KEINTIMAN DI RKUHP, KONTROVERSI YANG KONTROVERSIAL (TERJEMAHAN JAKARTA POST)
Kemarin baru saja terbit tulisan saya berjudul “Intimacy in Penal Code, Controversial Controversy” di media Jakarta Post. Alhamdulillah, Jakarta Post yang biasanya platformnya cenderung pro-liberal ternyata mau memuat tulisan saya. Barangkali sebagai opini pembanding. Tulisan tersebut berbahasa Inggris, karena Jakarta Post adalah berbahasa Inggris. Atas permintaan beberapa pihak, tulisan tersebut saya terjemahkan ke bahasa Indonesia berikut ini.
Semoga bermanfaat
KEINTIMAN DI RKUHP, KONTROVERSI YANG KONTROVERSIAL
Oleh: Fajri M. Muhammadin
(Terjemahan tulisan “Intimacy in Penal Code, Controversial Controversy” di Jakarta Post, edisi 23 Februari 2018)
Diskursus hak asasi manusia (HAM) di dunia internasional sedang menyoroti Indonesia dalam draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang nampak mengarah pada kriminalisasi perilaku homoseks dan fornikasi (persetubuhan pasangan yang sama-sama belum menikah).
Isunya selalu antara moralitas agamis dan hak asasi manusia. Belum lama ini, Komisioner HAM Tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa (UNHCHR) Zeid Ra’ad Al-Hussein berbicara menentang rencana kriminalisasi tersebut. Dengan tegas beliau berkata “kami mendorong Indonesia untuk bergerak maju –bukannya mundur—dalam HAM.”
Tapi, apakah dasar dari ucapan Al-Hussein bahwa kriminalisasi homoseksualitas adalah ‘mundur’? Walaupun gerakan hak LGBT mulai lebih banyak mendapatkan dukungan, hak-hak minoritas seksual belum mendapatkan pengakuan universal atau bahkan mayoritas pun belum. Lalu bagaimana bisa mengklaim bahwa pengakuan oleh sebagian adalah sebuah ‘standar universal’ sedangkan yang lain dikatakan ‘mundur’?
Tidak ada instrument hukum internasional yang mengikat yang tegas tanpa ambigu memberi hak untuk homoseksualitas. Paling-paling hanya bisa berargumen bahwa ia adalah turunan dari hak-hak lain yang lebih umum, misalnya ha katas privasi. Tidak ada apapun yang tegas dalam memberikan hak khusus atau melarang seseorang melakukan fornikasi atau perilaku homoseks.
Instrumen hukum internasional tersebut mungkin memiliki angka ratifikasi tinggi antara negara-negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (UN), tapi tidak ada yang universal dan itupun tidak ada yang bebas dari ‘reservasi’ (term hukum perjanjian internasional yang maknanya adalah mengecualikan satu atau lebih pasal dalam suatu perjanjian).
Terdapat pengecualian umum ‘public interest’ (kepentingan umum) sebagai pengecualian terhadap hak-hak individu. Misalnya, Pasal 18(1) pada ICCPR, yang telah diratifikasi Indonesia, memberikan kebebasan berkeyakinan. Bolehlah diargumenkan bahwa hak ini termasuk hak untuk tidak berkeyakinan. Maka jika seseorang berhak untuk tidak berkeyakinan pada larangan fornikasi dan berperilaku homoseks (biasanya berbasis agama), maka manifestasi dari keyakinan tersebut (yaitu melakukan fornikasi dan perilaku homoseks) dapat dibatasi menurut Pasal 18(3).
Perspektif Indonesia mendukung hal ini. Formalnya, Indonesia memang meratifikasi mayoritas perjanjian internasional terkait HAM tanpa reservasi (dengan memberi deklarasi untuk membatasi makna dari ‘hak menentukan nasib sendiri’). Sebagian orang mengamati bahwa ratifikasi-ratifikasi ini adalah salah satu wujud ‘panik’ pasca tumbangnya rezim orde baru untuk menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia pasca-Soeharto adalah lebih baik.
Akan tetapi, Indonesia menerima hukum internasional dan menafsirkannya dengan kacamata Pancasila sebagai ideologi negara dan konstitusi. Ini mencerminkan karakter masyarakat Indonesia yang religio-magis, maksudnya bahwa alam spiritual-religius dan material-duniawi saling mempengaruhi. Manusia adalah fisik dan jiwa sekaligus, sebagaimana lagu kebangsaan Indonesia Raya “..bangunlah jiwanya, bangunlah badannya..”.
Masyarakat bukan hanya mengenal hak-hak individu, tapi juga mengutamakan hak-hak komunal beserta sebuah sistem yang merangkai manusia, keluarga, masyarakat, Tuhan, dan alam, sebagaimana dipahami oleh agama dan tradisi yang telah berakar dalam urat nadi bangsa Indonesia.
Perilaku homoseks dan fornikasi adalah bertentangan dengan semua ini. Masyarakat Indonesia melihat bahwa hak individu dan komunal datang bersamaan dengan kewajiban yang sama derajatnya.
Lebih lanjut ini ditunjang dengan partisipasi Indonesia pada instrument-instrumen lain yang menunjukkan konsep HAM yang partikularistik, misalnya Deklarasi HAM ASEAN dan Deklarasi Kairo tentang HAM dalam Islam (OKI). Kedua instrument ini, bersama-sama dengan banyak lainnya (antara lain Piagam Afrika), adalah bukti bahwa sebagian area dalam HAM tidaklah universal.
Barangkali lebih baik jika Indonesia dulu melakukan reservasi atau deklarasi pada saat meratifikasi instrument-instrumen HAM untuk menunjukkan lebih tegas posisi HAM yang partikularistik. Sebagian mungkin mempertimbangkan untuk melakukan amandemen atau ratifikasi terhadap undang-undang ratifikasi instrument-instrumen HAM tersebut.
Akan tetapi, pandangan saya adalah bahwa status quo sudah cukup baik dan harus dibarengi dengan ketegasan dalam mendukung konsep HAM yang relativistic pada berbagai level: pemerintah, ASEAN, dan internasional. Dengan ini, yang akan diperkuat bukan hanya posisi Indonesia tapi juga ASEAN dalam diskursus internasional.
Yang dituntutkan oleh Al-Hussein adalah supaya Indonesia merevisi dan menanggalkan nilai-nilai agama dan tradisional yang telah tertanam kuat dalam ideologi bangsa dan seluruh sistem hukum Indonesia. Ini adalah sebuah tuntutan untuk menuju pada sekulerisme, yang merupakan sebuah pandangan alam di mana Tuhan atau kekuatan metafisis apapun tidaklah berdampak pada kehidupan.
Institusi pernikahan, Tuhan, jiwa, bermakna sangat sedikit atau bahkan tidak sama sekali. Manusia hanyalah sekedar badan fisiknya, realitas hanyalah sejauh mana pengamatan saintifik dapat mencapai. Dalam perspektif ini, kriminalisasi terhadap persetubuhan konsensual macam apapun sulit diterima.
Pandangan sekuler seperti itu memang diamini oleh sebagian bangsa, tapi tidak semua bangsa. Indonesia termasuk yang tidak mengamininya. Siapa yang benar?
Dari perspektif agama, menggunakan akal sehat saja kita paham bahwa tidak mungkin manusia menyalahkan Tuhan. Akan tetapi ini diskursus teologis yang tidak disukai oleh banyak orang. Kalangan anti-kriminalisasi lebih suka berargumen bahwa Tuhan tidak perlu dilibatkan dalam diskursus (yaitu sekulerisme). Masalahnya, dengan sekulerisme, tidak ada kebenaran absolut. Relativisme tidak terhindarkan, apalagi ketika tidak ada universalitas yang dapat dibuktikan adanya. Sebagaimana pendapat ahli teori politik Michael Freeman, tidak ada argument yang sungguh lebih kuat dalam diskursus HAM sekuler vs agama. Justru, menurut Freeman, diskursusnya adalah politis saja.
Kita kembali pada pertanyaan di awal: apa dasar Al-Hussein mengklaim bahwa rencana kriminalisasi ini adalah langkah ‘mundur’? Mengklaim bahwa perspektifnya sendiri adalah universal, lalu memaksakan pada yang lain, bukanlah hal yang baru. Justru inilah justifikasi hukum penjajahan di masa lalu.
Dan, sebagaimana pendapat pakar hukum internasional Antony Anghie, logika kolonial ini direproduksi ulang dalam hukum internasional modern salah satunya dalam HAM. Memaksakan pandangan alam seperti ini pada Indonesia bukan hanya tidak berdasar melainkan juga tidak bermoral.
Fornikasi dan perilaku homoseksual, walaupun atas dasar suka sama suka, adlaah salah menurut nilai-nilai Indonesia. Hal ini telah jelas benarnya sejak lama sekali, malah yang aneh adalah kenapa sampai sekarang belum ada kriminalisasi formal terhadapnya. Justru, kontroversinyalah yang kontroversial.
———————
*Penulis adalah dosen di Departmen Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada
CATATAN:
- Ini telah memuat sedikit revisi dari kesalahan editor pada edisi cetak
- Link asli: http://www.thejakartapost.com/news/2018/02/23/intimacy-penal-code-a-controversial-controversy.html