Plagiarisme dalam Menulis Tugas Kuliah dan Karya Ilmiah: Meluruskan Beberapa Kekeliruan
Plagiarisme adalah sebuah istilah yang banyak disebut sebagai pengkhianatan terbesar dalam dunia akademik. Ia mewakili ketidakjujuran yang sangat bertentangan dengan salah satu spirit utama pendidikan. Akan tetapi, seringkali ada kekeliruan dalam memahami konsep plagiarism. Dalam post ini inshaaAllah saya akan coba meluruskan beberapa kekeliruan tersebut, dan bisa ditambah lagi jika pembaca ada masukan.
Di post ini, saya tidak akan membahas panjang lebar definisi plagiarisme menurut X Y Z, kita langsung praktis saja. Poin utama dari plagiarisme adalah apabila kita mengklaim suatu karya/pemikiran sebagai karya kita, padahal sebenarnya ia adalah karya/pemikiran orang lain. Dalam konteks tugas kuliah dan karya ilmiah, biasanya muncul dalam dua bentuk:
1. Paling fatal: meng-copy paste karya orang lain secara total dari awal sampai akhir, lalu diganti nama pengarangnya menjadi nama kita. Lalu kita submit ke universitas atau ke jurnal dalam keadaan seperti itu.
2. Fatalnya bervariasi: meng-copy paste sebagian karya orang lain lalu dicampurkan ke karya sendiri, dan mengklaim bahwa potongan ter-copy paste tadi adalah buah pemikirannya sendiri. Makin besar porsinya dibandingkan keseluruhan karya kita, makin fatal.
Beberapa kekeliruan soal plagiarisme:
Kekeliruan pertama: parafrase yang mantap bukanlah plagiarisme
Sebagian orang mengira bahwa apabila kita mengambil sepotong dari tulisan orang lain, lalu diparafrase sedemikian rupa sehingga tidak kelihatan sama persis kalimatnya, maka dikiranya itu bukan merupakan plagiarisme. Dengan parafrase yang baik, software-software anti-plagiarisme pun tidak akan mendeteksi sebagai plagiarisme. Tapi apakah pemikiran ini betul?
Coba ambil buku Harry Potter and the Philosopher’s Stone versi Bahasa Indonesia. Lalu terjemahkan balik ke Bahasa Inggris. Saya haqqul yaqin hasilnya tidak akan sama persis dengan versi aslinya. Pun ada yang sama, coba diparafrase sampai tidak sama persis. Kemudian, coba bawa ke penerbit untuk dijual atas nama anda sebagai penulis. Ngawur bukan?
Kalau ada ngawur dalam skala besar, ada juga ngawur dalam skala kecil. Intinya adalah bahwa plagiarisme ini bukan sekedar persamaan kata, melainkan soal buah pemikiran/karya. Apabila kita mengambil buah pemikiran orang lain, mau diparafrase atau alihbahasakan, selama itu masih buah pemikiran orang lain, maka mengakuinya sebagai karya/pemikiran kita ya tetap disebut sebagai plagiarisme.
Karena itu, tidak benar kalau kita boleh comot comot tulisan orang lain lalu diparafrase saja, lalu diakui sebagai karya kita. Selama itu adalah ide yang diambil dari orang lain, maka kita harus menyebutkan dari mana kita mengambil ide tersebut dalam sitasi (footnote atau endnote atau bodynote, sesuai format yang diperlukan). Terlepas dari apakah kita melakukan parafrase atau tidak, itu tidaklah relevan.
Memparafrase informasi yang didapatkan dari sumber lain itu hanya memiliki satu tujuan: mengefektifkan kalimat-kalimat yang kurang efektif atau kurang pas dengan flow tulisan kita, dan diekspresikan dalam bentuk kutipan tidak langsung (indirect quotation).
Catatan: Contoh perbedaan direct quotation dengan indirect quotation:
Direct Quotation:
…sebagaimana dikatakan oleh Alan Boyle, “Soft law is actually law” (Boyle, 2008: 231).
Indirect Quotation:
Contoh 1: …. Sebagaimana Alan Boyle yang menyampaikan bahwa Soft Law merupakan hukum (Boyle, 2008: 231).
Contoh 2: … such as Alan Boyle who is in favor of classifying Soft Law as law (Boyle, 2008: 231).[1]
Kekeliruan kedua: tidak sengaja berarti tidak masalah
Bayangkan sebuah situasi di mana seseorang menerbitkan sebuah buku, kemudian ketahuan bahwa buku tersebut 70%-nya adalah sama plek dengan buku lain (dan buku lain itu tidak dirujuk dengan baik di daftar pustakanya). Lalu, penulisnya mengatakan “saya tidak sengaja”.[2] Apakah anda akan percaya?
Sangat sulit membayangkan ada orang yang “tidak sengaja mengambil karya orang lain lalu mengakuinya sebagai karyanya sendiri”. Sangat sulit pula percaya pada pengakuan orang yang mengklaim “saya menulis sendiri kok, kebetulan saja sama banget dengan karya orang lain”.[3]
Akan tetapi, sebenarnya bisa saja kasus-kasus kecil terjadi karena ketidaksengajaan khususnya karena ketidaktahuan. Contoh sederhana, kekeliruan pertama di atas itu banyak yang tidak mengetahuinya. Karena itu, bukan sedikit kasus seperti ini yang terjadi. Saya saja sudah menangkap puluhan mahasiswa plagiat begini, padahal saya mengajar belum terlalu lama.
Kadang ada ketidaktahuan lain, misalnya ketika seseorang tidak memahami teknik dalam menempatkan sitasi dan/atau kutipan. Sehingga, misalnya, ia dianggap plagiat karena mengutip langsung beberapa kalimat tanpa memberikan tanda kutip “…” kemudian hanya memberikan footnote di kalimat terakhir (yang begini biasanya terdeteksi di software anti-plagiarisme).
Di satu sisi, ada hal-hal yang rasanya tidak mungkin tidak sengaja, alias bohong besar. Di sisi lain, ada hal-hal yang bisa saja tidak sengaja (rasanya tidak mungkin pada hal-hal yang besar). Di sisi lain lagi, terkadang ketidaktahuan ini akibat sistem Pendidikan yang tidak detil mengajarkan soal etika penulisan (ini PR bagi sekolah dan universitas dalam penyusunan kurikulum). Di sisi lain lagi, karena ini segi empat, dosen atau pengelola jurnal agak kesulitan mengamalkan hadits innama‘al a‘malu binniyaat karena tidak bisa baca pikiran.
Para akhirnya, bersalah atau tidaknya pelaku plagiarisme ‘tidak sengaja’ ini biasanya tidak terlalu relevan. Karya tersebut biasanya akan tidak dinilai ataupun ditolak, karena walaupun ‘tidak sengaja’ tetap saja karya tersebut tidak murni hasil kerja pelaku. Tetap saja ada kegagalan akademik di sana, walaupun apabila porsi plagiarisme agak kecil dibandingkan keseluruhan karya barangkali akan dikurangi nilai saja alih-alih langsung digagalkan.
Kekeliruan ketiga: kopas semua lalu kasih footnote (sitasi) semua=paper mantap
Alkisah seorang mahasiswa, untuk menghindari plagiarisme, memberikan footnote untuk rujukan sumber informasi yang ia kutip dalam papernya. Tak lupa, semua kutipan langsung ia kutip dengan teknik yang betul (diberi kutip buka dan kutip tutup, sebagaimana contoh yang diberikan di atas). Kutipan-kutipan tidak langsung ia parafrase dengan baik, tapi tetap diberikan footnote untuk menunjukkan bahwa informasi tersebut diambil dari mana.
Jujur, alhamdulillah. Secara keilmuan ia telah menunjukkan integritas akademik yang baik. Alangkah sayangnya, ternyata total kutipan mencapai 90% dari keseluruhan papernya itu. Ini adalah ekstrim lain dari masalah plagiarisme.
Walaupun ini tidak bermasalah secara etika penulisan, tapi kemungkinan besar (a) nilainya jelek, dan/atau (b) papernya akan ditolak. Sebuah karya ilmiah ditulis dengan cara mengolah literatur yang sudah ada secara kritis, lalu menggunakan hasil kajian kritisnya itu sebagai landasan analisis terhadap masalah yang telah ditetapkan oleh penulis. Ada porsinya di mana karya ilmiah membahas karya orang lain, dan ada pula porsinya di mana karya ilmiah adalah buah pikiran si penulisnya.
Yang dilakukan oleh si mahasiswa tadi nampaknya lebih mirip tugas merangkum daripada karya ilmiah. Kalau memang tugasnya adalah sekedar merangkum saja, mungkin memang begitu caranya. Tapi kalau tugasnya adalah karya ilmiah, dosen atau pengelola jurnal lebih ingin melihat bagaimana buah pemikiran si mahasiswa/penulis dalam mengkaji literatur dan menerapkannya pada masalah. Mereka bukan mencari kemampuan merangkum.
Kekeliruan keempat: kalau sudah ijin kepada yang diplagiat, harusnya ndak apa-apa dong
Biasanya pelaku beginian adalah mahasiswa yang ngerjain tugas paper atau take-home exam, dan alasan kayak begini bikin saya tepok jidat. Ini rasanya nggak perlu panjang lebar saya bahas ya.. Intinya ada dua poin.
Poin pertama, kalo tugasnya kerja kelompok dosennya pasti bilang kok (dalam konteks paper untuk jurnal, boleh kok penulisnya lebih dari satu). Poin kedua, intinya selama seseorang mengklaim karya/pemikiran orang lain sebagai karya/pemikiran sendiri, itu adalah plagiarisme. Jadi, alasan ini tidak laku.
Kekeliruan kelima: Kalau kopas karya saya sendiri, tidak plagiat dong?
Ini adalah masalah yang sedikit rumit, karena sekilas tidak tampak memenuhi konsep yang telah saya sebutkan sebelumnya yang mensyaratkan mengklaim karya orang lain sebagai karya sendiri. Perlu lebih dalam mengkaji masalah ini, karena di sini bisa ada benturan antara etika dan kebutuhan. Jadi, untuk sementara, ini adalah bahasan yang paling panjang.
Meng-kopas karya sendiri lalu dijadikan karya baru biasa disebut self-plagiarism atau text recycling. Dalam konteks tugas mata kuliah, bisa saja dua mata kuliah menyuruh membuat paper, lalu kita kreatif bisa membuat paper yang menggabungkan kedua tugas itu dan paper yang sama diberikan kepada dua dosen di dua mata kuliah yang berbeda. Saya pribadi mungkin tidak akan menolak mahasiswa saya yang melakukan hal seperti itu. Baiknya ditanyakan kepada masing-masing dosen, karena bisa jadi mereka punya kebijakan sendiri-sendiri soal ini.
Masalah lebih sering muncul dalam karya ilmiah untuk publikasi. Kalau dua kali mempublikasi paper yang sama persis (atau nyaris sama persis, sekedar parafrase saja), biasanya itu dianggap tidak etis karena umumnya dilakukan untuk memperbanyak publikasi dalam rangka memenuhi kuota minimum publikasi. Biasanya yang melakukan seperti ini adalah dosen yang super kepepet (ada juga yang memplagiat karya orang lain karena kepepet). Semua jurnal ilmiah (termasuk jurnal abal-abal) memiliki standar originalitas, di mana semua mensyaratkan karya ilmiah yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya (jurnal abal-abal kadang tetap menerima, asal kita bayar. Tapi jangan! Akan merusak reputasi akademik, karena institusi-institusi akademik yang baik akan bisa melihat jurnal mana yang abal-abal).
Akan tetapi, ada beberapa kemungkinan situasi yang abu-abu dan bisa jadi tergantung situasi:
Misalnya, kadang ada antologi (chapter book) yang mempublikasikan ulang paper-paper yang masing-masingnya sebelumnya sudah pernah diterbitkan di jurnal. Akan dipertanyakan etikanya apabila di antologi tersebut tidak disebutkan bahwa tulisan tersebut pernah dipublikasi di jurnal sebelumnya. Sedangkan soal kepangkatan, mungkin orang administrasi kepegawaian yang bisa menjelaskan lebih apakah seorang dosen boleh mengklaim kum atas sebuah tulisan di antologi yang sebelumnya pernah diterbitkan di jurnal dan sudah diklaim kum juga. Dalam hal ini, saya pribadi berpendapat bahwa tidak masalah apabila sebuah tulisan yang pernah terbit di jurnal diterbitkan ulang di sebuah antologi demi diseminasi keilmuan. Syaratnya: (a) di antologi tersebut harus diberi keterangan bahwa tulisan tersebut pernah diterbitkan di jurnal mana, dan (b) tidak diklaim kum apabila tulisan tersebut sudah pernah diklaim untuk kum ketika dulu terbit di jurnal. Plus, semoga penerbit antologi tersebut sudah bicara dengan masing-masing jurnal yang dicomot artikelnya karena ada masalah copyrights yang perlu dipastikan dulu.
Kasus lain, bagaimana kalau paper yang pernah dipresentasikan di paper conference diterbitkan lagi di jurnal ilmiah? Untuk hal ini, ada tiga praktek yang berlaku di jurnal-jurnal internasional: sebagian jurnal menolak secara mutlak, sebagian jurnal menerima secara mutlak dengan memberi keterangan, sebagian jurnal menerima bersyarat apabila paper tersebut sudah direvisi dengan signifikan. Jadi, untuk hal satu ini baiknya cek ketentuan masing-masing jurnal, atau kalau tidak jelas di ketentuan jurnal maka silahkan tanyakan langsung ke pengelola jurnal atau submit saja dengan memberi keterangan.
Kasus lain lagi, thesis dan disertasi yang diolah dan dimasukkan ke jurnal. Sepemahaman saya, praktek yang umum adalah tidak masalah asalkan diberi keterangan. Ada yang membagi-bagi thesis atau disertasinya ke dalam beberapa tulisan jurnal, ada yang mempublikasikannya menjadi buku. Salah satu logikanya adalah bahwa thesis dan disertasi ini dianggap sebagai karya ilmiah tapi bukan publikasi. No problem, tapi jangan lupa disesuaikan dengan format yang disyaratkan oleh masing-masing jurnal.
Kasus lain yang lebih abu-abu adalah mengulang-ulang sebagian argumen yang sudah pernah ditulis di karya ilmiah kita yang sudah pernah dipublikasikan sebelumnya. Di satu sisi, walaupun tidak separah mempublikasikan paper yang sama dua kali, tapi logika masalahnya bisa jadi sama dengan text recycling sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Tapi ,di sisi lain, kadang ini diperlukan. Misalnya, dalam satu proyek bisa saja menghasilkan banyak tulisan yang membahas berbagai sisi masalah yang sama dan bahkan berangkat dari sebagian landasan teori yang sama. Dalam hal ini, wajar sekali kalau ada overlap antara satu publikasi dengan yang lainnya. Saya pribadi ada beberapa paper yang seperti ini, yaitu ketika saya membahas de-westernisasi dan Islamisasi ilmu dalam konteks pendidikan hukum. Sebagai pengantar, tidak mungkin luput menjelaskan latar belakang masalah yang sama, dan dasar teori yang sebagiannya sama juga. Dalam masalah ini, harus dilihat case per case. Pendapat saya dalam masalah ini adalah bahwa selama overlap bukan pada pokok bahasan utama yang dibahas (baik secara penekanan maupun kuantitas), maka tidak masalah. Dengan kata lain, kesamaan adalah pada ‘batang-tubuh blueprint penelitian’, tetapi masing-masing karya ilmiah tersebut adalah tentang masing-masingnya cabang dari akar tadi.
Sebagai catatan, untuk lebih menghindari permasalahan etika, baiknya paper yang dipublikasi belakangan harus mengutip paper yang telah dipublikasi sebelumnya. Dan, lebih baik lagi kalau dalam metode atau latar belakang ada indikasi bahwa kesemua paper tersebut adalah memang berkesinambungan atau terkait (baik dinyatakan eksplisit maupun tidak).
=================
Sementara ini yang terfikir oleh saya baru segini saja. Barangkali para pembaca ada masukan atau pertanyaan terkait plagiarisme? InshaaAllah akan saya tambahkan di sini.
CATATAN KAKI
[1] Prof Alan E. Boyle memang berposisi seperti ini soal Soft Law, tapi detil kutipan dan nomor halaman ngasal, ini sekedar untuk ilustrasi saja.
[2] Keserupaan dengan kejadian nyata adalah dengan unsur kesengajaan.
[3] Keserupaan dengan kejadian nyata adalah juga dengan unsur kesengajaan.