Ketika Orang Awam Berhadapan Dengan Diskursus “Ulama vs Dalil”

Ketika geng yang dilabeli sebagai ‘Wahabi’ datang di antara masyarakat, beraneka keributan terjadi di masyarakat. Salah satunya adalah terkadang muncul perdebatan tentang amalan-amalan fikih yang sebelumnya tidak pernah diperdebatkan.

Salah satu contoh yang pernah saya saksikan adalah ketika seorang Ustadz B bermazhab Syafi’i menceritakan pengalamannya ‘berdebat’ dengan Ustadz A yang Wahabi. Singkat cerita, Ustadz A ditanya oleh Ustadz B hukum celana isbal (menjulur sampai ke bawah mata kaki).

Ustadz A menjawab bahwa isbal itu haram mutlak, karena ada hadits sahih yang mengatakan bahwa baju yang menjulur ke bawah mata kaki tempatnya di neraka. Ustadz B menimpali, katanya Imam Nawawi mengatakan bahwa yang haram adalah kalau menjulurnya akibat sombong, sedangkan kalau tidak sombong maka tidak haram. Ustadz A menyalak, “Ente ikut Imam Nawawi atau ikut Nabi, sih?”

Ustadz B sambil memasang ekspresi lucu dan tertawa menceritakan bahwa ia menjawab “walah, ngawur ente pertanyaannya” lalu meninggalkan Ustadz A. Jamaah pun tertawa juga mendengar jawaban ‘pamungkas’ dalam cerita tersebut. Kemudian Ustadz B melanjutkan ceramahnya, katanya aneh betul kenapa sih harus membenturkan ulama dengan Nabi.

Entah berapa kali saya mendengar atau menyaksikan langsung kisah seperti ini. Temanya beraneka ragam, yang soal isbal ini lebih dari dua atau tiga kali saya saksikan. Tema lain seperti dzikir jama’ah, qunut, dan lain sebagainya, juga muncul. Sering pula saya mendiskusikan tema ini dengan para thulab al-‘ilm atau para asatidz agar mendapat faedah dan lebih mantap dengan apa yang saya pilih dalam perdebatan-perdebatan tersebut.

Akan tetapi, ketika saya mendiskusikan hal ini dengan sesama orang awam, saya mendapatkan faedah yang agak berbeda dan semacam cerminan dari apa yang sesungguhnya saya rasakan saat menyaksikan perdebatan tersebut.

Di satu sisi, memang saya setuju bahwa ketika Ustadz A dengan ketus mengatakan “Ente ikut Imam Nawawi atau ikut Nabi, sih?”, memang nampak kurang beradab kepada para ‘ulama.

Tentu, dua kesimpulan yang bertolak belakang tidaklah mungkin keduanya sama-sama betul (saya belum bisa menerima pendapat yang mengatakan bahwa ijtihad berbeda bisa sama-sama betul). Hanya saja, dalam masalah khilafiyah muktabar ya saya fikir kita tetap harus menghargai ulama yang berpegang dengan pendapat yang marjuh (lebih lemah) menurut kesimpulan kita. Walaupun, technically, pendapat yang marjuh (menurut kita) ya maknanya tidak selaras dengan dalil. Di sinilah makna kelapangan hati dalam ijtihad yang diajarkan oleh guru-guru saya.

Masalahnya, perbedaan pendapat ini bukanlah sang ‘ulama ngarang fatwa berdasarkan nafsunya atau Tripitaka pada masalah yang sudah ada dalilnya. Justru, perbedaan muncul karena ada perbedaan metode ‘ulama dalam menarik hukum dari dalil (istinbath hukum) sehingga kesimpulannya bisa berbeda.

Makanya, saya sendiri mengikuti guru saya yang mengatakan bahwa hukum isbal bagi laki-laki adalah haram mutlak. Akan tetapi, saya tidak suka menghina mereka yang celananya isbal walaupun mereka sering menertawai saya sebagai “orang Kelapa Gading nih, kebanjiran makanya celananya gitu.” Makanya pula, kalau ada yang menghina saya “berjenggot kayak kambing”, saya tidak akan membalas “eh klimis kayak babi”.

Akan tetapi di sisi lain, saya kok agak sulit menerima pendekatan Ustadz B atau para Asatidz yang semisal dengan beliau. Saya pun tidak bisa sejalan dengan jamaah Ustadz B yang mayoritas ikut tertawa dan mengamini cerita sang Ustadz tersebut. Juga, mayoritas teman-teman awam yang saya tanyakan juga merasakan hal yang sama.

Apabila di hadapan kami ada sebuah kalam Nabi dan qaul ‘ulama yang nampaknya bagi kami bertentangan, sudah barangtentu kami akan bertanya kok bisa si ‘ulama berfatwa seperti itu. Karena, walaupun pertanyaan “pilih ulama atau Nabi” adalah pertanyaan yang kurang pantas, jawabannya terlalu jelas, kan?

Ketika pertanyaan kami cuma dijawab dengan “masa mau pertentangkan ‘ulama dengan dalil?” apalagi ditambah dengan ketawa, kok rasanya tidak menjawab permasalahan. Kadang para asatidz yang seperti ini langsung mengglorifikasi si ‘ulama (misalnya) “ini Imam Nawawi lho! SANG I-MAM NA-WA-WI! Mujtahid dan tonggaknya madzhab Syafi’i! Faqih dan ‘Alim!!”. Ini sangat tidak membantu.

Apalagi, terkadang itu ditambah dengan “Imam Syafi’i itu imam mujtahid besar! Diakui sepanjang massa! Telah hafal sekian juta hadits! Mana mungkin beliau tidak tahu bahwa hadits qunut itu dha’if semua? Pastilah beliau punya alasan kuat.” Ini lebih tidak membantu lagi. Sebab, apabila di atas meja sudah ada sederet bukti kekeliruan ḥujjah sang imam, lalu di sisi lain kami cuma dijawab “pasti beliau ada alasan” sedangkan alasan itu tidak diberikan kepada kami, ya wajarlah kami minimal akan mengerenyitkan dahi.

Mungkin si Ustadz telah faham betul kehebatan para Imam dan telah menyelami karya-karyanya dan begitu kagumnya, dan telah teryakinkan dengan ḥujjah-hujjah para Imam tersebut. Tapi di mata kami, rasanya belum kenal nama-nama itu. Atau, mungkin tahu sekilas saja tapi tidak cukup untuk menjawab pertanyaan asalnya: kenapa qaul si Imam bertentangan dengan dalil? Atau, kenapa si Imam berhujjah dengan dalil yang dha’if?

Nah, ada sebagian Asatidz menjawab pertanyaan kami dengan sangat ‘ilmiyah. Misalnya: (a) dalil itu banyak sehingga kalau dikumpulkan bisa menimbulkan kesimpulan berbeda dengan kalau masing-masing dalil dilihat secara bersendirian, (b) memang kadang ulama bisa keliru dalam berfatwa karena berbagai alasan yang tidak mengurangi status mereka sebagai ‘aalim, (c) metode istinbath yang berbeda, (d) penilaian hadits yang berbeda, dan lain sebagainya.

Ada ustadz yang mampu menjelaskan hal di atas dengan singkat padat dan jelas dan sesuai dengan level kami, terkadang ada pula yang menjelaskan panjang lebar dan kadang membingungkan. Atau, setidaknya, ada yang agak malas sehingga menjawab “adoh kamu belom nyampe kalo beginian. Belajar fiqih dan ushul fiqih dulu sana, nanti kamu baru bisa paham”. Tapi kami suka seperti ini karena jadi faham, atau masih roaming tapi setidaknya kami jadi memaklumi dan mengapresiasi bahwa masalahnya tidak sesederhana ‘ulama kok melawan dalil’.

Sebagian orang mungkin mengatakan bahwa kami ini mungkin memang generasi tukang ngeyel seperti Yahudi. Sebagian lain mengatakan bahwa mungkin generasi kami memang “lebih kritis”. Mudah-mudahan tidak terlalu berlebihan kalau kami mengatakan bahwa kami ingin benar-benar faham, makanya kalau tidak faham ya kami tanyalah sampai faham.

Atau, memang seharusnya kami tetap berada dalam ketidakpahaman?