Refleksi (Curcol?) Buku: Dampak Ilmu pada Kesalehan Personal
Buku “Dekolonisasi: Metodologi Kritis dalam Studi Humaniora dan Studi Islam” yang diterbitkan oleh Yayasan Bentala adalah kompilasi catatan-catatan oleh penulisnya, Dr. Muhamad Rofiq Muzakkir, selama studi doktoralnya di Arizon State University.
Buku ini sangat saya rekomendasikan, terutama bagi sesiapa yang mempelajari ilmu-ilmu sosio-humaniora. Bahkan untuk bidang hukum, meskipun tidak secara khusus mengkaji hukum Islam, akan sangat penting membaca buku ini karena akan sulit untuk orang Indonesia belajar hukum dan tidak bersinggungan dengan masyarakat yang beragama (apapun, meskipun mayoritasnya Islam) dan masyarakat dengan nuansa adat yang kental (yang bersifat religio magis). Apalagi, di bangku perkuliahan hukum biasanya sangat sekuler konsep-konsepnya, meskipun sesekali ada bau-bau agamanya sedikit.
Yang ingin saya ulas sedikit (barangkali agak curcol) adalah refleksi saya terhadap Bab 16: Pendidikan Islam Pascakolonial: Riset Aria Nakissa. Bab-bab di buku ini sangat pendek dan masing-masingnya bisa membawa perenungan yang panjang sekali. Tapi ada satu renungan spesifik yang ingin saya sampaikan.
Aria Nakissa mengkaji dampak pendidikan ala Barat terhadap pendidikan Islam, khususnya di Mesir. Salah satu dampak yang disoroti adalah mulai berkurangnya dampak ilmu agama kepada karakter pribadi. Tentu seharusnya seseorang yang makin mempelajari ilmu agama akan semakin mempraktekkan apa yang ia ketahui. Sehingga, harusnya mereka adalah orang-orang yang paling baik.
Kalau dipikir-pikir, hal ini dari dulu memang merupakan sebuah ekspektasi saya pribadi (dan, nampaknya, banyak orang juga) terhadap pakar dan pembelajar ilmu agama secara khusus ataupun sosok terpelajar dan/atau pendidik secara umum. Sebagaimana kata pepatah, bagaikan padi yang semakin berisi semakin merunduk.
Karena itulah, meskipun saya bukan pakar agama, tapi sebagai pendidik di bidang hukum saya setengah mati berusaha (misalnya) se-tertib mungkin di jalan raya, tidak buang sampah sembarangan, dan lain sebagainya. Saya masih jauh dari sempurna, tapi saya benar-benar berusaha. Apalagi, ketika menuntaskan Ph.D Thesis, ada satu bab khusus yang membahas amanah dan khiyanat dalam konteks hukum, saya semakin waspada kalau berjanji. Lebih berusaha untuk tidak asal ngomong “insyaAllah” atau “ya” sekadar karena tidak enak, kalau saya tidak yakin bisa memenuhi.
Katanya, akibat pendidikan Barat, mulai nampak ahli-ahli ilmu agama yang kelakuannya tidak mencerminkan hal tersebut. Aria Nakissa menyebut contoh Professor studi Islam yang merokok di ruang publik atau menggunakan bahasa yang kurang sopan ketika mengajar.
Di sini, saya bukan pakar agama tapi saya berusaha belajar. Saya berusaha ke sana-sini kepo sana kepo sini kepada para asatiz dan masyaikh (baik langsung maupun melalui rekaman ceramah ataupun karya tulis) untuk belajar. Dalam banyak hal, alhamdulillah saya mendapatkan bukan hanya ilmu secara substansi tapi belajar banyak dari kesalehan personal dari banyak asatiz dan masyaikh ini.
Sekali-sekali mendengar kabar asatiz dan masyaikh yang ‘miring’, saya selalu berusaha ber-husnudzon dengan menganggap itu minority report saja dan/atau saya belum tahu kebenaran yang utuh terkait kabar-kabar tersebut.
Hanya saja, yang sedikit kecewa adalah ketika ‘statistik’ pengalaman personal yang berbicara. Saya kebetulan memiliki pengalaman bekerjasama dengan berbagai kalangan. Ada pengalaman kerjasama yang manis, ada yang harus berpahit-pahit tapi alhamdulillah berakhir tuntas, tapi ada juga kerjasama yang akhirnya kemudian gagal menuntaskan tujuan.
Tentu saya juga pastinya punya andil dalam kegagalan-kegagalan ini. Tapi, selain itu, banyak kasus gagal yang berakhir demikian karena rekan kerjasama ini tiba-tiba menyublim karena satu dan lain hal. Kadang kita ketahui alasannya, kadang juga tidak diketahui karena ya menyublim saja begitu.
Yang agak mengecewakan adalah karena kok mayoritas kerjasama gagal karena rekan yang menyublim ini, adalah mayoritasnya dari kalangan asatiz dan thulabul ‘ilmi.