Memahami Islam dalam Diskursus Hak Asasi Manusia: Peranan “Kewajiban Asasi Manusia” pada Pondasi Ajaran Islam

Image result for islam

 

Memahami Islam dalam Diskursus Hak Asasi Manusia: Peranan “Kewajiban Asasi Manusia” pada Pondasi Ajaran Islam

By Fajri Matahati Muhammadin

Debat tentang Islam dan Hak Asasi Manusia (HAM) selalu panas dan tidak pernah usai. Nampaknya kebanyakan debatnya berada pada perbandingan hak vs hak atau isu-isu tertentu di dunia Islam. Sebagian kurang suka berdebat, dan lebih suka ‘menjembatani perbedaan dan menjalani kerjasama’ antara Muslim dan kelompok lain (misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB atau Nasrani dsb). Masing-masing pendekatan memiliki pendukung maupun kritik yang sangat besar.

Namun, pada suatu titik, saya mulai merenungkan: apakah selama ini kita telah mendudukkan isu ini (Islam dan HAM) dengan salah? Apakah kita menggunakan perspektif yang salah untuk memandang masalahnya?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa pada tahun 2000 tentang HAM. Walaupun juga menyuarakan dukungannya terhadap hak-hak dasar umum yang juga (secara umum) dikenal dan diakui dalam Islam, MUI memberikan kritik terhadap instrument HAM internasional. Antara lain, MUI mengkritik HAM internasional karena terlalu condong pada Hak Asasi tapi melupakan Kewajiban Asasi.

Kritik ini perlu direnungkan dengan mendalam karena ia sangatlah sentral pada bagaimana Islam memandang HAM. Gagalnya memahami ini akan membuat kerjasama dan dialog menjadi lebih sulit. Untuk memahami ini, kita harus memulai dari konsep Islam tentang tujuan penciptaan dan hakikat manusia.

 

Islam mengajarkan bahwa tujuan utama dari manusia adalah untuk beribadah kepada Allah (Surah 51 ayat 56). Perlu diingat bahwa istilah ‘ibadah’ ini sangat luas, didefinisikan oleh Shaykh al-Islam Ibn Taimiyyah r.a. sebagai “…suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).” Di sini kita temukan bahwa yang merupakan hal paling primer dan asasi pada seorang manusia adalah bukan hak melainkan kewajiban.

Sebagai Sang Pencipta Yang Maha Kuasa, tidak ada apapun di atas-Nya yang dapat mengaturnya untuk memberikan hak untuk manusia –selain Perkataan-Nya sendiri. Kemudian, Allah menyebutkan Nama-Nama-Nya (Asma) antara lain Ar-Rahman (maksudnya, rahmat bagi seluruh ciptaan) dan Ar-Rahim (maksudnya, rahmat khusus bagi mereka yang layak mendapatkannya, yaitu mereka yang memenuhi tujuan dan kewajibannya). Allah pun berjanji tidak akan melakukan ketidakadilan (kezaliman) dalam Surah 4: 40). Dengan demikian kita mengetahui bahwa manusia juga memiliki hak yang asasi dan dijanjikan oleh Allah: sebagiannya tanpa syarat dan sebagian lainnya bersyarat.

Penting juga dicatat bahwa Islam itu tidaklah materialistis dan tidak pula sekuler. Sebagaimana disampaikan ulama Malaysia Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam mengajarkan bahwa jiwa manusia memiliki dua bagian: jiwa tinggi dan jiwa rendah. Jiwa tinggi menginginkan untuk menyembah Allah, sedangkan jiwa rendah (hewaniyah) hanya menginginkan hal-hal materialistis dan keduniawian. Ini bukan berarti bahwa salah satu jiwa ini perlu diterlantarkan. Maknanya adalah bahwa hak dan kewajiban asasi manusia dalam Islam bukan hanya bersifat materialitis melainkan juga spiritual –dan yang kedua merupakan jiwa manusia yang lebih tinggi kedudukannya.

Pemahaman mendasar tentang hakikat dasar hak dan kewajiban manusia akan mencerahkan pemahaman terhadap isu-isu turunannya terkait ‘HAM’ dan Islam juga. Pertama, sebagai isu yang paling mendasar dan telah ditunjukkan sebelumnya: beribadah adalah sebuah kewajiban yang fundamental, walaupun jiwa seorang yang beriman akan menemukan rahmat dan keindahan dalam ibadah sehingga ia juga adalah hak yang fundamental. Ini kontras dengan rezim HAM internasional yang hanya melihat ibadah sebagai sebuah hak saja.

Contoh lain adalah kebebasan berekspresi dan berpendapat serta maknanya dalam Islam. Islam melarang seseorang untuk menyuarakan pendapatnya terhadap perihal (soal agama maupun kepentingan umum) ketika seseorang itu tidak memiliki ilmu memadai tentang hal tersebut. Akan tetapi, jika muncul sebuah masalah terkait hal tersebut, justru menjadi fardh al-kifayyah untuk bersuara bagi mereka yang memiliki ilmu memadai tentang hal tersebut.

(Catatan: ini tentu berbeda dengan menyampaikan pengalaman pribadi)

Soal kepemimpinan merupakan isu yang menarik. Islam nampaknya tidak terlalu banyak riweh dalam hal hak untuk memilih atau dipilih. Justru, untuk memilih dan dipilih sebagai pemimpin adalah bersifat fardh al-kifayyah. Dari sana, barulah Islam memberikan persyaratan-persyaratan untuk pemimpin. Ini nampaknya lebih untuk menjelaskan kepada siapakah kewajiban ini dikenakan, daripada ‘siapa yang berhak untuk memimpin’.

Lebih lanjut lagi, menempuh Pendidikan adalah sebuah melainkan kewajiban bagi seluruh Muslim. Dari sana barulah kita bisa menyiratkan bahwa ia juga merupakan sebuah hak. Hukum pernikahan juga menyebutkan bahwa untuk berpenghasilan bagi suami (untuk memberikan nafkah) adalah sebuah hak daripada kewajiban. Walaupun, tentu, bukannya terlarang mutlak bagi para istri untuk bekerja. Justru sebagian ulama, misalnya ulama Saudi Arabia Syekh Abd al-Aziz ibn Baz, berfatwa bahwa wajib bagi seluruh laki dan perempuan untuk bekerja dengan cara yang terhormat bagi jenis kelamin masing-masing.

Daftar contoh-contoh ini bisa terus ditambah. Tapi, poin utamanya adalah bahwa Islam melihat soal HAM ini adalah dari perspektif konstruk yang berbeda. Sebetulnya konstruk ini tidaklah begitu asing. Sebagai pelajar dan pengajar dalam bidang hukum, saya selalu mebicarakan pentingnya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Pentingnya keseimbangan ini dibahas dalam berbagai mata kuliah dan sub-disiplin, mulai dari Pengantar Ilmu Hukum, kemudian juga lainnya misalnya: hukum kontrak, hukum pidana, hukum ketenagakerjaan, dan lain sebagainya.

Kritik MUI bukanlah tak beralasan. Betul bahwa HAM internasional terlalu berat pada hak asasi. Tidak ada ‘kewajiban asasi manusia’ melainkan sebuah asas umum yaitu ‘hormatilah HAM orang lain’: yang mana intinya adalah bahwa sekali lagi yang paling tinggi ya HAM lagi. Atau, apakah hukum internasional memang mengatur bahwa tidak ada yang bersifat asasi pada manusia selain hak? Tidak ada kewajiban yang bersifat asasi?

 

Padahal ini belum lagi membahas persoalan lain untuk dieksplorasi lebih lanjut, yaitu kritik lain MUI terhadap HAM internasional: bahwa ia terlalu individualistic dan kurang memperhatikan hak kolektif dan komunal. Misalnya, HAM internasional biasa digunakan sebagai argumen untuk mengecam kriminalisasi zina dan perilaku homoseks. Tentunya, kriminalisasi dari manifestasi ‘seksualitas yang melanggar norma’ (walaupun konsensual) akan dilihat sebagai pelanggaran kebebasan pribadi dan diaku ‘tidak mengganggu orang lain’.

Padahal, Islam (dan banyak peradaban non-Eropa lainnya) memandang hal ini berbeda. Bukannya tidak ada hak individual, tapi ia harus dilihat dari konteks kebutuhan komunal dan bahkan peradaban. Sebuah peradaban dibangun dengan antara lain sebuah struktur masyarakat yang kuat pada level makro, dan itu dibangun di atas unit-unit keluarga yang kuat apda level mikro. Bukan Cuma individu yang kuat. Regulasi terhadap seksualitas adalah integral untuk menjaga kekuatan unit keluarga tersebut, bersama dengan institusionalisasi pernikahan (dengan segala hukum, hak, dan kewajiban, yang satu paket dengannya). Penelitian telah menunjukkan bagaimana kurangnya pengaturan dan pembatasan yang bijaksana terhadap seksualitas dapat menimbulkan masalah-masalah sosial yang besar pada level makro. Tentu ini akan membutuhkan pembahasan yang lebih dalam dan terpisah, mungkin untuk tulisan lain di kemudian hari.

 

Diperlukan sebuah penelitian yang lebih komprehensif untuk mengkarakterisasi konsep hak dan kewajiban asasi dalam Islam secara sistematis dalam sebuah struktur holistik yang lebih mudah dipahami oleh fikiran dan dalam konteks modern. Akan tetapi, saya sangat percaya bahwa HAM internasional dapat (dan seharusnya) belajar banyak pada Islam. Rekonstruksi rezim HAM untuk mengintegrasikan konsep ‘Kewajiban Asasi Manusia’ secara tandem dengan HAM (juga bersama integrase ‘hak-hak kolektif’) dapat memberikan keseimbangan yang lebih baik di masyarakat. Dan, ini akan berdampak pada semua isu-isu turunan sebagaimana dicontohkan sebelumnya di tulisan ini.

Atau, kalaupun dunia internasional tidak dapat menerimanya, setidaknya memahami isunya lebih baik akan menjadi bekal yang lebih baik untuk menginisiasi dialog dan kerjasama.

 

 

(Click Here For English Version)