Kisah Dua Kawan Saya Yang Gay

 


Di antara sahabat saya yang LGBT, ada dua yang teramat istimewa bagi saya, dan rasanya wajib saya ambil ibrohnya.

Sahabat pertama telah lama menjadi gay, tetapi demi Allah saya yakin sekali dia ingin sekali berubah. Usaha demi usaha terus dilakukannya, termasuk memperbaiki ibadah dan bergaul dengan orang shaleh. Sesekali masih ‘kambuh’, tapi dia sangat menyesalinya dan terus berusaha. Saya selalu mendoakannya, hafidzahullah, supaya tetap istiqomah.

Tapi yang penting di sini adalah betapa pentingnya kita menghargai usahanya untuk bertambah baik dan penyesalannya saat terjadi khilaf, bukannya mencemooh usahanya gara-gara sesekali terjadi khilaf.

Kisah ini saya bagi dengan izin dari yang bersangkutan, dengan tetap saya rahasiakan. Sekarang dia sudah menikah dengan seorang akhwat yang luar biasa, alhamdulillah nampaknya bahagia sekali mereka.

Penting juga saya sebutkan salah satu kesulitan dari kawan-kawan gay kita yang ingin bertaubat. Setidaknya sebagian dari mereka masih bingung dengan keadaannya dan meyakini itu tidak betul. Dalam term psikologi, keadaan seperti ini bukan LGBT melainkan SSA (Same Sex Attraction). Seringkali mereka sulit mendapatkan tempat untuk mencurahkan hati di kalangan umat Islam. Pasalnya, walaupun sebenarnya hanif, tapi banyak umat Islam yang meresponnya dengan jijik dan keras. Padahal mereka memerlukan kesabaran dan kasih sayang.

Yang memberikannya justru malah kaum kafir dan munafik. Pada akhirnya benar atau salah pilihan dia, ialah yang memutuskan. Tapi bukankah kita ada kontribusi pada fitnah fahisha ini kalau kita tidak bisa memberikan zona nyaman untuk mereka yang mau bertaubat? Ini sesuatu yang patut direnungkan.

 

Sahabat yang kedua sempat tinggal serumah dengan saya selama lebih setahun. Hidupnya amat sangat kelam dan tampak jauh dari agama. Karena suatu hal, saya putus kontak dan silaturahmi dengannya.

“Suatu hal” ini bukanlah hal yang mengenakkan, dan justru sangat buruk antara dia vs kawan kawan kontrakan yang lain termasuk saya. Kami pun seorganisasi di mana dia menjabat sangat penting, dan di saat yang sama dengan masalah sebelumnya ia pun bermasalah di sini. Kedua masalahnya berkaitan. Akhirnya, ia pun lenyap dari kehidupan kami (kontrakan dan organisasi) dengan meninggalkan kesan yang teramat buruk.

Selang beberapa masa, menurut kabar, beliau mengidap penyakit-penyakit (ya, plural) akibat melaksanakan ke-gay-annya. Termasuk salah satu penyakit yang paling menakutkan, you know what I mean. Ada rasa kasihan terbersit, tapi “salahmu sendiri” fikirku saat itu.

Selang beberapa tahun tanpa kabar baru, datanglah kabar bahwa ia telah meninggal dunia. Yang paling mengejutkan bukan kabar wafatnya melainkan dalam keadaan apa ia diwafatkan.

Saya mendapat kabar bahwa menjelang ia mulai memperbaiki diri dan bahkan sering shalat subuh berjamaah (bagi saya ini yang paling sulit, tapi ia bisa melakukannya). Dan, dalam keadaan ini dan juga di bulan Ramadhan pula, Allah mencabut nyawanya bukan karena sakitnya itu melainkan karena terbentur saat jatuh di kamar mandi, rahimahullah.

Kematian memang nasehat yang sangat besar, dan wujudnya bisa bermacam macam. Hanya Allah yang tahu nasib semua orang, tapi tidak semua orang yang lama hidup bermaksiat mendapatkan kehormatan untuk bertaubat dan mati dalam taubatnya itu.

Di satu sisi, tentu kita tidak boleh maksiat saja dan berharap siapa tahu kelak kesambet hidayah. Tapi di sisi lain, Allah Maha Tahu dan Maha Pemurah. Jujur saya rasanya tidak pernah mendoakannya, apalagi setelah bertahun-tahun tidak ada silaturahmi. Bahkan di saat saat saya mengingatnya, itu penuh keburukan. Tapi saya yakin ibunya pasti mendoakannya, dan nampaknya doa inilah yang dikabulkan Allah.

Sekali lagi Allah Maha Tahu dan telah berencana, tapi saya mendengar banyak sekali kisah bagaimana perubahan dari para ahli maksiat ditakdirkan oleh Allah dengan melalui wasilah doa yang tulus. Karena itu, sambil kita terus mengamalkan aqidah al wala wal bara, jangan berhenti mencoba mendoakan ummat ini.