Praktek-Praktek Tidak Etis Di Jurnal Ilmiah: Kumpulan Testimoni

Di tengah iklim academia di Indonesia yang makin mendorong publikasi ilmiah, ternyata masih ada praktik kurang etis yang terjadi. Sekadar untuk perenungan (dan harapannya ada perbaikan), berikut beberapa contoh kasus yang dialami oleh saya sendiri atau oleh orang lain yang saya kenal langsung. Akan ditulis “seorang penulis” bukan karena yang mengalami cuma satu, tapi karena sumber ceritanya dari satu orang.

.

Kasus Pertama: “Penodongan”?

Di suatu jurnal ilmiah yang sangat berreputasi di Yogyakarta, di website menyatakan bahwa tidak terdapat biaya publikasi untuk menerbitkan artikel di sana. Akan tetapi, seorang penulis di jurnal tersebut mengalami “penodongan”. Setelah menunggu review kemudian melalui revisi (totalnya hampir dua tahun), tiba-tiba disuruh membayar sejumlah uang untuk “biaya proofreading” oleh email resmi jurnal tersebut.

Ketika penulis bertanya kenapa tiba-tiba disuruh bayar padahal di website tidak ada informasi, dengan enteng menjawab ‘ini kebijakan kami. Kalau tidak dibayar, kami terpaksa tidak menerbitkan naskah anda’. Karena sudah proses yang sangat lama dan melelahkan, penulis pun tidak punya energi untuk melawan lagi dan akhirnya membayar saja.

.

Catatan: Di academia Barat, lumayan kuat perdebatan tentang etis atau tidaknya sebuah jurnal ilmiah meminta penulis membayar biaya publikasi (publication fee atau article processing charges). Ini beda dengan Open Access Fee, yang perdebatannya lain lagi. Akan tetapi, setidaknya di Indonesia dan Malaysia, lumayan banyak jurnal yang meminta biaya publikasi. Sebagai catatan, biaya publikasi ini dibayarkan hanya oleh penulis yang naskahnya sudah lolos untuk diterbitkan (kalau yang membayar AGAR diterbitkan, itu kasusnya beda lagi). Ini dianggap cukup lumrah, walaupun juga ada perdebatan.

Saya pribadi tidak mempermasalahkan biaya publikasi, walaupun tentu lebih suka kalau tidak ada biaya publikasinya. Itu persoalan lain. Tapi ketika main todong diam-diam dengan cara seperti ini, menurut saya kok ini tidak etis.

Tambahan dari kolega saya yang Dosen Hukum Pidana: hal seperti ini bisa kena korupsi, khususnya Pasal 12 huruf (e), Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Bahaya neh.

.

Kasus Kedua: “Tanda Tangan Kosong”?

Di suatu jurnal ilmiah di Sumatera Utara, seorang penulis telah mendapatkan kabar baik bahwa naskahnya diterima. Setelah berkutat dengan revisi dan lainnya, ia diminta nomor rekening. Pengelola jurnal pun mentransfer sejumlah uang kepada penulis dengan keterangan transfer “honorarium penulis”. Kemudian pengelola jurnal tersebut meminta penulis mentransfer balik dana tersebut sekalian meminta tandatangan penulis (bukti terima honorarium).

Ketika dikonfrontasi, pengelola jurnal mengatakan bahwa jurnal tersebut tidak memiliki dana pengelolaan sehingga cara mereka mendapatkan dana adalah ‘memainkan administrasi seperti ini’ . Penulis pun nge-gas, dan akhirnya tidak mentransfer balik dana tersebut.

.

Catatan: saya tahu betul kesulitan pengelolaan jurnal, karena saya pun pengelola jurnal. Di Jurnal Mimbar Hukum alhamdulillah full di-support dana oleh Fakultas Hukum UGM, sedangkan di IIUM Law Journal dulu saya adalah satu-satunya yang dihonori (sebagai editorial staff) sedangkan seluruh Dewan Penyunting bekerja benar-benar Li Allaahi Ta‘ala. Saya pun merasakan betapa sulitnya mengelola penggunaan dana beserta administrasinya di Universitas. Tapi di tengah kesulitan seperti itu, mungkin seharusnya ada pilihan-pilihan yang lebih etis yang dapat diambil. Kalau memang tidak, berarti ada yang sangat salah dengan sistemnya yang sangat memerlukan perombakan.

Tambahan dari kolega saya yang Dosen Hukum Pidana: hal seperti ini juga bisa kena korupsi, pasalnya sama yaitu Pasal 12 huruf (e), Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Khususnya ketika si penulis diminta untuk mengembalikan dana yang sudah ditransfer itu.

.

Kasus Ketiga: Internasionalisasi ala “Tempel Nama”?

Seorang penulis mengirimkan naskahnya ke sebuah jurnal ilmiah di Sumatera Utara. Tetiba, pengelola jurnal meminta penulis untuk mencari penulis lain dengan afiliasi universitas internasional untuk ditambahkan kepada naskah tersebut. Penulis pun menolak menambahkan nama orang lain yang tidak berkontribusi dalam penulisan, alhamdulillah naskah diproses lebih lanjut dan kemudian masih diterima.

.

Catatan:

Prinsipnya tidak masalah kalau sebuah jurnal dari awal mendorong penulis yang multi-afiliasi (apalagi multi-negara), apalagi mendorongnya tanpa paksaan. Akan tetapi, dengan Bahasa pengelola jurnal yang meminta untuk menambahkan nama pada naskah yang sudah jadi adalah seakan-akan mendorong penulis untuk menambah co-author yang tidak berkontribusi.

Tidak masalah kalau di sebuah naskah yang sudah jadi, tetiba diundang satu penulis lagi yang ditambahkan namanya tetapi juga turut berkontribusi merombak dan/atau menambahkan substansi pada naskah tersebut. Apalagi, kalau dorongan ini tidak ada di website (melainkan dikomunikasikan pasca-submisi), melakukan cara yang etis akan sangat memberatkan penulis.

Masalahnya, apakah jurnal tersebut memeriksa apakah ada perubahan substansi sebelum dan sesudah co-author baru ditambahkan? Hal-hal seperti ini perlu dipertanyakan.

.

Kasus Keempat: “Shadaqah Naskah”

Seorang akademisi junior dihubungi oleh seniornya yang ingin naik ke Guru Besar tapi masih kurang publikasi jurnal ilmiah. Sang senior bertanya pada sang junior apakah ada naskah jurnal yang siap terbit. Kalau ada, si senior ingin namanya dimasukkan sebagai penulis pertama supaya bisa memenuhi syarat untuk naik ke Guru Besar.

Salah satu kutipan menarik dari Sang Junior, menirukan seniornya: “Lha gimana mas..saya ini sudah tua, bahasa inggris gak bisa.. blajar bahasa inggris sudah gak mungkin ..satu-satunya cara ya berharap ada yang mau sodaqah draf artikel.” Mujurnya, Sang Junior akhirnya mengelak dengan mengatakan bahwa belum punya draft yang siap.

.

Catatan: bukan sedikit kasus semodel seperti ini yang akhirnya juniornya tidak bisa mengelak. Seorang kawan lain memberi masukan bahwa: sebenarnya sang Senior bisa dilibatkan dalam diskusi dan pembahasan, walaupun tidak secara langsung mengetik tulisan tapi kontribusi intelektualnya jelas tercermin di dalam naskah. Tentu ini kalau ada itikad yang baik.

.

Kasus Kelima: Menendang Co-Author

Kasus ini adalah praktek oleh penulisnya, tapi jurnal-nya inshaAllah merespon dengan baik. Saya tulis secara terpisah di post berikut, silahkan di-klik di sini.

.

Kasus Keenam: Demi Scopus, Menyuruh Penulis Internasional Numpang Nama?

Ini pengalaman mahasiswa saya sendiri. Saya tulis secara terpisah di post berikut, silahkan di-klik di sini.

Catatan Akhir:

  1. InshaAllah ini open post, jadi kalau ada yang ingin berbagi pengalamannya (atau kalau ada insiden baru) akan saya tambahkan lagi.
  2. Nama jurnal saya tutup di blogpost ini atas nasehat beberapa kawan, padahal ya setidaknya sebagian kasus di sini harusnya kalau memang kebijakan jurnal harusnya tidak malu.