Ahlan wa Sahlan Author Internasional, Bye-Bye Etika Publikasi!!

Sebagai Editor in Chief sebuah jurnal yang sedang berjuang untuk Scopus, saya sangat faham jerih payah pengelola jurnal untuk memenuhi checklist hal-hal untuk memenuhi indeksasi Scopus dan meningkatkan peringkatnya. Selamat untuk jurnal-jurnal di Indonesia yang berhasil terindeks Scopus terutama yang baru saja mendapatkannya di penghujung 2023. Bertambah lagi beban bagi saya untuk men-Scopus-kan jurnal yang saya kelola.

Pertanyaannya adalah, seberapa banyakkah kita mau menjual harga diri dan kehormatan demi mencapai indeksasi Scopus ini? Cara licik, culas, dan rendah apa yang mau kita lakukan untuk mencapai itu?

Baru saja mahasiswa ada yang mengadu kepada saya. Artikel jurnalnya telah diterima di sebuah jurnal Indonesia yang telah terindeks Scopus, alhamdulillah, dan akan terbit di tahun 2024 ini. Tapi, tetiba datang sebuah email dari pengelola jurnal tersebut kepada mahasiswa saya tersebut dan penulis-penulis lain yang naskahnya akan dimuat tahun 2024 ini, yang meminta hal yang aneh.

Karena “kebijakan” (begitu bahasanya) pengelola jurnal, semua naskah wajib memiliki afiliasi internasional. Memang, Scopus menginginkan jurnal yang memiliki keanekaragaman latar belakang penulis. Akan tetapi, yang diminta sekadar menambahkan saja seorang co-author berafiliasi non-Indonesia. Tidak disyaratkan penambahan penulis tersebut diiringi dengan penambahan substansi apapun.

Menariknya, meskipun dalam email pengelola jurnal disebut sebagai “kebijakan” pengelola, tapi “kebijakan” tersebut tidak nampak tertulis di website jurnal sama sekali. Maka, “kebijakan” ini tidak dapat diketahui oleh calon penulis yang masih berkesempatan mencari penulis internasional untuk sama-sama berkontribusi dalam penulisan. Yang mengetahui hanya penerima email saja, yaitu penulis yang naskah-naskahnya sudah selesai tanpa adanya penulis internasional.

Maka bagi saya jelas: secara tegas jurnal ini memerintahkan adanya orang yang “menumpang nama”.

Hal ini adalah sebuah pelanggaran etika publikasi yang dikenal dengan guest authorship atau gift authorship, yang telah lama diulas oleh pedoman-pedoman etika publikasi di lembaga publikasi ternama semisal Elsavier atau yang lainya. Mungkin ini juga alasan kenapa para pengelola jurnal ini tidak mencantumkan “kebijakan” wajibnya co-author internasional, karena nampak jelas membuka pintu pada guest/gift authorship. Padahal, jurnal-jurnal ini di websitenya mencantumkan komitmennya untuk mematuhi etika publikasi (pret).

Sebenarnya pelanggaran etika ini banyak terjadi dan kita tahu sama tahu. Banyak sekali dosen yang malas berfikir dan berinovasi tapi rakus sekali urusan kenaikan pangkat dan insentif akhirnya meminta (terkadang memerintah) koleganya untuk memasukkan dirinya sebagai penulis padahal kontribusinya nol. Tapi sebagai pengelola jurnal, dalam mayoritas kasus kita tidak bisa membedakan mana yang numpang nama dan yang betul-betul berperan dalam penulisan. Maka, dari perspektif pengelola jurnal, ya sudahlah.

Tapi, ketika malah pengelola jurnal yang memerintahkan dilakukannya pelanggaran etika tersebut, ini sudah sangat keterlaluan sekali. Apalagi jurnal ini adalah jurnal hukum yang dikelola oleh akademisi ilmu hukum juga yang seharusnya menjadi poros terdepan dalam membenahi hukum di negara ini. Atau, jangan-jangan perilaku tidak etik dan korup memang merupakan budaya hukum Indonesia yang riil tapi kita tidak mau mengakuinya saja?

Pertanyaan menariknya: bukankah menarik, kalau saya mengirimkan screenshot email “kebijakan” jurnal tersebut kepada Scopus untuk menunjukkan perilaku tidak etisnya ini? 😈😈😈😈😈😈😈


Link ke daftar praktek-praktek jurnal yang tidak etis yang pernah saya jumpai atau dengar dari korban langsung.