Aku Pancasila dan Aku Bingung Jilid II: UU Ormas dan Sekulerisme
Aku Pancasila dan Aku Bingung Jilid II: UU Ormas dan Sekulerisme
Nampaknya yang dulu jadi sorotan ideologis oleh UU Ormas (versi lama) adalah komunisme. Lalu ketika muncul Perppu Ormas (kini UU Ormas), nampaknya yang pertama ditarget adalah ‘radikalis agama’ yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pada akhirnya, walaupun ‘mengkafirkan’ katanya adalah salah satu ciri radikalisme, HTI pun kena ‘takfir Pancasila’ resmi oleh negara.
Kemudian, saya membaca ulang tulisan saya “Aku Pancasila dan Aku Bingung” di Republika Online. Saya pun kepikiran.
Kita tidak boleh lupa bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah bukan sila kedua, ketiga, melainkan KESATU. Pertama. Di Burung Garuda Pancasila, ia ada di TENGAH. Pada deklarasi Nahdlatul Ulama tentang hubungan Pancasila dengan Islam (Situbondo, 1983), butir 2 mengatakan bahwa Sila Pertama menjadi jiwa dari sila lainnya. Saya yakin ormas Islam lain, Muhammadiyah PERSIS dll, juga berpendapat sama. Semua produk hukum, mulai dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah (serta peraturan perundang-undangan lain), Peraturan Menteri, Putusan Pengadilan, semua wajib diawali dengan menyebut “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Katanya Pancasila adalah dasar negara. Sumber segala sumbet hukum. Katanya ia adalah falsafah dan pandangan hidup bangsa. Artinya ia tidak boleh hanya asal omong saja, melainkan konkrit muncul dalam segala aspek kehidupan sebagai pandangan alam atau worldview. Ia harus muncul mulai dalam tindakan sehari-hari hingga kebijakan dan produk hukum.
Sekulerisme dan Pancasila harusnya merupakan salah satu contoh antonim. Sekulerisme bukan hanya sekedar pemisahan politik dan agama. Sekulerisme merupakan sebuah pandangan alam yang menafikkan relevansi dari segala hal yang bersifat metafisis, dan baginya semua hanyalah materialistis duniawi belaka. Dampak turunannya adalah desakralisasi nilai, alam, dan juga politik.
Posisi sila pertama pancasila mewakili semangat masyarakat Indonesia yang religio-magis. Selayaknya sekulerisme, Pancasila ini pun sebuah pandangan alam. Ini bukan pertanyaan kebenaran subjektif, melainkan bahwa alam metafisis adalah sebuah kebenaran nyata -hanya saja sekulerisme memilih untuk menafikkannya. Pancasila adalah falsfah yang menolak menafikkan kenyataan. Pengakuan sentralitas Tuhan (dan ajaran-Nya) adalah apa yang membuat Pancasila dan Sekulerisme merupakan antitesa terhadap satu sama lain.
Jika demikian, bukankah merupakan sebuah ekspektasi logis bahwa, jika HTI yang sangat agamis saja menjadi target pembubaran oleh UU Ormas, maka Ormas bernafas sekuler harusnya lebih ditarget?
Sekulerisme sebagai sebuah epistemologi telah diturunkan menjadi banyak disiplin ilmu. Salah satu contohnya adalah dalam Hak Asasi Manusia. Karena, walaupun banyak yang mengklaim bahwa “kemanusiaan” itu universal, tapi konsep “siapakah manusia” ternyata bisa sangat berbeda antar pandangan alam. Manusia materialistis ala sekuler sangat berbeda dengan manusia ala agama. Dan, walaupun banyak tafsiran agamis terhadap HAM, tidak dapat dipungkiri bahwa semua instrumen HAM internasional (misal UDHR, ICCPR, CEDAW, dlsb) pada hakikatnya adalah sekuler.
Pada akhirnya walaupun sebagian mengatakan bahwa HAM adalah universal, pada kenyataannya ada disparitas antara HAM internasional dengan HAM agamis pada poin-poin tertentu. Bagaimana tidak? HAM Internasional melihat agama sebagai sekedar kepercayaan teologis, maka ada hak untuk beragama. Entah tidak tahu atau tidak mau tahu, HAM internasional tidak mempertimbangkan agama-agama yang bersifat legislatif.
Maka akhirnya banyak perdebatan seputar HAM dan agama. Misalnya tentang kesetaraan gender, kriminalisasi penistaan agama, LGBT, dan lain sebagainya. Dalam diskursus ini, jelas tampak argumen-argumen mana yang sejatinya bernafaskan sekulerisme dan mana yang bernafaskan agama. Masing-masingnya dibawakan oleh pihak-pihak yang pada umumnya sudah terkenal dengan pandangan alamnya masing-masing itu.
Sebagian pihak tersebut adalah berbadan hukum ormas. Maka, apabila ormas tersebut secara maksud dan tujuan pendirian adalah mempromosikan HAM ala sekuler, dan terang dalam semua kegiatannya adalah bernafaskan sekuler, bukankah ia berarti bertentangan dengan Pancasila? Bukankah berarti juga bahwa ormas-ormas seperti ini harusnya menjadi target operasi dari UU Ormas?
Soal HAM hanyalah satu contoh saja, padahal dari sana saja betapa banyak cabang topik dan ormas yang akan terkena dampaknya. Padahal, sebagai sebuah epistemologi, sekulerisme berdampak pada banyak sekali disiplin ilmu termasuk ekonomi sosial budaya dan lain sebagainya. Apabila UU Ormas benar mau diterapkan secara objektif, betapa banyaknya daftar ormas yang harus dibubarkan.
Tapi segalanya memang membingungkan. Salah satu dampak dari nafas sekulerisme pada banyak cabang ilmu adalah juga sekulernya produk termasuk kebijakan serta aturan hukum, walaupun kopnya bertuliskan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bagaimana tidak? Ilmunya banyak yang sekuler, pembuat hukumnya juga sebagian sekuler, padahal masyarakatnya jelas ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada akhirnya, apakah benar kita berpancasila atau sekuler? Sebagian protes sampai minta Syariat Islam karena dirasa hukum kita kurang agamis. Sebagian protes karena katanya “overdosis agama”. Di antara kebingungan ini, bahkan termasuk pada isu epistemologi paling mendasar soal Ketuhanan vs Sekulerise, lalu tiba-tiba negara kepingin menjadi aktif memburu ormas anti-Pancasila?
Mungkin memang “Aku Pancasila”, tapi ternyata juga “aku bingung”.
“Jika sebagian kader partai berasas Pancasila melakukan korupsi, pengamat di televisi bilang Pancasila belum diamalkan. Jika sebagian kader partai berasas Islam korupsi, pengamat di televisi bilang agama dan politik harus dipisahkan. Gara-gara politik banyak dibahas dan diiklankan di sekotak televisi, kita tidak berlaku adil sejak dalam gelombang.” (Mas Ismail Al-Alam)