Mengamalkan Hadits Dha’if: Beradablah Kepada Ulama!
Terkait hadits dha’if ini, ada sebuah diskursus yang cukup ramai. Satu fihak ada yang menghina fihak lain karena hanya mau mengamalkan hadits sahih dan tidak mau mengamalkan hadits dha’if. Di sisi lain, fihak yang tadi pun menghina balik karena fihak pertama dituduh bermudah-mudah dengan hadits dha’if. Tapi bagaimana kebenarannya?
Setelah belajar sedikit-sedikit dari berbagai guru (sebahagiannya dari kalangan Asy’ariy, Maturudiy, maupun Atsary), saya mendapati sesuatu yang sangat menarik. Ternyata, nampaknya kedua sisi ini sering terlalu banyak prasangka terhadap yang lainnya sehingga mengurangi objektivitas dalam menilai. Berikut ulasannya:
Hanya Menerima Hadits Sahih, Menolak Hadits Dha’if
Biasanya yang dihujat karena ini adalah ulama yang disebut sebagai “Salafi Wahabi”.
Salah satu tuduhan pertama adalah: Wahabi tidak memakai ilmu alat dan mengharamkan bermazhab. Mereka dikritik karena kononnya “tidak semua hadits sahih diamalkan, karena nasikh mansukh atau takhsish atau kaidah-kaidah lainnya”.
Maka jawabnya adalah: Perkataan “hadits sahih harus diamalkan”, tentulah maknanya adalah diamalkan dengan sesuai kaidah-kaidahnya dan mengikut kalam ulama, sebagaimana maksud pernyataan Imam Syafi‘i “bila sahih itu mazhabku”. Salafi juga menggunakan juga ilmu alat, dan stance mereka tentang bermazhab telah saya bahas di sini.
Tuduhan kedua adalah “menolak hadits hasan dan dha’if secara mutlak”. Ini tuduhan yang 50-50. Saya belum pernah dengar Ulama Salafi yang menolak hadits hasan. Sedangkan menolak hadits dha’if secara mutlak, ini perlu dibahas sedikit. Tidak sedikit ulama Salafi yang menolak hadits dha’if untuk masalah hukum, tapi tetap membolehkan untuk fadhilah amal dengan beberapa syarat yang ketat. Kalau tidak silap, ini pendapat Syaikh Uthaymin dan Syaikh Fawzan dan lain-lain. Posisi ini mengikut pendapat Imam Nawawi dan Imam Ibn Hajar Al-Asqalani. Tidak salah kan?
Tapi memang ada ulama Salafi yang menolak menggunakan hadits dha’if secara mutlak, bahkan untuk fadhilah amal sekalipun. Kalau tidak silap, salah satunya adalah Syaikh Albani. Saya pernah mendengar beberapa asatidz dari kubu lain menghina Syaikh Albani (atau salafi secara umum) karena posisi ini.
Padahal, posisi ini bukannya tidak mengikut pendapat ulama. Memang Imam Nawawi mengatakan bahwa ada ijma‘ ulama membolehkan penggunaan hadits dha’if untuk fadhilah amal. Akan tetapi, ternyata ada ulama-ulama hadits besar yang disebut menolak secara mutlak hadits dha’if untuk fadhilah amal. Antaranya adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Yahya bin Ma‘in, Abu Bakar ibn al-Arabi, Abu Hatim, dan Abu Zur‘ah.
Memang ada perbincangan pada sebahagiannya, misalnya Imam Bukhari ternyata menulis Kitab Adab al-Mufrad yang sebagian isinya dha’if, atau Imam Muslim yang sebagian (kecil) perawinya munkar. Tapi, meriwayatkan hadits dha’if tidaklah sama dengan menjadikannya sebagai hujjah. Ya ini bisa jadi discourse di lain kesempatan.
The point is, bukanlah Syaikh Albani seorang saja yang berposisi seperti ini. Menghina Syaikh Albani karena menolak mutlak hadist dha’if adalah berarti turut menyerang ulama-ulama besar yang telah disebut di atas.
Tentang Syaikh Albani dan Kitab Adab Al-Mufrad, ada seorang pakar yang menyindir sang Syaikh karena meneliti hadits-hadits dalam Kitab Adab Al-Mufrad. Kata sang pakar, ini kitab tentang fadhilah amal ngapain sih dicek sahih-tidaknya?
Padahal, ada kepentingan dalam melakukan hal tersebut antara lain karena Syekh Albani berpendapat bahwa hadits dha’if secara mutlak tidak bisa diamalkan. Selain itu ulama yang membolehkan pengamalan hadits dha’if untuk fadhilah amal pun bukan tanpa syarat. Misalnya, kata Al-Hafidz Ibn Hajar, dha’ifnya tidak boleh terlalu berat. Maka bukankah ini penting untuk dicek?
Salah satu syarat lain menurut Al-Hafidz: tidak boleh disandarkan secara pasti kepada Nabi Muhammad s.a.w. Maksudnya, hadits dha’if untuk fadhilah amal tidak boleh dikatakan “Nabi berkata…”, melainkan misalnya “Ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi berkata…”. Memang agak rumit, tapi inilah syarat yang diletakkan oleh para ulama hadits untuk kehati-hatian.
Hadits Dha’if Boleh Dijadikan Hujjah
Di sisi lain, ada pihak lain yang masih menggunakan hadits dha’if sebagai hujjah. Terkadang mudah sekali menghina pihak lain yang menggunakan hadits dha’if sebagai hujjah ini. Padahal, ini harus kita kaji lagi dan akan tampak bahwa bisa jadi ada kebenaran dalam pendapat mereka ini.
Pertama, penggunaan hadits dha’if untuk fadhilah amal. Perlu diketahui bahwa penerimaan hadits dha’if untuk fadhilah amal ini tidaklah sembarangan melainkan ada syarat-syarat ketat. Dua di antara syarat-syarat tersebut telah disebutkan sebelumnya. Ada satu syarat lagi yaitu bahwa kandungannya didukung oleh dalil-dalil lain yang kedudukannya sahih. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ada ulama-ulama besar yang menjadikan hadits dha’if untuk fadhilah amal. Ulama-ulama besar ini adalah jumhur ulama hadits (sebagian mengklaim ijma, walaupun telah disebutkan bahwa sebetulnya bukan ijma, tapi ya ini mayoritas).
Kedua, Imam Ahmad menerima hadits dha’if untuk hujjah hukum apabila tidak ada dalil lain, bahkan kedudukannya di atas qiyas. Jangan salah, karena Imam Ahmad bukanlah orang sembarangan. Tidak boleh kita tempatkan ulama di atas Nabi yang bersifat maksum, tapi seorang Imam Ahmad yang mujtahid Mutlaq pendiri mazhab bukanlah orang sembarangan. Selain itu, ada sedikit permasalahan terminology di sini yang mungkin bisa membingungkan. Imam Ahmad membagi hadits dha’if menjadi dua kriteria yaitu “hadits dha’if yang bisa dijadikan hujjah” dan “hadits dha’if yang tidak bisa dijadikan hujjah”. Sedangkan istilah “hadits dha’if yang bisa dijadikan hujjah” menurut Imam Ahmad, adalah hadits hasan yang dimaksud oleh ulama zaman kemudian. Maksudnya, “hadits dha’if yang bisa dijadikan hujjah” ala Imam Ahmad tidaklah sama dengan istilah “hadits dha’if” yang dikenal sekarang. Jadi, jangan sampai kita menghina Imam Ahmad karena kita salah memahami term “hadits dha’if” yang beliau gunakan.
Ketiga, Imam Syafi’i menerima sebagian hadits mursal (tabi’in meriwayatkan langsung dari Nabi Muhammad s.a.w). Memang pendapat ini sangatlah melawan arus dibandingkan mayoritas ulama lain, tapi sekali lagi Imam Syafi’i yang dikenal sebagai bukan hanya mujtahid Mutlaq melainkan juga mujaddid, bukanlah orang sembarangan. Apalagi, beliau tidak sembarangan menerima hadits mursal melainkan ada syarat ketat, yaitu: (i) diriwayatkan perawi yang tsiqoh, (ii) harus diriwayatkan oleh tabi’in senior kibar, dan (iii) tidak bertentangan dengan periwayatan oleh hafidz yang lain. Ditambah lagi, ketiga syarat tersebut harus dibarengi oleh salah satu dari berikut: (a) disokong oleh hadits lain yang bersambung sanadnya melalui jalan lain, atau (b) disokong oleh hadits mursal lain yang diterima para ulama, atau (c) muatan hadits sesuai dengan pendapat sebahagian sahabat Nabi, atau (d) muatan hadits tersebut sesuai dengan fatwa kebanyakan ahli ilmu.
Penutup
Diskursus dalam ilmu hadits, baik sebagai cabang ilmu sendiri maupun dalam interaksinya dengan ilmu-ilmu lain (fiqih, aqidah, dan lain sebagainya), adalah sangat banyak. Perbedaan pendapat tentunya banyak, dan ini tidak jarang berujung pada konflik antar kelompok. Padahal, seringkali kelompok-kelompok ini memiliki dasar pendapat yang didukung oleh ulama-ulama besar yang dihormati oleh kesemua kelompok yang bertikai.
Bolehlah tidak bersepakat dengan pendapat yang lain, karena memilih satu antara dua (atau lebih) pendapat adalah keniscayaan dalam perbedaan. Tapi kalau sampai saling menghina, itu sangat berbahaya karena bisa saja karena kebencian ini kita jadi tidak sadar telah turut menghina ulama besar atau bahkan Nabi Muhammad s.a.w. Darah ulama adalah haram, dan kesalahan ijtihad ulama pun memberikan pahala untuk mereka. Kalau kita menghina ulama, walaupun kita di sisi yang benar, manfaat apa yang kita dapatkan dari penghinaan tersebut?
Karena itulah, barangkali lebih baik untuk berbagi saja. Siapa tahu ada kritik membangun yang boleh kita terima, atau boleh kita sampaikan. Atau, kita pun mungkin boleh introspeksi diri. Karena terkadang pendapat yang kita ikuti memiliki syarat yang kita tidak ketahui sedangkan kita belum memenuhinya.