Home » 2022 (Page 2)
Yearly Archives: 2022
Tips-tips mencari Jurnal ilmiah
Bagi mahasiswa (atau penuntut ilmu manapun), jurnal ilmiah menjadi salah satu bacaan wajib. Bahkan, di Fakultas Hukum UGM ada mata kuliah yang agak nyebelin yang mewajibkan mahasiswa untuk merujuk pada sejumlah artikel jurnal sebagai landasan jawaban ujian (haha ^_^). Masalahnya, di sebagian perguruan tinggi mahasiswa tidak diajari cara mencari dan menilai jurnal ilmiah. Di sebagian kasus bahkan dosennya sendiri pun jarang merujuk pada jurnal ilmiah. Akhirnya mahasiswa pun tidak biasa membaca jurnal ilmiah, bahkan tidak tahu cara mencarinya.
Maka, berikut beberapa pedoman umum dalam mencari jurnal ilmiah. Semoga bermanfaat, dan apabila ada pertanyaan atau koreksi atau masukan silahkan dimasukkan ke kolom komentar, inshaAllah akan saya update post ini untuk menginkorporasi pertanyaan, koreksi, atau masukan dari teman-teman.
==================
DAFTAR ISI
Apa Itu Jurnal Ilmiah?
Apa Manfaat Membaca Jurnal Ilmiah?
Judul Artikel vs Nama Jurnal vs Nama Penerbit?
Apakah semua jurnal ilmiah itu bagus? Kalau tidak, bagaimana memilahnya?
Dari Mana Mulai Mencari Artikel Jurnal?
Bagaimana Memilah Hasil Pencarian Jurnal Ilmiah?
Penting: Tahun Terbit Artikel Jurnal!
Artikel Jurnal Berbayar?
Cara Lanjut (Advanced) Untuk Mencari Artikel Jurnal?
Bagaimana melakukan sitasi kepada artikel jurnal?
=====================
Apa Itu Jurnal Ilmiah?
Gampangnya, Jurnal ilmiah adalah sebuah terbitan berkala yang memuat kumpulan artikel yang berbeda-beda tapi masuk dalam sebuah tema umum sesuai dengan kebijakan pengelola jurnal. Misalnya, Jurnal Mimbar Hukum FH UGM artikel bertemakan hukum (tidak spesifik), sedangkan European Journal of International Law bertemakan hukum internasional.
Sepatutnya, artikel-artikel yang diterbitkan di suatu jurnal ilmiah awalnya diusulkan oleh para penulisnya (bukan diundang oleh jurnalnya), kemudian tiap naskah melalui seleksi oleh minimum dua pakar di bidangnya secara buta (reviewer dan penulis tidak saling mengetahui identitas). Artikel yang diterima biasanya tetap akan harus menjalani revisi sesuai masukan para reviewer sebelum kemudian diterbitkan.
.
Apa Manfaat Membaca Jurnal Ilmiah?
Beda dengan buku teks, jurnal ilmiah biasanya membahas secara argumentative isu-isu yang sub-spesifik dalam ranah keilmuan tertentu (atau lebih dari satu ranah ilmu secara interdisipliner). Tujuan artikel jurnal ilmiah adalah memecahkan masalah atau merespon perdebatan tertentu dengan berbasis riset ilmiah, beda dengan buku teks yang fungsinya adalah untuk mengajarkan ilmu tertentu.
Jadi, teori-teori dan perdebatan-perdebatan yang ada di dalam buku-buku teks akan dielaborasi, diterapkan, dan dikembangkan lebih lanjut dalam artikel-artikel jurnal. Umumnya, dinamika perdebatan ahli-ahli di seluruh penjuru negara (atau bahkan dunia, untuk hal-hal yang bersifat internasional) ya terjadinya melalui artikel jurnal.
PS: terdapat juga buku-buku monograf yang berperan serupa dengan jurnal ilmiah tapi lebih mendalam lagi sehingga terbit dalam bentuk buku yang lebih tebal.
.
Judul Artikel vs Nama Jurnal vs Nama Penerbit?
Ini kadang membingungkan, di antaranya adalah ketika melihat prinsip 1 dan 2 di jawaban pertanyaan sebelumnya.
Sebagai contoh, yuk misalnya, coba lihat artikel ini yang ceritanya mau kita baca.
JUDUL ARTIKEL adalah judul dari artikel yang mau kita baca. Pada contoh di atas, judul artikelnya adalah “Menafsirkan Pancasila: Wewenang Pemerintah Atau Peran Warga Negara? Suatu Telaah Dari Perspektif Hermeneutika Kritis Habermasian.”
NAMA JURNAL adalah nama dari jurnal ilmiah (i.e. terbitan berkala) yang memuat artikel tadi. Pada contoh di atas, nama jurnalnya adalah “Mimbar Hukum” (atau bisa juga Jurnal Mimbar Hukum_.
NAMA PENERBIT adalah Lembaga yang menaungi dan membawahi pengelolaan jurnal tersebut. Misalnya pada contoh di atass, penerbitnya adalah Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada.
.
Apakah semua jurnal ilmiah itu bagus? Kalau tidak, bagaimana memilahnya?
Secara sistem, jurnal ilmiah memiliki proses seleksi yang biasanya sangat ketat dan hanya memikirkan kedalaman dan dinamika keilmiahan (beda dengan banyak buku yang diseleksi oleh redaksi juga harus mempertimbangkan marketing juga). Akan tetapi, dalam prakteknya banyak juga jurnal ilmiah yang proses seleksinya tidak berjalan dengan baik. Terkadang pengelolaannya saja yang buruk karena kurangnya pengalaman para pengelolanya, tapi ada pula jurnal abal-abal yang cuma mencari uang dan tidak memikirkan kualitas (disebut jurnal predatory).
Cara menentukan mana jurnal yang bagus atau tidak, itu nanti perlu pengalaman untuk menilainya (agak panjang menjelaskannya). Sederhananya, untuk pemula, ada beberapa prinsip yang mudah sebagai pegangan awal:
- Jika suatu jurnal penerbitnya adalah universitas, Lembaga milik negara, pusat studi yang memiliki track-record riset yang jelas, dan penerbit swasta yang jelas reputasinya, maka insyaAllah kemungkinan abal-abalnya (i.e. predatory) adalah lebih kecil.
- Periksakan penerbitnya ke salah satu situs yang memberikan daftar penerbit-penerbit predatory yaitu https://beallslist.net/ .
- Sering berkonsultasilah kepada dosen atau senior kamu yang kamu ketahui rajin riset dan/atau baca.
- Kamu sendiri harus terus banyak membaca dan memperbanyak khazanah ilmu, insyaAllah makin lama mulai bisa mendeteksi sendiri.
.
Dari Mana Mulai Mencari Artikel Jurnal?
Nah ini mulai yang penting. Sebenarnya setiap jurnal ilmiah biasanya memiliki website di mana kita bisa mengakses artikel-artikel yang mereka terbitkan (ada yang gratis, ada pula yang berbayar). Kalau kamu pengen baca-baca saja tanpa tujuan yang khusus, silahkan cari saja di google nama jurnal yang ingin kamu cari lalu baca-baca saja di sana.
Tapi kalau kamu ada tujuan khusus, misalnya lagi riset tentang perkembangan mahkamah pidana internasional, atau sedang menjawab ujian mata kuliah hukum internasional (^_^), cara tersebut bukan cara yang baik untuk mencari literatur yang kamu butuhkan.
Cara yang terbaik adalah memulai dari google scholar, mirip google tapi dia hanya menampilkan literatur ilmiah. Dengan memasukkan kata kunci yang kamu butuhkan (ini ada skill sendiri untuk memilih kata kunci), dia akan memberikan semua literatur ilmiah termasuk artikel jurnal yang relevan dengan kata-kata kunci tersebut dari berbagai jurnal di segala penjuru dunia!
Bisa jadi hasil pencariannya ratusan, ribuan, atau bahkan sampai ratusan ribu! Nah, insyaAllah tidak kekurangan literatur. Seringkali malah kelebihan. Bagaimana memilahnya? Silahkan baca tips-tips selanjutnya.
Satu tips tambahan: coba ulangi pencarian dengan kata kunci yang sama tapi dalam Bahasa lain (misalnya coba cari “international law” di satu kesempatan, lalu coba “hukum internasional” di kesempatan lain) untuk memperkaya hasil pencarian.
.
Bagaimana Memilah Hasil Pencarian Jurnal Ilmiah?
Ketika hasil pencarian di google scholar buanyak sekali, pening juga kalau harus dibaca semua. Sebab, ya bisa ratusan ribu atau bahkan jutaan hasilnya. Beberapa tips untuk menyaring:
- Gunakan kata kunci yang sebaik mungkin, dari segi jumlah kata dan kespesifikan (ini pengalaman yang bermain sih).
- Coba lihat judul-judulnya, akan kelihatan mana yang nampak lebih nyambung denga napa yang kamu inginkan.
- Bisa kamu klik dan buka artikelnya, lihat abstract-nya dulu apakah kira-kira memang cocok.
- Coba lihat nama-nama penulisnya (lihat gambar, muncul juga kok di hasil pencarian), siapa tahu ada nama-nama yang kamu kenali sebagai pakar rujuk dalam bidang yang kamu sedang cari. Mungkin lebih menarik untuk dicek?
- Cek tahunnya. Ini perlu tips terpisah, silahkan lihat yang selanjutnya.
- Coba lihat sitasinya (lihat gambar di atas, muncul juga kok di hasil pencarian). Tiap ada yang mensitasi sebuah artikel, akan kelihatan di situ. Kadang (tidak selalu) suatu artikel yang banyak disitasi orang lain menunjukkan pentingnya sebuah artikel dalam suatu diskursus. Ini tidak pasti, tapi bisa jadi salah satu pertimbangan.
.
Penting: Tahun Terbit Artikel Jurnal!
Penting sekali untuk memastikan tahun terbit sebuah artikel jurnal. Pasalnya, di atas sudah dijelaskan bahwa artikel jurnal ini adalah bersifat dinamis. Jadi, terkadang (seringkali) sebuah artikel yang sudah tua akan tidak terlalu relevan sekarang. Bagaimana mengukur ‘terlalu tua’?
Banyak jurnal bidang sains dan teknologi yang mematok waktu, misalnya tidak boleh lebih tua dari 5 tahun. Sebab, menurut mereka, besar kemungkinan ada perkembangan dalam teknologi yang membuat apapun yang terbit lebih dari 5 tahun lalu sudah tidak relevan. Tapi apakah mematok 5 tahun (atau ukuran waktu tertentu) adalah cara yang tepat?
Hemat saya dari perspektif ilmu sosial-humaniora, tidak bisa dipatok dengan waktu tertentu. Lebih kompleks lagi masalahnya, sebab seringkali ada argumentasi-argumentasi atau tokoh lama yang masih dibahas dan dikembangkan hingga sekarang. Contohnya di bidang saya, pencarian “Ibnu Taimiyyah” ditambah “Ibn Taymiyyah” totalnya telah ada 794 hasil pencarian di tahun 2022 saja (saya menulis ini hampir pertengahan Juni 2022). Padahal beliau wafat tahun 1328 Masehi.
Lantas bagaimana mengukur waktu? Ada beberapa acuan (perspektif sosio-humaniora):
- Penting untuk mengetahui insiden-insiden tertentu yang sangat mempengaruhi diskursus. Misalnya, diskursus sebelum dan setelah insiden terorisme di WTC 9/11 (tahun 2001) akan berbeda sekali, dan kemudian akan lebih berubah lagi setelah tahun 2013 ketika mulai bangkit kelompok ISIS yang berpusat di Suriah dan Iraq yang mengubah banyak hal terkait kajian terorisme.
- Khusus pembelajar dan pengkaji hukum, perlu dilihat kapan terbit atau batalnya regulasi-regulasi kunci terkait isu yang anda kaji. Misalnya, kalau anda meneliti tentang hukum ketenagakerjaan maka banyak sekali artikel jurnal terbitan tahun 2020 ke belakang sudah tidak akan relevan lagi dengan terbitnya UU Cipta Kerja.
- Yang disebut di atas tidaklah mutlak. Ada juga bahasan terrorisme pra-2001 yang mungkin masih relevan hingga sekarang, misalnya jika mau mengkaji sejarah pemikir-pemikir Al-Qaeda. Juga, UU Cipta Kerja tidak literally merubah 100% hukum ketenagakerjaan. Jadi tidak bisa menjadi indikator yang sangat mutlak dalam semua keadaan. Tetap perlu dicek kasus perkasus.
Dengan demikian, sangat penting untuk men-setting google scholar untuk menyaring berdasarkan tahun terbit. Ada dua cara:
CARA PERTAMA:
Step 1: Lakukan pencarian seperti biasa.
Step 2: Setelah keluar hasil pencarian, atur settingan tahun di sebelah kiri (lihat gambar di bawah). Pilih yang sesuai.
Maka hasil akan keluar lagi yang sudah tersaring. By the way, saya lebih suka cara yang ini.

CARA KEDUA
Step 1: klik symbol tiga garis horizontal di paling pojok kiri atas (samping logo google) untuk membuka menu.
Step 2: Klik “Advanced Search” sampai muncul menu sesuai screenshot di bawah.
Step 3: silahkan mengisi semua informasi yang ingin dicari, termasuk misalnya kata kunci, dan/atau nama penulis (ini bisa dikosongkan), dan tahun terbit.
Maka hasil yang keluar adalah sudah tersaring berdasarkan informasi yang dimasukkan sekaligus tahun terbit. Saya lebih suka cara yang PERTAMA, tapi yang ini pun oke.

Artikel Jurnal Berbayar?
Terkadang hasil pencarian membawa kita pada artikel jurnal yang dari judul dan abstraknya nampaknya mantap sekali, eh tapi ternyata tidak bisa diakses kecuali sudah berlangganan atau bayar. Bagaimana cara untuk mendapatkan artikel tersebut? Ada beberapa cara yang bisa ditempuh.
- Bayar.
- Kalau kamu berstatus mahasiswa, bisa jadi perpustakaan kampusmu sudah berlangganan jurnal tersebut. Coba lihat website perpustakaan kampusmu (atau minta bantuan staf perpustakaan), siapa tahu bisa.
- Bisa meminta bantuan teman-teman yang mahasiswa atau dosen, terutama yang sedang studi di kampus luar negeri (biasanya kampus-kampus top lebih kuat bayar langganan jurnal yang lebih banyak). Ini sudah biasa kita saling membantu soal ini, kadang ada forum forumnya juga.
- Hubungi penulisnya langsung. Setidaknya nama dan institusi penulis pasti ada di halaman ‘feature’nya, kadang ada alamat emailnya tertera (kalaupun tidak, bisa coba digugel). Percayakah kamu bahwa jurnal-jurnal yang bayar atau langganannya mahal-mahal itu, tidak sepeserpun dinikmati oleh penulis? Sedangkan penulis suka kalau kamu baca artikelnya, bukan hanya karena idealis tapi mereka seringkali mendapatkan poin dari tempat kerjanya (dan juga prestis) semakin banyak orang yang mengutip karya mereka. Pengalaman saya meminta pada penulis, tidak satupun yang pernah menolak saya. Sebagian malah jadi ngobrol dan diskusi (nambah koneksi deh), bahkan ada yang ngasih bonus buku!
- Rasanya kurang etis tuk menyampaikan bahwa banyak (tidak semua) artikel jurnal yang terbit online akan menampilkan kode DOI-nya (lihat SS di bawah), yang walaupun harusnya berbayar tapi kalau kode DOI tersebut dimasukkan ke https://sci-hub.se/ (kadang sering berubah extensionnya) jadi tetap bisa didownload. Jadi cara ini sebaiknya jangan dilakukan.
.
Cara Lanjut (Advanced) Untuk Mencari Artikel Jurnal?
Di samping menjelajahi google scholar, ada cara lain yang harus digunakan. Semakin kamu sering membaca, kamu akan menemukan judul-judul artikel dan literatur lain yang dikutip dalam literatur yang kamu baca. Sehingga kamu bisa mencari judul-judul artikel jurnal yang spesifik (bukan Cuma berbasis kata kunci). Semakin banyak bacaan kamu, semakin banyak pula akan melihat rujukan ke judul-judul artikel jurnal yang lain lagi.
.
Bagaimana melakukan sitasi kepada artikel jurnal?
Saya bukan mau membahas tentang kutipan langsung vs kutipan tidak langsung atau semisalnya. Yang mau saya bahas adalah informasi apa yang harus kamu berikan di catatan kaki dan/atau daftar Pustaka. Ingat, tujuan dari pemberian catatan kaki atau daftar Pustaka bukan cuma untuk menghindari plagiarisme tapi juga supaya para pembaca tahu kalau mau membaca lebih lanjut tentang informasi yang kamu kutip itu harus cari di mana.
Kalau kamu baca artikel yang penulisnya jelas memberikan rujukannya, kamu juga yang enak kan? Do that for your readers too 😊
Maka, penting untuk memberikan informasi yang detil tentang literatur yang kalian rujuk. Ada dua isu di sini:
ISU PERTAMA: teknik/style sitasi. Ada yang jenisnya footnote (sub-jenisnya ada Chicago, OSCOLA, dll), ada yang jenisnya body/inside note (sub-jenisnya ada APA dll), ada yang jenisnya endnote dan lain sebagainya. Untuk yang satu ini, kalian nurut aja lah sama pedoman penulisan kalian. Bukan ini yang mau saya bahas.
ISU KEDUA: informasi apa yang perlu kalian masukkan ke catatan kaki dan/atau daftar Pustaka? Setiap jenis literatur akan berbeda (buku, antologi, website, dan lain-lain). Kalau untuk artikel jurnal, ini yang penting dicatat:
- Nama penulis
- Judul artikel
- Nama jurnal
- Edisi terbitan (Volume /Jilid. Jika sebuah jurnal menerbitkan lebih dari satu edisi per tahun, akan ada Number/Issue di samping Volume tersebut.)
- Tahun terbit
Cara menulisnya gimana? Nah sesuai ISU PERTAMA di atas ya 😊
.
Monggo kalau ada masukan, pertanyaan, koreksi 😊
Tips-tips lain untuk penulisan ilmiah, silahkan cek artikel ini,
My First Debating Competition: Founders Trophy 2002
A few years ago, I have retold the story of my (hilarious) last debate competition, literally the last match of it, i.e. the Grand Final, in this post (in Bahasa Indonesia). So, I thought I should also share about my very first competition, which was hilarious in its own right lol
It was back in 2002 and the competition’s name was EDS UI “Founders Trophy”. It is essential to know some important facts about this competition before getting into the story. This competition was a battle royale, where there are no requirements of what kind of institutions may apply. Meaning, you could be a highschool or university team, composite teams from multiple institutions, or even government workers too. You will be pitched against each other in the competition, no distinction, and no mercy.
Here I must mention that this was during my freshman year as a high school student. AND, remember, this was my very first competition. I teamed up with Kak Yasmin Prihatini, who was in her second year. She was the ‘star’ in our school’s debating club, but still a highschool student. So, I hope you guys would understand how intimidating it was for me to even think of entering such a competition.
However, this first round became a very big defining moment and a start of my 14 years involvement in the Indonesian debating community.
.
The Chamber Set Up
The first round draw was extraordinarily intimidating for me. It was a British Parliamentary competition, so four teams in one chamber (for a short explanation of what the British Parliamentary Debate is like, click here)
My team was Opening Government, and the rest was hell. Opening Opposition was SMAN 34, who was the king of Jakarta’s debating competitions (i.e. the most competitive province at the time, probably until today). It was always them and SMA Canisius College who dominated competitions at the time (until a least a few years after 2002), and SMA 34 usually wins over Canisius. It was Intan Hadijah (she was also doing her first competition) together with Richard “Riki” Anggoro (a legendary senior of SMA 34), both of them ended up entering Fakultas Hukum UI and debated in the EDS of UI as well. And this was the weakest among the rest.
Closing Government was EDS UI, one of them was Astrid Fina and the other girl I forgot who it was. Finally, Closing Opposition, was Universitas Parahiyangan. I don’t think they were among the very best of university debates in Indonesia at the time, that was mostly UI and STAN (so much that there was actually an article in the Indonesian debating mailing list about why is it always UI and STAN winning). UNPAR was still among the top tier, but that was not the worst part. The team consisted of a girl named Poppy and, to my horror, Franz Bona.
FRANZ BONA WAS MY COACH!
So, there you have it. My first round just had to be against the monster of high school debates, the champion of university debates, and my own coach. As if there I needed more reason to be intimidated.
.
The Best Definition
For many years, the EDS UI Founders Trophy had a custom. For the motion (i.e. debate topic) launch, the announcer would first announce a book prize that will be given to the best speaker of that round. The book will be related to the motion. That fateful day, that fateful round, it was Ahmad “Bubu” Sukarsono (one of the founders of EDS UI) who took the stage. The book announced was “Fast Food Nation: The Dark Side of the All-American Meal” by Eric Schlosser. After announcing the book, they would explain a bit about the motion before telling us what it actually is. I don’t remember exactly what Bubu explained, but it was definitely about fast food chains, franchise, unhealthy lifestyle, obesity, something along those lines.
Then Bubu announced the motion that I will never forget my whole life:
This House Would Halt Ronald McDonald’s March
Most competitions at the time gave 30 minutes for case building (i.e. to discuss internally between the teammates), but this competition only gave 15 minutes. All teams (perhaps around 30-40 teams) are divided into chambers of four teams where they will have their matches at the same time. This 15 minutes includes walking to the respective chambers.
My team was Opening Government, but I was not the first speaker (i.e. “the Prime Minister”) who’s job includes to define the motion from which the debate will be based on. Nonetheless, Kak Yasmin was a very sweet old friend of mine whom I have known since elementary school. She was senior, but she encouraged me to start our brainstorming.
It was fate that my very first contribution to the Indonesian debating community was a definition. A very special one.
I said that “Ronald McDonald” was such an American thing, as in, a symbol of its economic grip around the globe and also the symbol of the American lifestyle. Meaning, Ronald McDonald is basically the symbol of the United States of America (or at least that’s what I thought at the time as a high school freshman). The term “march” definitely does not refer to the month, but it is typically a type of walking that was not always but most commonly associated with soldiers.
So, “Ronald McDonald’s March”, according to me, should be understood as “American Soldiers“
This competition took place around the end of 2002, which was the hottest moments during the build up to the Iraq invasion (which was all over the news around the time of the competition).
It was Kak Yasmin who delivered the definition, as she was first speaker. My definition idea was definitely a twisted one, but she really liked it and used it. Can you imagine the reaction of everyone else when they heard our definition, basically changing the debate from what was assumed to be a fastfood related one into a US-Iraq war debate?
Everyone’s mouth dropped in shock and horror. Except Franz Bona. He was laughing. He later admitted that the reason he laughed was because “untung gw paling terakhir” (he was the last speaker of the Closing Opposition, i.e. “Opposition Whip).
.
The Defining Moment Ahead
Nobody will believe me if I say this: I was not someone confident speaking in front of public. So imagine how I felt when I was walking towards what felt like my doom.
Up to the start of that match, it appeared to be building up to be a very traumatic first debate for me. Such a terrifying type of competition open for very strong veterans of all levels compared to me doing my very first competition as a high school freshman, and such a very terrible draw for my first match. While waiting for the motion launch, I felt so pressured and thought that this is so going to be my first and last debating competition.
However, I will never forget Kak Yasmin’s encouragement to ask my opinion and actually use my crazy idea. That really boosted my morale. I think I performed OK for a first time, but nothing extraordinarily special. The ‘icing on top of the cake’ was that my team actually was on the ‘winning’ side. Out of the four teams, we ranked SECOND. Ranking first was Team UI, fourth was SMA 34, but most importantly UNPAR ranked third. I somehow beat my own coach!
My spirit was very high after that round, so that I did not take it too hard when my team was killed when we faced even stronger teams in the second round, but we took it well and marched on the third round. Our team had its ups and downs until we completed all five preliminary rounds.
At the end of the day my team was the highest ranking highschool team and the only highschool team managing to break to the Quarter Final Round. We were immediately destroyed in that round and eliminated, but it was a very fun debate. I do not remember the motion, but I do remember that I tried to stand up to give a Point of Information (i.e. interruption) but the chair looked like this:
What would happen if you stand up without first getting out of the chair? Yep, the chair will be stuck on you and rise together with you. Everyone laughed and the current speaker (I think it was someone from Team STAN) actually forgot his train of thought. So it was on that note that I ended my very first competition.
.
Remembering Where I Started
What seemed to be brewing into a very traumatic disaster turned into a very amazing and heart-lifting experience. I attended many debating competitions after that. I did not stop at participating as debater, rather my later debating career (in university) was dominated by judging and coaching various schools and universities, then the Yogyakarta Provincial Team and eventually the Indonesian national team. It brought me to places, and many non-debate related experiences and qualifications that would not have been possible had I not gone through this.
It was in 2013 that I participated (and won, alhamdulillah) my last competition as I retold in the post I linked to at the start. Then it was in 2016 that I finally left my position as Jogja Debating Forum’s Head of Advisory Council. I drafted the text of my resignation while, in the same text, appointing the new JDF’s Head of Advisory Council, i.e. Sekartiyasa Kusumastuti.
But this was not a merely a resignation from an organization structural position. My mind was set that, with this resignation, I am putting my 14 years debating career behind. So, while drafting said text, it was very emotional as my memories of my debating life flashed through my mind. I had spent much of (and even defined!) my life around debating that it felt very surreal that I was finally moving on.
Those memory flashes brought me back to EDS UI Founders Trophy 2002. I am writing this twenty years later in 2022, and I am never forgetting how much that competition meant to me and defined my life today.
The Potential Role of Computational Linguistics by Author Discrimination in the Development of ‘Ulum Al-Hadith

The Potential Role of Computational Linguistics by Author Discrimination in the Development of ‘Ulum Al-Hadith
By: Fajri M. Muhammadin
.
In 2012, an article titled “Author discrimination between the Holy Quran and Prophet’s statements” written by Prof Halim Sayoud was published in Literary and Linguistic Computing Vol. 27(4) year 2012. This amazing article performed author discrimination by stylometric analysis towards the language of the Qur’an and authentic ahadith.
The results show that there is a big difference between the language style of the Qur’an and authentic ahadith, proving that each have distinct authors. This adds up to the already numerous scientific evidences that Prophet Muhammad ﷺ did not author the Qur’an.
PS: Prof Halim Sayoud has updated that research into a much grander one, which he published on his website.
However, research is but a relay. A researcher can only run as far as he/she can until eventually passing on the baton to the next researcher who will continue the race. This is what researchers have always done throughout generations.
Six years later, 2018, I sent an email to Prof Halim Sayoud. He is a Professor of Electronics and Informatics at the University Of Science And Technology Houari Boumediene, Algeria. I asked him (although what I really meant was “do you think you can do this research? I will want to read it after you do.” Hehe), is it possible to do a similar research but to compare the Qur’an and authentic hadith qudsi? The hadith qudsi contains kalam attributed to Allah.
Alhamdulillah, he replied to my email two days later. He said that such research appears to be impossible. He said that stylometric researches would require very large data sets (thousands), while there are only a very little available hadith qudsi (authentic ones are even less). I was surely disappointed, but what can I do. Nonetheless, I was very happy he took the time to respond to my email.
Four years later in 2022, exactly 14 May. It was amidst the screams of my very tired son who was unable to sleep (we are weaning him) that an epiphany came. One that had nothing to do with the many researches and other duties that I was supposed to be thinking about at the time.
What if we use stylometric research to compare authentic ahadith and fabricated ones? If anyone fabricated a hadith, surely the language style would differ greatly with that of Prophet Muhammad ﷺ. After all, the ‘ulama of hadith say that, among the characteristics of fabricated hadith, was the use of imperfect Arabic language in the matn.
The stumbling block of the previous research idea with hadith qudsi does not exist here. Unfortunately, there are so many fabricated hadith out there. There are even special books dedicated to collect fabricated hadith, such as Kitab Al-Mawdu’at Al-Kubra by Imam Ibn al-Jawzi. There will be an abundance of samples for the dataset.
Successful research would provide clear and scientifically sound indicators that there would be very different styles of language between authentic and fabricated ahadith. In such a case, there maybe some prospects to further develop and utilize this research, inter alia:
- It may add to the science of matan critic, which might later be further developed to examine da’if (but not fabricated) hadith,
- One may also compare the ahadith between those considered sahih by ahlus sunnah and shi‘a.
- Etc
It must be noted that even successful research results will not justify its use as sole determiner of hadith status. No researches like this will ever have a 100% confidence rate, while methodological choices could definitely reduce but never eliminate error factors.
After all, even the established methodologies applied by the muhaddithin throughout the ages would hardly achieve a 100% certainty rate, except for the text of the Qur’an and mutawatir hadith (which are not very numerous). What they can do is to further reduce the error factors by analyzing as many aspects and angles as possible while continuously improving the methodology used. Perhaps computational linguistics could contribute to this effort.
Nonetheless, as far as I can think of, there are a few possible problems:
First, the ‘ulama have differed on many occasions regarding the status of a hadith. Regarding authentic hadith, Prof Halim Sayoud used samples form Kitab Sahih Al-Jami‘ or famously known as Sahih Al-Bukhari. There is little to no controversy regarding the authenticity of its content. However, more problems will show regarding the fabricated hadith. There ‘ulama sometimes differ on whether a narration is fabricated or ‘only’ very weak, for example. Even Ibn al-Jawzi’s kitab Al-Mawdu’at al-Kubra is not free from critic. These different rulings regarding hadith status would have different consequences. Hence, such a research would need to be careful in setting the parameter to identify fabricated hadith for its dataset.
Second, some narrations are ruled as fabricated not because of matan fabrication. It is possible that a fabricator actually did on occasions narrate authentic hadith, but all of his reports are rejected because he has made fabrications on other occasions. Another possibility, the matan is not fabricated but the sanad is. Perhaps things like this are why we need very large datasets as sample.
Third, the fabricated ahadith do not come from a single author. There are so many hadith fabricators. In Prof Halim Sayoud’s previous research, he compared two datasets which each has one author. In this research I am thinking about, the Sahih ahadith surely has one author i.e. Prophet Muhammad ﷺ. Meanwhile, the dataset of fabricated ahadith would have many authors. It would be wrong to analyze samples from numerous authors, conclude a style characteristic, and treat it as if it is one author. Meanwhile, each of those hadith fabricators will have different styles from each other. Is there any way to work around this problem?
Before writing this, I have just sent an email to Prof Halim Sayoud to ask what he thinks of this idea. I will update this post when (if) he replies, insha’Allah. UPDATE: He Has Replied to My Email. So below is what he said, and afterwards I will share my thoughts:
————————————————-
Assalam Alaikom Fajri
Sorry for the delay…
Firstly, Thank you for the proposal, it’s very interesting indeed.
Everything one can do for the guidance of humanity is good.
As you know, previous stylometric analysis of the holy Quran and Hadith showed that the two books come from two Authors, and then the Quran cannot be an invention of the Prophet PBUH. As a scientific discovery, this may confirm the authenticity of the holy book somehow.
Now, concerning your proposed idea, I think it could be applied in specific conditions.
So, if you try to use stylometry to check the authenticity of a Hadith, it should be very difficult – Let’s take an example, suppose one want to analyze the following Hadith “صوموا تصحُّوا”, which is composed of only 2 words. In this case this 2-words Hadith doesn’t have enough information to compare to the reference database of the authentic Hadith. In fact, a fair stylometric analysis require about 2500 words.
On the other hand if you try to check the authenticity of a consistent dataset of Hadiths, it should be possible. That is, if you have, for instance, 100 Hadiths that you merge together to produce a big text of about say 1000 words, there is a fair possibility to check whether the investigated dataset is genuine or false.
In that context, I tried to conduct such a test with datasets of about 1030 words per document. Results were interesting, since the fabricated documents were automatically identified as false (i.e. not belonging to the Hadith Author).
That is, I hope you appreciated this discussion and I wish you much success in your professional life…
Best regards
Halim
—————————————————————————
Before anything else, I am very thankful that he did not only answer my question hypothetically but also took the time to run some tests.
The highlight is that the stylometry test can only be done with relatively big datasets, i.e. around 2500 words (Im sure more words would produce stronger results). As he indicated in the email, merging multiple hadith to meet that necessary amount of words is possible.
I have asked him what will happen if the dataset contains a mix of authentic and fabricated ahadith (50:50) to be compared with a second dataset of 100% authentic ahadith. His response is as follows:

———————-
Dear Fajri
In this case you will have some features similar to the reference Hadith and some different, obviously.
Sincerely, I don’t know really what could be the result, but it will probably lead to a borderline decision: not authentic and not too different.
For instance, suppose that a book is written by 2 authors X and Z and is segmented into several segments.
As you can see in the following drawing, if a text segment contains both text from X and Z, then it may be classified as a group Y, which is between them:
XX X XXX XX Y ZZ ZZZ ZZZ
That is, the document Y is classified quite far from X and from Z too.
Such conditions are misleading, but could bring some information.
Hope I responded to your question…
Halim
—————————–
This is interesting, so it is possible that the results of these tests are not merely black and white YES vs NO but may also show gray areas where there are some similarities. But this should be one among many things considered by the researcher, especially because some hadith forgers (as explained earlier) take authentic ahadith and make up an isnad. Or, a book may contain a mix of multiple ahadith with various grades of authenticity (or lack thereof).
So what seems to be the most apparent potential use of this method? Considering (a) the need for big datasets and (b) the third problem above concerning multiple fabricated narrators.
Perhaps I can think of at least three, to further clarify the previous 2 possible benefits I have already mentioned earlier (I am not deleting the previous list, because they are still relevant):
- Investigating Hadith Compilations and/or Their Gradings: it is true that many hadith compilations (e.g. Sunan Tirmidhi and Sunan Abi Dawud) were not intended to be a full authentic compilation. However, scholars have tried making takhrij towards these ahadith in the sunans or others compilations and did their gradings (e.g. Shaykh Nassirudin Al-Albani). It is possible to try extract all ahadiths from the sunans authenticated by Shaykh Al-Albani (or Shaykh Shu’ayb al-Arnawt whoever) and compare them with Sahih Al-Bukhari with stylometry test to see what it looks like. We can do the same with Shi’ah books of ahadith, such as Al-Kulani’s Al-Kafi (of course it will require sorting out only narrations attributed to Prophet Muhammad ﷺ and excluding those attributed to the alleged Infailable Imams).
- Investigating Certain Hadith Narrators: It might be fruitful to begin by assessing narrations narrated by known fabricators, one fabricator at a time. One must choose individual fabricators that have narrated many (fabricated) narrations, such as Jabir ibn Yazid Al-Ju’fi and Abu al-Mufaddal al-Shaybani, both Rafidis who have fabricated so many narrations (thanks to Ustaz Tommi Marsetio and Ustaz Abdullah Al-Rabbat for telling me this). Then a stylometry test is done to compare Jabir’s fabrications with authentic ahadith. If the results are successful, maybe we can use this method to assess ambiguous (da’if) narrators as additional consideration for purpose of jarh wa ta’dil. The limitation to this approach is that it can only test narrators with many narrations.
- Investigating Sahabah Accuracy: we can compare authentic ahadith narrated from one sahabah, with other statements authentically attributed to that sahabah. This is to assist in examining the extent to which paraphrasing might have been done by the sahabah in narrating ahadith. Bearing in mind, of course, that there are some ahadith reported by multiple sahabah in the exact same wording (but there are also some ahadith reported by different sahabah but with some differences in wording.
================
Unfortunately, I am unable to do this research myself as it is not my field. Insha’Allah I am doing many researches in my own field that intersects with the Islamic sciences, but not this one. I pray that Prof Halim would be inspired to make this research, or at least give constructive feedback to this idea.
I really hope that other Muslim experts on computational linguistics and hadith experts would take this idea and execute it.
.
Potensi Peran Computational Linguistics berupa “Author Discrimination” dalam Pengembangan Kajian Ilmu Hadits

Potensi Peran Computational Linguistics berupa “Author Discrimination” dalam Pengembangan Kajian Ilmu Hadits
Oleh: Fajri M. Muhammadin
.
Pada tahun 2012, sebuah artikel jurnal berjudul “Author discrimination between the Holy Quran and Prophet’s statements” yang ditulis oleh Prof Halim Sayoud diterbitkan di Jurnal Literary and Linguistic Computing Vol. 27(4) tahun 2012. Artikel luar biasa ini melakukan kajian stylometik terhadap gaya Bahasa dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih, lalu membandingkan di antara keduanya (author discrimination).
Hasilnya adalah bahwa gaya Bahasa dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih ternyata sangat jauh berbeda, sehingga membuktikan bahwa keduanya tidak diucapkan oleh penutur yang sama. Hal ini menjadi tambahan bukti saintifik bahwa Nabi Muhammad ﷺ tidak mengarang Al-Qur’an, di samping banyak bukti lain yang telah dimiliki oleh umat Islam.
PS: Prof Halim Sayoud sudah meng-update penelitian beliau jadi lebih besar yang beliau publikasikan di website beliau.
Tapi, yang namanya penelitian itu seperti estafet. Seorang peneliti hanyalah membawa lari sebuah baton sekadar sejauh yang ia mampu, dan di ujungnya ia akan mengoper pada seorang peneliti lainnya untuk melanjutkan lari tersebut. Demikianlah hakikat penelitian dari generasi ke generasi lainnya.
Enam tahun kemudian yaitu tahun 2018, saya mencoba mengirimkan email kepada Prof Halim Sayoud yang merupakan pakar Elektronika dan Informatika dari University Of Science And Technology Houari Boumediene, Aljazair. Saya bertanya pada beliau (modus saya ‘nanya’, maksud hati ‘gimana kalo anda meneliti lagi nanti saya baca lagi’ hehe), apakah mungkin melakukan kajian serupa untuk membandingkan antara Al-Qur’an dan Hadits Qudsi yang sahih? Karena Hadits Qudsi berisi kalam yang secara periwayatan dinisbatkan kepada Allah.
Alhamdulillah, selang dua hari beliau membalas email saya. Kata beliau penelitian tersebut nampaknya mustahil, sebab kajian stylometri memerlukan sampel data yang sangat besar (katanya memerlukan ribuan kata). Padahal, Hadits Qudsi (apalagi yang sahih) sangat sedikit sekali. Agak kecewa, tapi ya mau bagaimana. Setidaknya saya senang sekali beliau sudah sudi menjawab email saya.
Empat tahun kemudian, tahun 2022, tepatnya tanggal 14 Mei. Di tengah jeritan anak yang ngantuk tapi belum berhasil tidur karena sedang berusaha disapih, datanglah sebuah ilham yang tidak ada hubungannya dengan banyak penelitian dan amanah lain yang seharusnya saya pikirkan.
Bagaimana kalau dilakukan kajian perbandingan stylometri antara hadits-hadits shahih dan dan palsu? Sebab, jika ada orang yang memalsukan hadits, pastilah gaya berbahasanya akan berbeda dengan Nabi Muhammad ﷺ. Makanya di antara ciri hadits palsu menurut para ‘ulama adalah matannya berbahasa Arab yang tidak sempurna.
Masalah yang membentur peluang kajian dengan hadits qudsi dulu, insha’Allah kali ini tidak ada. Qadarullah, hadits-hadits palsu sangat melimpah jumlahnya. Bahkan ada kitab hadits yang khusus menghimpun hadits palsu, misalnya Kitab Al-Mawdu’at al-Kubra karya Imam Ibn al-Jawzi. Jadi, sampelnya banyak sekali.
Kalau kajiannya sukses, akan terlihat jelas dengan indikator-indikator yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah bahwa ada perbedaan gaya Bahasa antara hadits yang sahih dan palsu. Jika demikian, akan ada beberapa peluang prospek penerapan lebih lanjut lagi untuk penelitian ini, di antaranya:
- Ilmu ini bisa memperluas kajian kritik matan hadits atas hadits-hadits dha’if ringan dan berat (selain palsu).
- Bisa juga dilakukan kajian perbandingan hadits-hadits sahih dari ahlus sunnah dengn hadits hadits dari syi’ah
- Dan lain-lain
Sebagai catatan, pun kajiannya membawa hasil yang positif, tentunya bukan berarti metode ini bisa menjadi instrument tunggal dalam menetapkan status hadits. Semua kajian semodel ini pastilah punya confidence level yang tidak mencapai 100%, sedangkan pilihan-pilihan metodologis mungkin bisa memperkecil tapi tidak menghilangkan peluang kesalahan.
Bagaimanapun juga, metode yang sudah terpercaya dan digunakan oleh para ‘ulama hadits sepanjang zaman pun sulit untuk mencapai level yaqin yang 100% kecuali untuk teks Al-Qur’an dan beberapa hadits yang shahihnya mutawatir (yang jumlahnya sangat sedikit). Yang dapat dilakukan adalah terus mencoba mengurangi peluang kesalahan dengan mengkaji berbagai sudut dan senantiasa memperbaiki metodologi. Barangkali, ilmu computational linguistics bisa menjadi tambahan dalam upaya tersebut.
Walaupun demikian, sependek yang saya terfikir, mungkin akan ada beberapa peluang masalah:
Pertama, ‘ulama seringkali berbeda pendapat dalam menghukumi hadits. Dari sisi hadits shahih, dalam kajian sebelumnya Prof Halim Sayoud menggunakan sampel dari Kitab Shahih al-Jami’ atau lebih dikenal dengan Sahih Al-Bukhari yang cuma sedikit kontroversi atas kualitasnya. Masalahnya nanti adalah dari sisi hadits palsunya, sebab ada juga riwayat yang ulama berbeda menghukumi apakah ia dha’if berat atau palsu (termasuk terhadap isi Kitab Al-Mawdu’at al-Kubra). Konsekuensi hukumnya akan berbeda nantinya. Maka, untuk kajian ini akan memerlukan penetapan metode yang teliti dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, sebagian hadits dihukumi palsu belum tentu karena si perawi mengarang matannya. Bisa jadi ia kebetulan sedang meriwayatkan hadits yang sahih tapi terlanjur dikenal sebagai pendusta jadi dianggap palsu juga, atau yang dipalsukan adalah sanadnya saja. Barangkali hal-hal seperti inilah yang diatasi dengan penggunaan sampel yang sangat besar.
Ketiga, tidak adanya penutur tunggal hadits-hadits palsu. Perawi pendusta itu banyak sekali. Kalau kajian Prof Halim Sayoud dulu, yang dibandingkan adalah dua kumpulan sampel yang masing-masingnya berasal dari satu penutur saja. Kalau kajian yang saya usulkan ini, dari sisi hadits shahih jelas penuturnya hanya satu. Sedangkan hadits-hadits palsu, penuturnya banyak sekali. Maka memaksakan kajian ini jangan-jangan akan keliru, sebab akan mengasumsikan satu gaya Bahasa atas beranekaragam penutur yang berbeda. Apakah ada pemilihan metode yang mungkin dapat mengatasi masalah ini?
Sebelum menulis ini, saya baru saja mengirimkan email ke Prof Halim Sayoud untuk ‘bertanya’ (modus) apa pendapat beliau tentang ide ini. Akan saya update tulisan ini ketika (kalau) beliau sudah membalas email saya. UPDATE: beliau sudah membalas email saya! Berikut email beliau, dan akan saya berikan catatan.

——————————————–
Berikut terjemahan bebas email beliau:
Assalam Alaikom Fajri
Maaf atas keterlambatan dalam menjawab…
Pertama, terima kasih banyak atas usulannya. Sangat menarik.
Apapun yang dapat kita lakukan untuk membantu memberi hidayah pada umat manusia adalah suatu kebaikan.
Sudah kita ketahui bahwa analisis stylometrik Al-Quran dan Hadits menunjukkan bahwa kedua buku datang dari dua ‘Penutur’ yang berbeda, maka Al-Qur’an bukanlah rekaan oleh Nabi Muhammad S.A.W. Sebagai temuan saintifik, mungkin bisa menambah bukti otentisitas kitab suci kita.
Terkait idemu, saya fikir bisa diterapkan dalam beberapa keadaan.
Kalau yang ingin kamu lakukan adalah menggunakan stylometry untuk memeriksa sahih-tidaknya sebuah hadits, akan sulit sekali. Misalnya kalau kita mau mencoba menganalisis hadits “صوموا تصحُّوا”, yang hanya terdiri dari dua kata. Dalam kasus ini, hadits berisi dua kata ini tidak memiliki cukup informasi sebagai perbandingan dengan database hadits sahih. Bahkan, analisis stylometrik yang baik akan memerlukan sekitar 2500 kata.
Tapi kalau memeriksa otentisitas dataset kumpulan hadits, seharusnya bisa. Misalnya, kalau kamu punya seratus riwayat yang dihimpun hingga akhirnya berisi sekitar 1000 kata, mungkin bisa dilakukan tes untuk mengkaji apakah dataset tersebut cocok (penuturnya sama dengan yang dibandingkan, yaitu hadits sahih) atau tidak.
Nah dalam konteks tersebut saya mencoba melakukan tes dengan dataset sebesar sekitar 1030 kata per dokumen. Hasilnya menarik, karena dokumen berisi dataset tersebut otomatis diidentifikasi sebagai ‘tidak cocok’ (i.e. tidak berasal dari penutur yang sama dengan dataset hadits sahih).
Saya berharap diskusi ini memenuhi ekspektasimu, dan saya mendoakan kesuksesan untukmu dalam pekerjaanmu.
Hormat saya,
Halim
——————-
Saya sangat berterima kasih karena beliau bukan hanya menjawab pertanyaan saya secara hypothetical, tapi sampai repot-repot mencoba menjalankan eksperimen.
Poin terpenting dari email beliau adalah bahwa tes stylometry cuma bisa dilakukan dengan dataset yang relatif besar, yaitu sekitar 2500 kata (saya yakin kalau makin besar akan makin baik). Sebagaimana yang beliau katakan, ini bisa dilakukan dengan mencampur banyak hadits untuk memenuhi jumlah kata yang besar.
Saya sudah menanyakan pada beliau, apa yang akan terjadi kalau dataset berisi campuran hadits sahih dan palsu (50-50) lalu dibandingkan dengan dataset berisi 100% hadits sahih. Berikut jawaban beliau:

———————————
Berikut terjemahan bebas email beliau:
Dear Fajri
Dalam kasus seperti itu, maka akan ada data yang serupa dan berbeda dengan hadits-hadits sahih, tentunya.
Jujurnya, saya tidak tahu bagaimana nanti hasilnya kalau dilakukan uji stylometri. Tapi mungkin saja hasilnya tidak tegas: sangat cocok ya tidak, tapi sangat tidak cocok ya tidak juga.
Misalnya, ada buku yang ditulis oleh dua penulis X dan Z yang terbagi dalam bab-bab.
Sebagaimana contoh di bawah, jika ada bab yang mengandung tulisan X adan Z sekaligus, mungkin akan dikelompokkan jadi Y yang berada di antara X dan Z:
XX X XXX XX Y ZZ ZZZ ZZZ
Maksudnya, bab Y diklasifikasi jauh berbeda dari X maupun Z.
Keadaan ini mengelirukan, tapi bisa memberikan tambahan informasi.
Hope I responded to your question…
Halim
—————————
Ini menarik karena mungkin saja hasilnya bukan sekedar COCOK vs TIDAK COCOK, tapi ada abu-abunya kalau memang ada campuran antara palsu dan sahih. Tapi intinya ini salah satu dari sekian banyak yang perlu dipertimbangkan oleh seorang peneliti. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bisa saja ada perawi yang mengambil matan hadits sahih lalu yang dipalsukan adalah sanadnya. Atau, ada kompilasi hadits yang isinya hadits-hadits yang beraneka ragam tingkat kesahihan (dan ketidaksahihan)nya.
Lalu bagaimana kiranya menggunakan teknik ini? Khususnya mempertimbangkan (a) perlunya dataset besar, dan (b) masalah ketiga di atas terkait banyaknya pemalsu hadits yang berbeda dalam satu kompilasi.
Mungkin ada tiga kemungkinan penggunaan, untuk lebih menjelaskan dua manfaat yang sudah sempat saya singgung di atas (yang di atas tidak saya hapus, karena masih relevan. ):
- Mengkaji kompilasi hadits dan/atau penilaian ulama atasnya: memang betul bahwa banyak kompilasi hadits (semisal Sunan Tirmidzi dan Sunan Abi Dawud) yang tidak dimaksudkan menjadi kumpulan hadits sahih. Tapi para ‘ulama telah mencoba melakukan takhrij terhadap kompilasi-kompilasi hadits ini dan memberikan penilaian (misalnya, Syaikh Nassirudin Al-Albani). Mungkin bisa dicoba mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab-kitab Sunan yang disahihkan oleh Syaikh Albani (atau Syaikh Syu’aib Al-Arnauth atau siapa lah yang lain) dan dibandingkan dengan Sahih Al-Bukhari dengan tes stylometry. Bisa juga dilakukan kajian terhadap kitab-kitab hadits Syi’ah seperti Al-Kafi-nya Al-Kulani (tentu harus disortir yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad ﷺ saja, karena kitab tersebut juga berisi riwayat-riwayat yang kononnya datang dari imam-imam Syiah yang lain).
- Mengkaji Perawi-Perawi Tertentu: Mungkin akan bagus untuk memulai dengan mengkaji perawi-perawi pendusta yang merawikan banyak riwayat dusta, misalnya Jabir ibn Yazid Al-Ju’fi atau Abu al-Mufaddal al-Shaybani, keduanya adalah Syiah Rafidah yang memalsukan banyak hadits (terima kasih pada Ustaz Tommi Marsetio dan Ustaz Abdullah Al-Rabbat yang telah mengusulkan kedua nama ini). Riwayat-riwayat mereka bisa dibandingkan dengan hadits-hadits sahih melalui tes stylometri. Kalau hasilnya sukses, mungkin bisa mulai mencoba melakukan kajian serupa terhadap perawi-perawi yang masih 50-50 (dha’if) sebagai pertimbangan tambahan dalam kajian jarh wa ta’dil. Tentunya batasan kajian ini adalah hanya bisa dilakukan terhadap perawi yang banyak meriwayatkan.
- Mengkaji Keakuratan Sahabat: kita bisa membandingkan (a) hadits sahih yang diriwayatkan oleh seorang sahabat, dengan (b) kalam-kalam personal sahabat tersebut yang sahih dinisbatkan kepadanya. Ini bisa menjadi pertimbangan tambahan dalam memeriksa sejauh mana para sahabat melakukan parafrase dalam meriwayatkan hadits. Sebab, ada banyak hadits dengan redaksi sama persis yang diriwayatkan oleh banyak sahabat sekaligus, tapi ada juga hadits yang redaksinya beda dengan makna yang sama diriwayatkan oleh sahabat yang berbeda.
Sayang sekali ini bidang ini bukan kepakaran saya, jadi saya tidak mampu melakukan kajian ini sendiri. Insha’Allah saya sedang melakukan kajian-kajian lain terkait Islam yang beririsan dengan bidang saya, tapi untuk ide penelitian yang saya tulis ini saya tidak bisa. Mudah-mudahan Prof Halim berhasil ter-moduskan dengan baik, tapi kalaupun tidak mudah-mudahan setidaknya beliau bisa memberikan masukan terkait ide tersebut.
Saya berdoa mudah-mudahan pakar ilmu computational linguistics Muslim Indonesia bisa bekerjasama dengan pakar-pakar ilmu hadits menyambut ide penelitian ini dan dieksekusi dengan baik.
.
𝗠𝘂𝗵𝗮𝗺𝗺𝗮𝗱 𝗶𝗯𝗻 𝗔𝗯𝗱𝘂𝗹 𝗪𝗮𝗵𝗮𝗯 𝗱𝗮𝗻 𝗳𝗮𝗵𝗮𝗺𝗮𝗻 𝗪𝗮𝗵𝗮𝗯𝗶 𝗶𝘁𝘂 𝗰𝗶𝗽𝘁𝗮𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗿𝗶𝘀𝗶𝗸 𝗕𝗿𝗶𝘁𝗶𝘀𝗵, 𝗠𝗿. 𝗛𝗲𝗺𝗽𝗵𝗲𝗿? (Oleh Su Han Wen Shu)
Pernah mendengar cerita bahwa Syaikh Muhammad ibn ‘Abdil Wahhab adalah mata-mata Inggris? Salah satu tuduhannya datang dari sebuah ‘laporan’ yang diterbitkan berjudul “Memoirs of Mr. Hempher, the British Spy to the Middle East”. Herannya banyak Muslim yang percaya sekedar karena kebenciannya terhadap “gerakan Wahhabi”. Saya pun harus mengakui bahwa gerakan-gerakan yang mengatasnamakan salafi/wahhabi perlu mengevaluasi diri dalam banyak hal, karena bukan sedikit terjadi kesilapan yang akhirnya berdampak pada kebencian orang. Tapi tentu kritik harus adil, dan ditempatkan sebagaimana mestinya.
Berikut tulisan dari Su Han Wen Shu (seorang Muslim dari Malaysia) terkait Memoirs of Mr Hempher.
(more…)