Putusan Mahkamah Internasional dalam kasus Afrika Selatan melawan israel: Poin-Poin Penting
Putusan Mahkamah Internasional dalam kasus Afrika Selatan melawan israel: Poin-Poin Penting
Oleh: Fajri Matahati Muhammadin
Pada tanggal 26 Januari 2024, the International Court of Justice atau Mahkamah Internasional mengeluarkan putusan Provisional Measures dalam kasus Afrika Selatan melawan israel. Pada amar putusannya ada enam butir, singkatnya adalah sebagai berikut:
- israel wajib mencegah tindakan-tindakan yang dapat diklasifikasikan sebagai genosida di Palestina.
- israel wajib memastikan militernya segera menghentikan tindakan-tindakan di poin 1.
- israel wajib memproses dan menghukum pihak-pihak yang menyeru untuk dilakukannya genosida di Palestina.
- israel wajib memfasilitasi masuknya bantuan kemanusiaan ke Palestina
- israel wajib menjaga segala bukti yang relevan untuk investigasi dugaan genosida
- israel wajib memberikan laporan ke Mahkamah Internasional terkait pelaksanaan Provisional Measures ini dalam waktu satu bulan
Bahkan sejak Presiden Majelis Mahkamah Internasional, Joan E. Donoghue (Amerika Serikat), masih belum selesai membacakan putusannya, jagat media sosial sudah ramai dengan sorak sorai. Pasalnya, Mahkamah Internasional dalam semua butir amar putusannya seakan mengabulkan seluruh tuntutan Afrika Selatan. Dengan kata lain, israel tampak “kalah”. Akan tetapi, ada beberapa poin yang perlu dicatat dalam putusan ini.
Pertama, putusan Provisional Measures ini bukan putusan akhir. Putusan ini tidak menyatakan secara pasti bahwa israel telah bersalah melakukan genosida. Persidangan penuh Mahkamah Internasional hingga mencapai putusan akhir bisa memakan waktu hingga bertahun lamanya. Karena itulah adanya prosedur putusan Provisional Measures yang, dalam konteks kasus Palestina ini, singkatnya ada dugaan awal (prima facie) yang cukup bahwa ada genosida yang sedang berlangsung sehingga tindakan darurat segera harus dilaksanakan karena situasi mendesak. Karena itu, putusan Provisional Measures ini dapat dikeluarkan kurang dari sebulan setelah diajukan pada tanggal 29 Desember 2023.
Kedua, tidak ada perintah eksplisit untuk melakukan gencatan senjata atau penghentian operasi militer oleh israel, padahal itu adalah permintaan nomor satu Afrika Selatan dalam permohonannya. Sebelumnya, perlu dicatat bahwa “genosida” bukan sekadar membantai orang dalam jumlah yang banyak. Menurut Konvensi Genosida 1948, fitur unik dari “genosida” adalah adanya niat untuk membasmi seluruh atau sebagian kelompok tertentu. Kalau sekadar membunuh orang dalam jumlah banyak tanpa niat membasmi, ada jenis-jenis kejahatannya sendiri dengan terminology-terminologi lain yang dikenal dalam hukum internasional.
Memang terminologi-terminologi hukum seringkali membuat banyak hal menjadi rumit dan menyusahkan. Dalam kasus ini, Mahkamah Internasional terbatas pada menilai dugaan genosida saja dan bukan pada yang lain. Sebenarnya bisa saja kalau mau ditafsir-tafsirkan bahwa sebagian butir amar putusan tidak bisa dilakukan tanpa gencatan senjata, sehingga otomatis implisit diperintahkan. Tapi, nampaknya Mahkamah Internasional memilih tafsiran bahwa perang bisa saja berlanjut tanpa genosida, maka yang disuruh berhenti cukup genosidanya saja dan bukan perangnya.
Barangkali tafsiran yang dipilih Mahkamah Internasional di atas contoh tafsiran yang logis tapi tidak manusiawi. Konsekuensinya jelas: israel tidak merasa melakukan genosida. Sehingga, bisa saja israel tetap melanjutkan kekejamannya dan mengklaim telah memenuhi setidaknya butir amar putusan 1, 2, 3, dan 5 di atas.
Ketiga, sangat menarik jika melihat rincian voting para hakim Mahkamah Internasional. Di kesemua butir amar putusan, para hakim nyaris mufakat. Mayoritas butir didukung 15 hakim melawan 2 dan dua butir didukung 16 hakim melawan 1 saja, tapi bukan ini hal yang paling menarik. Hakim-hakim dari negara yang biasa dikenal mendukung israel kali ini justru semuanya mendukung kesemua butir amar putusan. Mereka adalah Hakim Georg Nolte (Jerman), Hakim Ronny Abraham (Perancis), dan bahkan termasuk Presiden Donoghue (Amerika Serikat).
Hakim dari israel sendiri, yaitu Hakim Ad-Hoc Aharon Barak, menariknya menolak mayoritas tapi tidak semua amar putusan. Hakim Barak mendukung amar nomor 3 dan 4. Yang menolak semua butir putusan justru Hakim Julia Sebutinde (Uganda) yang merasa tidak mendapat bukti permulaan yang cukup atas adanya niat genosida oleh israel, dan ketidakcocokan antara masalah hukum dan tuntutannya. Telah saya jelaskan di atas bahwa niat adalah unsur terpenting dalam pembuktian terjadinya genosida, tapi dapat dilihat di naskah pendapat berbeda Hakim Sebutinde seberapa meyakinkannyakah “kurang bukti” dan “tidak cocok” yang beliau jadikan dasar penolakan.
Keempat, perintah untuk memproses dan menghukum pihak-pihak yang menyerukan genosida. Entah sejauh mana israel akan melaksanakan perintah ini, tapi menarik mempertimbangkan kemungkinan dampaknya terhadap proses hukum lain. The International Criminal Court atau Mahkamah Pidana Internasional juga sudah memulai proses situasi di Palestina. Kalau putusan Mahkamah Internasional berujung sanksi kepada negara, putusan Mahkamah Pidana Internasional dapat berujung hukuman pidana berupa penjara pada pelaku kejahatan internasional.
Karim Khan, Jaksa Mahkamah Pidana Internasional, kini sedang melakukan investigasi awal, dan nampaknya fokus pada War Crime (Kejahatan Perang) yang dilakukan oleh para pihak baik Hamas maupun israel. Masalahnya, Kejahatan Perang diatur di Pasal 8 instrumen pokok Mahkamah Pidana Internasional, yaitu Statuta Roma, sedangkan Genosida diatur di Pasal 6. Artinya Khan tidak melakukan investigasi untuk Genosida. Apakah keluputan ini terkait dengan kritik terhadap Khan yang dianggap bias pro-israel dalam melaksanakan investigasinya? Entah.
Akan tetapi, putusan Mahkamah Internasional menyatakan dengan nyaris mutlak bahwa ada dugaan kuat terjadi genosida di Palestina. Apakah ini bisa menjadi alasan untuk menekan Mahkamah Pidana Internasional untuk memulai proses investigasi genosida? Apakah Khan bisa terketuk hatinya untuk tidak bias pro-israel (jika tuduhan tersebut benar) dan mulai menginvestigasi genosida juga?
Yang jelas desakan kepada israel untuk menghentikan kejahatan-kejahatannya semakin banyak. Sebagaimana tulisan saya sebelum ini, tekanan-tekanan terhadap israel dari dalam negeri maupun internasional, termasuk negara-negara yang biasanya mendukung israel, semakin kuat. Dalam sejarah, rasanya belum pernah sekuat ini. Mahkamah Internasional sudah mengeluarkan putusan provisional measures yang, dengan segala kekurangannya, masih menempatkan israel sebagai pihak yang salah dan harus menghentikan aksinya. Padahal di Mahkamah Internasional masih ada proses berjalan yaitu Advisory Opinion (semacam Fatwa Hukum) yang sedang disusun, dan Indonesia berpartisipasi di dalamnya, untuk menegaskan status pendudukan israel atas wilayah Palestina. Bahkan, Afrika Selatan belum selesai: mereka dikabarkan juga akan menuntut Amerika Serikat di Mahkamah Internasional karena mendukung genosida israel.
Seharusnya eskalasi tekanan terus-menerus ini bisa membuat israel menghentikan kejahatannya, setidaknya untuk sementara. Seharusnya, sebenci apapun israel kepada Palestina, tekanan akan terlalu besar sehingga ia tidak mampu melanjutkan operasi militernya dan memberikan waktu bernafas bagi rakyat Palestina.
Akan tetapi, jika negara-negara adidaya yaitu Amerika Serikat dan Britania Raya hanya lip service mengutuk tapi tetap mendukung dana dan logistik militer pada israel, maka jangan-jangan benar yang dikatakan oleh Dr. M. Amirullah M. Oktaufik: “kalau ada kata ‘seharusnya’, berarti ‘tidak’”.
(Telah Terbit di Republika: BACA DI SINI)