Islam, Hukum Internasional, dan Awn Al-Khasawneh

 

Banyak yang dengan mudah men-“toghut”-kan hukum internasional, dan mengira ia adalah sekedar hukum buatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Memang betul banyak sekali ke-nyebelin-an PBB, tapi hukum internasional jauh lebih besar dari sekedar PBB saja. Simpelnya, hukum internasional secara tradisional adalah didasari oleh dua hal: perjanjian antar negara dan kebiasaan antara negara, dan itu tidak asing bagi Islam (kalau mau panjangnya, 4 SKS hehe).

Imam Shaybani dalam Siyar Al-Saghir (saya baca versi terjemahan oleh Majid Khadduri dengan judul The Islamic Law of Nations: Shaybani’s Siyar terbitan John Hopkins Press tahun 1966) mengatakan bahwa perjanjian internasional serta resiprositas adalah dipertimbangkan dalam fiqh al-siyar atau hukum internasonal Islam. Memang dalam praktek bukannya tidak dikenal perjanjian antara Dar al-Islam dengan Dar al-Kuffar, atau pertimbangan resiprositas. Perlu dicatat bahwa menurut Jack Goldsmith dan Eric Posner dalam The Limits of International Law (Oxford University Press, 2005) mengatakan bahwa resiprositas dalam skala besar membentuk hukum kebiasaan internasional.

Dengan demikian, hukum internasional ini barangkali tidak bisa secara mutlak digeneralisir sebagai ‘hukum kafir’ melainkan perlu dilihat case per case.

Dalam prakteknya, ada perkembangan penting dalam hukum internasional pasca-perang dunia II. Tadinya hukum internasional adalah sekedar pengatur hubungan antar negara saja. Akan tetapi, barangkali rezim HAM internasional adalah contoh utamanya, hukum internasional mulai mengatur bagaimana sebuah negara mengatur dirinya sendiri dan memperlakukan rakyatnya sendiri. Dan ini umumnya diatur dalam perjanjian-perjanjian internasional. Perkembangan lain pun terjadi, misalnya munculnya organisasi-organisasi internasional (terutama PBB) yang perannya makin sentral dalam hukum internasional yang bahkan memunculkan dokumen-dokumen yang ternyata mulai berperan selayaknya sumber hukum.

Pembahasan soal hal di atas akan lebih panjang sekali dan rumit, tapi saya ingin membahas seorang tokoh bernama Awn Al-Khasawneh. Beliau adalah Perdana Menteri Jordan, tapi peran beliau yang paling luar biasa adalah sebagai salah satu hakim pada The International Court of Justice alias Mahkamah Internasional yang merupakan salah satu organ PBB. Beliau juga pernah menjadi anggota International Law Commission (ILC) bentukan Majelis Umum PBB yang fungsinya adalah meramu dan mengembangkan hukum internasional melalui PBB. Walaupun masa tugas beliau pada dua Lembaga tersebut sudah habis, tapi beliau berjasa penting bagi umat Islam walaupun tidak banyak yang mengetahuinya.

Dalam pengantar yang beliau tulis untuk buku Islam and International Law: Engaging Self-Centrism from a Plurality of Perspectives (editor: Marie-Luisa Frick dan Andreas Th Müller, terbitan Martinus Nijhoff Publishers tahun 2013), beliau menulis betapa besarnya peran Islam dalam perkembangan historis hukum internasional tapi kini malah terkesannya Islam hanya ada di periferi saja atau bahkan lenyap perannya. Beliau menekankan penting dan urgennya mendorong kontribusi hukum Islam dalam mengembangkan hukum internasional. Ada beberapa hal menarik yang saya temukan:

Pertama, beliau sempat menyinggung bahwa tradisi keilmuan hukum Islam sangat mungkin terpengaruh oleh hukum Romawi sebagiamana klaim beberapa orientalis. Alasannya adalah salah satu mazhab fiqih awal Islam (Imam Sufyan Ath-Thawri) bermulai di Damaskus yang bekas wilayah Romawi. Saya pernah mengkritik sekilas pendapat ini di tulisan lain saya, tapi mungkin ini topik yang perlu dibahas terpisah oleh para asatidz yang menguasai ushul al-fiqh. Ini Cuma saya sampaikan saja sebagai ‘FYI’, tapi bukan ini yang luar biasa.

Kedua, beliau Nampak berusaha menekankan bahwa hukum Islam harusnya bisa menjadi sumber hukum internasional. Salah satu sumber hukum internasional adalah hukum kebiasaan internasional (sebagaimana saya sebut di atas), ada sumber lain yaitu ‘asas-asas hukum’. Beliau menekankan bahwa negara Islam dipraktekkan oleh banyak negara di dunia, dan juga memiliki asas-asas hukum, sehingga tentulah hukum Islam dapat masuk hukum internasional.

Ketiga, yang terpenting, saat beliau menjabat sebagai anggota ILC lalu hakim ICJ, beliau melakukan beberapa hal penting. Perlu diingat bahwa peran ILC sangat besar, karena mereka membantu mengembangkan hukum internasional dan membuat dokumen-dokumen kodifikasi hukum kebiasaan internasional serta menjadi drafter banyak perjanjian internasional antarnegara yang diikuti oleh banyak sekali negara. Sebagai hakim pun, selain menyelesaikan sengketa antar negara, putusan-putusan hakim juga merupakan sumber hukum internasional yang walaupun tidak mengikat tapi merupakan rujukan sebagai penafsiran sumber-sumber hukum internasional yang mengikat (perjanjian, kebiasaan, dan asas-asas hukum).

Nah, beliau berperan memasukkan asas asas hukum Islam dalam hukum internasional dan kini terpatri abadi di sana. Contohnya adalah kaidah fiqih درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح (menghilangkan mafsadat lebih diutamakan daripada mengambil manfaat). Beliau memasukkannya ke dalam salah satu dokumen ILC yang penting, yaitu  “Yearbook of the International Law Commission, Vol. 1, Summary Records of the Meetings of the Forty-First Session 2 May-21 July 1989” (New York, 1989).

Selain itu, beliau agak ‘sebal’ kenapa hukum Islam di ICJ cuma sesekali disebut itupun hanya sebagai penunjang. Misalnya pada putusan kasus Iran vs USA tahun 1980, hukum Islam terkait perlindungan terhadap utusan negara lain disebut tapi hanya sebagai penunjang dan bukan sebagai dasar hukum utama. Maka beliau saat menjadi hakim pun sempat menggunakan hukum Islam sebagai sumber dalam memutus perkara. Salah satunya adalah saat beliau menggunakan kaidah fiqih درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح tadi dalam memutus kasus Argentina vs Uruguay (putusan tahun 2010). Perlu dicatat bahwa Argentina maupun Uruguay bukanlah negara Islam.

 

Kita berdoa supaya jasa-jasa beliau kepada Islam dalam hukum internasional ini tidak berhenti, dan justru dilanjutkan oleh hakim-hakim ICJ yang Muslim lainnya. Apalagi sekarang presiden ICJ adalah seorang Muslim (Abdulqawi Ahmed Yusuf dari Somalia). Kita pun berharap bahwa Organisasi Kerjasama Islam (OKI) bisa meningkatkan perannya. Saya dan Fathimathus Sholihah pernah menulis pentingnya membuat International Soft Law yang menekankan identitas keislaman dalam hukum internasional dengan OKI yang harus berperan sentral. Dr Salim Farrar dalam tulisannya “The Organization of Islamic Cooperation: Forever on the Perophery of Public International Law” (diterbitkan oleh Chinese Journal of International Law, Vol. 13 Iss. 4, tahun 2014) pun sangat menekankan pentingnya peran OKI untuk mengarusutamakan peran Islam dalam hukum internasional. Ini membutuhkan willingness dari para politisi negara-negara Muslim.

Akademisi-akademisi hukum internasional lainnya juga harus berperan untuk turut mendorong partisipasi keilmuan Islam dalam perkembangan hukum Islam. Kalau tidak, khazanah keilmuan Islam yang sangat kaya akan justru hilang dan tetap asing di telinga umat Islam sendiri. Mahasiswa-mahasiswa hukum juga tidak boleh asing dari tradisi hukum Islam, walaupun penelitian-penelitian saya menunjukkan kuatnya sekulerisasi dalam kurikulum fakultas hukum di Indonesia.

Semua harus berperan dalam bidang dan posisinya masing-masing, karena saya meyakini hal ini bersifat fardh al-kifayah.