PS: nanti akan makin rumit, lihat nanti bagian-bagian selanjutnya.

Norma apa saja yang merupakan Jus Cogens? Yang sekarang disepakati oleh pakar-pakar hukum adalah di antaranya: larangan menggunakan kekerasan bersenjata, larangan genosida, larangan melakukan kejahatan perang, larangan menyiksa, dan lain sebagainya.

 

BAGAIMANA NORMA JUS COGENS BISA MUNCUL?

Sejak lama, mazhab hukum alam telah mengisyaratkan perlu adanya suatu norma di mana tidak ada suatu hukum yang boleh dibuat menentang terhadapnya. Maksudnya, kalau hal tersebut bersifat begitu salah atau imoral maka dia tidak boleh menjadi hukum (bertentangan dengan mazhab positivis yang mengatakan bahwa sebuah hukum, jika dia telah berlaku walaupun kita tidak menyukai isinya, adalah hukum).[3] Kedua mazhab hukum ini saling tarik menarik (bersama-sama dengan mazhab lain seperti utilitarianis, pragmatis-realis, dll), dan mewarnai sistem-sistem hukum yang ada sekarang.

Memasuki era modern (abad 19 ke atas), salah satu manifestasi mazhab hukum alam ini makin populer saat ada hal-hal yang rasanya terlalu jahat untuk dibenarkan oleh penguasa (yang, menurut mazhab positivis, adalah yang memiliki otoritas membuat hukum). The Permanent Court of International Justice (PCIJ, yaitu cikal bakal dari ICJ) pada tahun 1923 dalam Wimbledon Case[4] sempat menyebutkan bahwa kedaulatan tidaklah tak terbatas (ingatlah bahwa kedaulatan biasanya dianggap sebagai hal yang sangat utama dan mendasar dalam hukum internasional). Tapi konkritnya baru dapat dilihat di tahun-tahun berikutnya.

Pertengahan abad ke dua puluh menyaksikan peristiwa yang bisa dikatakan sebagai kekejaman yang paling kejam dalam sejarah umat manusia. Sebelum perang dunia II, sejarah belum pernah menyaksikan dampak yang begitu buruk dan meluas akibat pelanggaran hukum perang atau pelecehan martabat dan derajat manusia. Begitu banyak jatuh korban di seluruh daratan Eropa (terutama) dan Asia akibat perang dunia II, bukan hanya tentara yang diperlakukan dengan sadis atau penduduk sipil yang jadi korban pengeboman yang semena-mena melainkan juga pembantaian serta penyiksaan terhadap kaum Yahudi menjadi trending topic yang luar biasa jauh sebelum adanya twitter.[5]

Dunia seolah sepakat bahwa memang betul ada norma-norma yang kedudukannya lebih tinggi dari apapun di dunia ini, dan apapun yang bertentangan dengannya harus batal.

 

BAGAIMANA SEBUAH NORMA BISA BERSTATUS JUS COGENS? SEBUAH PENJELASAN FORMALISTIK

Pasal 53 VCLT menyebutkan dua unsur norma jus cogens:

  1. Diakui secara universal di masyarakat internasional…
  2. … sebagai norma yang tidak dapat dikurangi/dibatasi kecuali oleh norma jus cogens

Untuk menjelaskan unsur pertama, ‘pengakuan secara universal’ dapat memiliki berbagai bentuk. Sebagaimana yang juga dijelaskan oleh Bassiouni, norma Jus Cogens dapat beranjak dari hukum kebiasaan internasional. Ingatlah bahwa hukum kebiasaan internasional ini memiliki unsur-unsur (i) praktek Negara-negara yang seragam, dan (ii) keyakinan bahwa praktek tersebut adalah norma hukum.

Walaupun dikatakan demikian, tidak tertutup kemungkinan atau bahkan sangat banyak sekali hukum kebiasaan internasional ini terkodifikasikan dalam perjanjian internasional. Contohnya adalah VCLT dan juga Geneva Conventions 1949. Perjanjian-perjanjian internasional yang mencerminkan jus cogens ini biasanya diratifikasi oleh hampir seluruh Negara di dunia (atau, setidaknya, banyak yang meratifikasinya), dan juga diamalkan oleh Negara-negara yang bukan merupakan peratifikasi perjanjian tersebut.[6]

Unsur kedua, yakni tidak dapat dikurangi/dibatasi kecuali oleh norma jus cogens juga, mengindikasikan status jus cogens sebagai norma tertinggi dalam hukum internasional. Karena itulah jus cogens tidak dapat dikalahkan atas dasar lex superiori derogate legi inferiori (karena sudah paling tinggi). Yang dimungkinkan adalah ada jus cogens yang lebih spesifik yang diutamakan (lex specialis derogate legi generalis, contohnya lihat naskah publikasi skripsi saya yang bisa didownload di sini sini sini) atau ada munculnya jus cogens baru seperti yang disebutkan di Pasal 64 VCLT (lex posteriori derogate legi apriori, memungkinkan juga untuk hilangnya sebuah norma jus cogens misalnya dalam kasus bajak laut).

 

BAGAIMANA SEBUAH NORMA BISA BERSTATUS JUS COGENS? SEBUAH PERSPEKTIF NILAI DAN SOSIAL

Sebelumnya adalah penjelasan sederhana tentang bagaimana ciri-ciri formal dari suatu norma Jus Cogens. Secara substansi, Bassiouni menjelaskan bahwa norma jus cogens memiliki beberapa ciri doktrinal (atau saya lebih suka menyebutnya ciri subjektif), yaitu bahwa jus cogens bersifat:[7]

  1. Bertentangan dengan nurani kemanusiaan secara meluas, dan/atau
  2. Mengancam keamanan dan/atau perdamaian internasional

Tidak ada norma jus cogens yang melarang hal-hal yang tidak memenuhi setidaknya salah satu sifat di atas. Misalnya genosida (silahkan lihat ulasan makna ‘genosida’ yang tepat menurut hukum di artikel ini ini ini ini), jelas bertentangan dengan nurani kemanusiaan secara meluas tetapi belum tentu menjadi ancaman keamanan dan/atau perdamaian internasional.

Ini juga adalah salah satu alasan kenapa jus cogens bisa berubah. Nurani manusia, yang dalam hukum internasional diwakili oleh keyakinan hukum yang dipegang Negara (yang tentu sedikit banyak dipengaruhi opini publik sih). Ini selalu berubah seiring zaman. Misalnya bagaimana dulu perbudakan adalah suatu hal yang biasa saja dan tidak dirasa salah, tapi sekarang sudah dianggap sebuah bentuk kejahatan internasional yang sangat berat.[8]

Saya ingat betul waktu sidang skripsi, saya ditanya oleh Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo (saat itu beliau menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum UGM) “kenapa tidak ada satu perjanjian internasional yang merinci apa saja jus cogens itu, supaya semuanya jelas”. Hal ini beliau tanyakan setelah sebelumnya saya menjelaskan bahwa tidak ada satu traktat (perjanjian internasional) yang memuat suatu daftar jus cogens, melainkan ditemukan tersebar dalam berbagai perjanjian internasional, putusan hakim, karya-karya ahli hukum, dll. Jawaban saya kepada beliau adalah “karena memang jus cogens ini mengikuti zaman. Jika ‘dipotret’ dalam sebuah konvensi formal, nanti hasil ‘foto’nya hanya mewakili momen pemotretan dan ketinggalan dengan perkembangan zaman’.

 

BEBERAPA KESALAHAN PEMAHAMAN TERKAIT JUS COGENS

  1. Jus Cogens adalah norma-norma kecil-kecil yang tidak penting.

Saya pernah mendengar bahwa seorang dosen pernah menjelaskan bahwa jus cogens adalah norma-norma terkait etiket yang tidak begitu penting. Misalnya adalah bahwa jika ada pertemuan antar Negara, saat makan harus menggunakan table manner.

Saya tidak tahu ini dapat ide dari mana. Tidak ada satupun literatur yang menjelaskan hal ini, tetapi semua literature menjelaskan sebaliknya (bahwa justru jus cogens itu adalah norma tertinggi dalam hukum internasional). Masalahnya, ini disampaikan oleh seorang dosen perguruan tinggi nun jauh di sana, yang di mana pendapatnya tentu sangat otoritatif bagi mahasiswanya.

  1. Pacta Sunt Servanda adalah Norma Jus Cogens

Hal ini disebutkan oleh beberapa literatur, akan tetapi hal ini kurang tepat. Saya tentu memahami bahwa asas Pacta Sunt Servanda (perjanjian harus dipatuhi) adalah suatu asas yang sudah diterima dengan meluas ke seluruh elemen masyarakat mulai dari wong cilik sampai antar Negara. VCLT pun dalam pasal 26 hanya sekedar melakukan kodifikasi terhadap hukum kebiasaan yang sudah sangat lama dan universal diterima oleh masyarakat internasional.[9] Karena itu pula, begitu pentingnya asas ini, saya pun memahami kenapa akan ada yang berpendapat bahwa asas ini adalah termasuk norma jus cogens.

Padahal, syarat jus cogens bukan hanya pengakuan universal melainkan juga tidak dapat dibatasi oleh suatu apapun kecuali norma yang sejajar.

Justru rujukan utama hukum perjanjian internasional (yang berlandaskan pacta sunt servanda) yaitu VCLT sendiri memberikan bukti bahwa pacta sunt servanda bukanlah norma jus cogens:

  1. Pasal 53 mengatur bahwa perjanjian internasional akan batal jika bertentangan dengan jus cogens.
  2. Jus cogens juga dapat dibatasi oleh jus cogens

Pertama, redaksi pasal ini sudah jelas memisahkan antara perjanjian internasional (yang berlaku atas dasar pacta sunt servanda) dengan jus cogens, dan bahwa perjanjian internasional tersebut jelas kalah oleh jus cogens. Kedua, redaksi pasal tersebut akan menjadi absurd jika pacta sunt servanda adalah jus cogens, bukan?

Ciri-ciri doktrinal yang disebut oleh Bassiouni pun tidak terpenuhi. Memang sebuah Negara yang tidak memenuhi janjinya akan sangat menyebalkan, tetapi tentu tidak sejenis dengan pertentangan dengan nurani kemanusiaan semacam genosida, kejahatan perang, dll.

  1. Semua kejahatan internasional adalah pelanggaran jus cogens

Saya paham bahwa para pakar sudah menjelaskan bagaimana, misalnya, kejahatan perang atau war crimes adalah termasuk pelanggaran jus cogens. Masalahnya, dalam kategori war crimes, ada buwaaaaanyak sekali jenis kejahatan yang masuk dalam kategori tersebut. Silahkan lihat Pasal 8 dari Rome Statute (1998), buanyak sekali. Apakah semuanya merupakan jus cogens?

Contoh yang paling mudah adalah Pasal 8(2)(b)(xii) dari Rome Statute yaitu “Committing outrages upon personal dignity, in particular humiliating and degrading treatment” atau “Melakukan kebiadaban terhadap martabat pribadi, terutama perlakuan yang mempermalukan dan merendahkan martabat manusia”. Unsur-unsur perbuatan pidana atau Elements of Crime[10] untuk kejahatan ini ada lima tapi paling penting merujuk pada Element 1:

The perpetrator humiliated, degraded or otherwise violated the dignity of one or more persons” atau “Pelaku mempermalukan, merendahkan, atau menyerang kehormatan satu orang atau lebih”.

Bukan Element 1 ini yang penting, melainkan ada catatan kaki nomor 49 di akhir redaksinya. Nah, kalimat pertama pada catatan kaki tersebutlah yang ingin saya soroti. Bunyinya: “For this crime, ‘persons’ can include dead persons.” Atau “untuk kejahatan ini, ‘orang’ dapat termasuk ‘jenasah’. Artinya, mempermalukan dan/atau merendahkan jenasah seseorang bisa jadi salah satu bentuk war crime.

Memang jahat sekali rasanya menguwel-uwel jenasah orang. Tapi apakah betul selevel jus cogens? Ternyata, para Negara perunding Rome Statute memasukkan hal ini ke dalam catatan kaki karena pernah ada kasus di Nuremberg Trials (pengadilan kepada Nazi setelah Perang Dunia II) di mana pernah ada yang diputus bersalah karena menganiaya jenasah tawanan perang.[11] Rasanya tidak pernah ada landasan lain yang sesignifikan war crimes yang lain yang memiliki banyak kasus dan menarik kecaman internasional (misalnya bombardir terhadap warga sipil).

  1. List ini akan saya tambah kalau ketemu lagi, monggo kalau ada usulan

 

BEBERAPA HAL MEMBINGUNGKAN DARI JUS COGENS

  1. Jus Cogens, Universal Jurisdiction, dan Imunitas Kepala Negara.

Universal Jurisdiction adalah kompetensi hukum suatu Negara untuk mengklaim kewenangan mengadili seseorang di manapun dan oleh warga Negara manapun kejahatan itu dilakukan, dan terlepas dari dasar-dasar klaim kewenangan lain yang dikenal dalam hukum internasional.[12] Secara teori, konsekuensi logis Jus Cogens adalah Universal Jurisdiction terhadap pelanggarnya.[13] Secara hukum pun banyak konvensi yang mengkodifikasi Jus Cogens yang juga memberikan Universal Jurisdiction.[14]

Tapi bagaimana kalau pelaksanaan Universal Jurisdiction oleh pengadilan nasional berhadapan dengan imunitas Negara atau kepala negara, di mana mereka tidak boleh dipaksa tunduk kepada hukum Negara lain?

Ternyata, ICJ dalam Arrest Warrant Case[15] dan Jurisdictional Immunities Case[16], yang dimenangkan adalah imunitas. Beberapa argument para pengadilan tersebut relatif unik dan mungkin butuh pengkajian khusus.

Arrest Warrant Case

Pertama, para hakim melihat preseden Pinochet Case hanya berlaku kepada mantan kepala Negara saja yang tentu imunitasnya berbeda dengan kepala Negara aktif. Karena itu, Pinochet Case tidak dapat menjadi preseden untuk kasus yang melibatkan kepala Negara aktif. Padahal, analisis para hakim di Pinochet Case juga menyentuh imunitas kepala Negara secara umum.

Kedua, para hakim menyatakan bahwa dalam hukum kebiasaan internasional yang mengatur imunitas kepala Negara, tidak ditemukan pengecualian terhadap terduga pelaku kejahatan internasional. Padahal, sebaliknya juga dapat ditanyakan: dalam kewajiban semua Negara untuk mengadili semua pelaku kejahatan internasional, apakah ditemukan pengecualian terhadap kepala Negara? Apalagi perlu dilihat bagaimana imunitas adalah sebuah norma dari zaman kuda makan besi, sedangkan jus cogens dan Universal Jurisdiction bagi pelanggar Jus Cogens bersifat baru. Kalaupun bisa dibuktikan bahwa imunitas merupakan jus cogens, bukankah norma baru akan mengalahkan norma lama bila keduanya secara hierarki sejajar?

Ketiga, para hakim menyatakan bahwa preseden-preseden yang ada mengadili kepala Negara adalah pengadilan-pengadilan internasional dan bukan pengadilan nasional. Karena itu, aksi pengadilan nasional dalam melaksanakan universal jurisdiction tidak ada dasarnya dalam hukum kebiasaan internasional. Padahal, apakah belum adanya praktek adalah sama dengan tidak ada hukum kebiasaan? Bukankah dalam kasus Military and Paramilitary Activities ICJ dengan mudah menyimpulkan adanya Hukum Kebiasaan Internasional dengan adanya kehendak yang kuat dari masyarakat internasional (berupa Resolusi UN General Assembly yang by the way normalnya tidak mengikat) walaupun tidak disebutkan satu pun praktek Negara?[17] Bukankah dalam semua sumber hukum Universal Jurisdiction (misalnya GC, CAT, ICSPA) yang mengemban kewajiban melaksanakan Universal Jurisdiction adalah Negara?

Ketiga, kenapa para hakim tidak menyebutkan sekalipun jus cogens dalam kasus yang sangat melibatkan jus cogens begini?

Jurisdictional Immunities Case

Yang mencolok adalah satu saja pendapat hakim di sini, yaitu bahwa tidak bisa mempertentangkan antara hukum substantif dan hukum formil atau prosedural. Mereka mengatakan bahwa Jus Cogens adalah hukum materil sedangkan imunitas adalah hukum formil. Ini adalah argument yang sangat cerdas sebetulnya, karena seberapapun jahatnya sebuah genosida tentu tidak bisa diadili di Pengadilan Tipikor, dan seberapapun buruknya sebuah pernikahan tidak bisa meminta cerai di International Court of Justice. Bagaimanapun juga, memang betul bahwa kewenangan materi dan kewenangan territorial atau kewenangan personal (misalnya) adalah dua syarat yang saling lepas dan tidak berdampak satu sama lain.

Tapi bukankah ide dari Universal Jurisdiction adalah untuk menabrak hambatan-hambatan formil begini? Salah satu hal yang dasar melekat pada Universal Jurisdiction adalah menabrak batas-batas territorial dan personal (terkait kewarganegaraan), yang notabene merupakan hukum formil juga dalam penetapan kewenangan pengadilan. Kasus Kallon dan Kamara di Special Court for Sierra Leone juga mengesampingkan amnesti (juga merupakan tindakan formil prosedural untuk menghambat kewenangan pengadilan)[18] untuk Universal Jurisdiction. Kenapa imunitas Negara adalah hal yang berbeda?

Kedua Putusan Bisa Jadi Benar Juga

Memang pada semua putusan pengadilan yang disebut di atas, hakim-hakim berbeda pendapat. Silahkan melihat dissenting opinions pada kasus-kasus tersebut untuk melihat lebih lanjut perdebatannya. Akan tetapi, ada satu argument yang mungkin bisa dibenarkan pada kedua kasus tersebut.

Kedua putusan pengadilan ini menyoroti tentang fungsi imunitas Negara yaitu menyelenggarakan hubungan masyarakat internasional yang baik. Jika ICJ mengizinkan sebuah Negara bisa menggunakan Jus Cogens untuk mengklaim Universal Jurisdiction dan seenaknya mendakwa kepala-kepala Negara di dunia, bisa jadi ini seakan membuka ‘kotak Pandora’. Malah bisa jadi menjadi alat untuk permainan politis dan menimbulkan konflik antar Negara dan, jika konfliknya bersifat regional dan melibatkan lebih dari satu Negara, bisa berujung repot.[19]

Dapat kita pahami kenapa ICJ kemudian memutus demikian. PBB dibangun atas dasar keinginan untuk hidup damai, sebagaimana dituangkan dalam mukadimah dan Pasal 1 UN Charter, setelah sebelumnya menyaksikan perang dunia II yang begitu menakutkan. Memang betul, belum tentu setiap penggunaan Universal Jurisdiction akan berpotensi menimbulkan perang. Dengan demikian, belum tentu kebutuhan imunitas dapat dikatakan mencapai tingkatan Jus Cogens (sehingga dapat mengesampingkan Universal Jurisdiction yang muncul dari Jus Cogens). Akan tetapi, dapat dipahami kenapa ICJ memilih untuk tidak membuka ‘kotak Pandora’. Mereka tentu ingin main aman, karena trend menunjukkan bahwa putusan ICJ biasanya diikuti (lihat tulisan saya tentang soft law, itu di bab awal-awal ada penjelasan tentang ICJ dan mengapa mereka biasa diikuti).

 

  1. List Ini Akan Saya Tambahkan Kalau Ketemu Lagi Kebingungan Terkait Jus Cogens, monggo kalau ada usulan

 

 

————————————————–

Catatan Kaki

[1] 2M Cherif Bassiouni, ‘International Crimes: Jus Cogens and Obligation Erga Omnes’, Law & Contemporary Problems, Law and Contemporary Problems, Vol. 59 (1998), hlm. 67

[2] R. v Bow Street Stipendiary Magistrate Ex. P. Pinocet Ugarte (No. 3) [2000] 1 A.C. 147

[3] Bandingkan tulisan Mark C. Murphy berjudul.”Natural Law Theory” dan Brian H. Bix berjudul “Legal Positivism”, keduanya ada dalam Martin P. Golding and William A. Edmundson (eds), 2005, The Blackwell Guide to the Philosophy of Law and Legal Theory, Blackwell Publishing, Oxford. Atau kalau sulit mencarinya, penjelasan sederhananya ada di Abdul Ghofur Anshori, 2006, Filsafat Hukum: Sejarah, Aliran, dan Perkembangannya, Gadjah Mada Press, Yogyakarta, Bab IV tentang aliran-aliran hukum (yang ini ada di perpustakaan)

[4] 0S.S. Wimbledon (UK v Japan) (Judgments) [1923] PCIJ (ser A) No 1.

[5] Sejarah dan perkembangan Jus Cogens ada di Stefan Kadelbach, ‘Jus Cogens, Obligations Erga Omnes and Other Rules – the Identification of Fundamental Norms‘ dalam C. Tomuschat and J M Thouvenin (eds), 2006, The Fundamental Rules of the International Legal Order, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden, hlm 21-22

[6] Lihat Op.Cit., Bassiouni, hlm. 68, ada beberapa ciri formal hukum yang ada pada jus cogens untuk membuktikan pengakuan universal, tapi ciri-ciri ini tidak bersifat kumulatif.

[7] Ibid, hlm.70

[8] Lihat sejarahnya di sini http://www.historyworld.net/wrldhis/PlainTextHistories.asp?historyid=ac41

[9] Lihat mukadimah VCLT, lihat juga Malcom Shaw, 2008, International Law (Sixth Edition), Cambridge University Press, New York, hlm 94

[10] Berbeda dengan KUHP di mana kita harus menurunkan sendiri unsur-unsur perbuatan pidana dari redaksi pasal-pasal, Rome Statute merujuk kepada sebuah dokumen khusus yang merinci unsur-unsur ini. Dokumen ini dikenal dengan nama Elements of Crime of the International Criminal Court

[11] Knut Dormann (with contributions by Louise Doswald-Beck and Robert Kolb), 2004, Elements of War Crimes

under the Rome Statute of the International Criminal Court: Sources and Commentary, Cambridge University Press, New York, hlm.314

[12] Op.Cit., Shaw, hlm 668

[13] Op.Cit., Bassiouni, hlm 66

[14] Pasal 49 Geneva Convention 1949 (GC) I, Pasal 50 GC II, Pasal 129 GC III dan Pasal 146 GC IV, Pasal 5 Convention Against Torture atau CAT (1985), Pasal IV.b. dan V dari the International Convention on the Suppression and Punishment of the Crime of Apartheid atau ICSPCA (1973), dlsb

[15] Arrest Warrant of 11 April 2000 (Democratic Republic of the Congo v. Belgium), Judgment, I.C.J. Reports 2002, p.3

[16] Jurisdictional Immunities of the State (Germany v. Italy: Greece intervening), Judgment, I.C.J. Reports 2012, p. 99

[17] Military and Paramilitary Activities in and against Nicaragua (Nicaragua v. United States of America), Merits, Judgment. I.C.J. Reports 1986, p. 14

[18] The Prosecutor v. Morris Kallon and Brima Buzzy Kamara, Special Court for Sierra Leone, SCSL-2004-15- AR72(E) and SCSL-2004-16-AR72(E), Decision on Challenge to Jurisdiction: Lomé Accord Amnesty (Appeals Chamber, 13 March 2004)

[19] Lihat tulisan Madeline Morris, Universal Jurisdiction in a Divided World: Conference Remarks, 35 New England Law Review (2001), pp. 337-361, terutama pada halaman 352-355