Home » 2022 (Page 3)
Yearly Archives: 2022
Beberapa Warning Untuk Orang Indonesia Yang Mau Pergi Ke Negara Yang Banyak Mazhab Hanafi-nya (Turki, Pakistan, dll)
Mayoritas umat Islam dididik dengan fiqih madzhab Syafi’i, walaupun campur-campur sedikit lah. Yang kita ketahui adalah bahwa dari semua madzhab di dunia, ternyata ada banyak perbedaan pendapat dalam beraneka issue. Saya merasa bahwa kebanyakan bahasan dari para asatidz di Indonesia adalah tentang ‘toleransi kepada madzhab yang berbeda’.
Mmungkin karena kesempitan pergaulan saya, rasanya kurang banyak bahasan tentang bagaimana menyikapi perbedaan madzhab ketika terjadi ‘insiden’. Pembahasan biasanya lebih kepada ‘jangan cepat menyalahkan’, atau ‘kalau imamnya qunut sudahlah ikuti saja’. Jujur, ini mudah sekali diikuti karena tinggal ‘diam, masing-masing saja’ atau ‘ikut saja’.
Tapi, pengalaman saya kuliah di UK (banyak Muslim bermadzhab Hanafi) dan sekarang juga sedang riset di Turki (juga bermadzhab Hanafi), ada perbedaan-perbedaan yang mana kalau kita bahkan tidak menyadarinya bisa berabe lho.
Karena itu, berikut saya berikan beberapa poin supaya tidak terlalu kaget kalau ketemu:
- Jangan men-jarh-kan “aamiin” dalam shalat jahriyah! Dalam madzhab Hanafi, bacaan ‘aamiin’ setelah Surah Al-Fatihah tidak dikeraskan. Saya sudah merasakan betapa malunya jadi satu-satunya yang teriak ‘aamiin’ di masjid. Please, jangan tetap mengeraskan ‘aamiin’ karena tidak mau madzhab kita disalahkan. Bukan bermaksud menyalahkan, tapi jangan buat keributan. Pertama, mereka mungkin tidak tahu juga. Kedua, siapapun yang salah, bisa rusuh kan nanti.
- Jangan masbuk pada orang yang sedang shalat sendirian. Dalam madzhab Hanafi, tidak bisa merubah niat dalam shalat. Jadi kalau dia awalnya niat munfarid, nggak bisa tukar niat jadi imam kalau ada yang masbuk. Jadi kalau ada yang sedang jama’ah kalian gabung no problem, tapi kalau ada yang shalat sendirian jangan ikutan. Shalatlah dengan munfarid sendiri, atau buatlah jamaah sendiri kalau kalian tidak sendirian. Jangan paksa dia ikut madzhab kita.
- Hindari duduk tawaruk kecuali kalau shalatnya tidak terlalu rapat. Dalam madzhab Hanafi dan Maliki, tidak ada duduk tawaruk, iftirasy semua. Khusus Hanbali, rakaat terakhir dalam shalat dua rakaat adalah duduk iftirasy. Sama seperti nomor 1, bukannya mau menyalahkan madzhab kita. Tapi kalau barisan jamaahnya rapat-rapat sedangkan satu orang duduk tawarruk ketika yang lain duduk iftirosy (apalagi kalau duduknya semangat), bisa bergelinding semua yang di sisi kanan kita dan menimbulkan efek domino.
- Qunut Witir sebelum rukuk , beda dengan umumnya kita yang qunutnya setelah bangkit dari
kuburrukuk. Ini nggak terlalu mengganggu sih kalau kita beda, tapi kalau kejadian kita menyelisihi orang kan agak malu dan mungkin hilang khusyuk ketika menyesuaikan. - Takbir berkali-kali pada shalat Eid bukan setelah takbiratul ihram tapi sebelum rukuk, sedangkan kita biasanya kebalikannya kan. Saya tidak menyaksikan ini di UK di shalat Eid jamaah Hanafi dari Pakistan, tapi saya sudah diwanti-wanti oleh teman-teman di Turki karena begitu prakteknya. Mungkin ada perbedaan di dalam Hanafiah, entahlah. Tapi setidaknya kalau sudah tahu ada seperti ini, mudah-mudahan kalau kejadian tidak terlalu panik dan bisa menyesuaikan dengan tenang.
- Iqamah jumlah lafadznya sama dengan adzan dengan ditambah ‘qad qamatish shalat’ 2x. Kalau di madzhab kita, biasanya iqamah itu lafadznya separuhnya adzan kan? Misalnya Allaahu Akbar 4x di adzan, tapi 2x di iqamah dan seterusnya. Khawatirnya iqamat dikira adzan, jadi malah keasikan ngobrol nggak mendekati imam dikira belum iqamat.
- Monggo kalau ada yang berkenan menambahkan perbedaan-perbedaan lain yang mungkin berpotensi membuat bingung.
.
PS: di antara negara-negara yang mayoritas Muslim bermadzhab Hanafi: India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Turki, Albania, Uzbekistan, Kazakhstan, dan lain-lain
Adab: Antara Dosen dan Mahasiswa
Hari ini saya menerima Screenshot percakapan antara seorang dosen dan mahasiswa dari Malaysia, dan saya melihat ada beberapa hal yang bisa dipelajari dari percakapan tersebut.
.
Berikut Screenshot percakapan yang dimaksud:

Bagi saya, kedua belah pihak dalam percakapan ini bisa diambil jadi pelajaran.
Bagi Mahasiswa:
1. Lihatlah waktu si mahasiswa membalas si dosen. Sekian jam setelah si dosen mengirim pesan, dan juga larut malam. Tentu lebih baik untuk segera membalas, apalagi kalau dosen. Tapi kalau memang ada halangan untuk membalas (hidup kita bukan hanya untuk membalas pesan, apalagi kasus di sini si mahasiswa mungkin sedang mengurusi kewafatan ayahnya), ahsannya meminta maaf ketika akhirnya sempat membalas. Si mahasiswa di sini meminta maaf di pesan jam 9.44pm sebagaimana dalam SS. Ini contoh yang baik, walaupun mungkin lebih baik kalau si mahasiswa memulai dengan permohonan maaf (bukan di akhir). Redaksi bisa disesuaikan dengan bahasa dan budaya masing-masing.
2. Gunakan panggilan kehormatan yang lazim dalam budaya akademik setempat. SS WA ini adalah di Malaysia, dan sependek pengalaman saya kuliah di sana memang lazimnya memanggil DR kepada yang sudah DR. Kalau di Indonesia, budayanya lain. Rasanya belum lazim memanggil DR kepada dosen yang sudah DR, umumnya dipanggil Pak/Bu atau Mas/Mbak (terutama di Jogja) sesuai usianya. Kalau Professor mungkin baru dipanggil Prof, tapi saya sering lihat juga Professor dipanggil Bapak atau Ibu. Jangan dipanggil “Abang” kalau beliau sudah sepuh, apalagi kalau kamu masih muda!
Kenali juga budaya-budaya yang berbeda di beraneka tempat. Sebab, negara atau bahkan daerah yang berbeda bisa punya adat yang berbeda. Kita pun harus sikapi dengan menyelaraskan sikap pribadi dengan budaya setempat itu. Misalnya, kalau mahasiswa Indonesia ke Malaysia maka panggillah dosen kita dengan Dr atau Prof, jangan Bapak/Ibu sebagaimana kebiasaan kita. Tapi kalau ke UK, secara asalnya panggillah seperti itu kecuali kalau orangnya menolak. Misalnya, Prof Alan Boyle yang mengajar saya dulu (coba google, Prof Alan Boyle Edinburgh University, lihat profil dan kredensialnya luar biasa.. dan sudah sepuh sekali, sekarang pensiun) biasanya minta dipanggil “Alan” saja oleh murid-muridnya. Jadi, ya, lain ladang lain belalang. Sesuaikanlah, sebab dri Sumatera pindah ke Jogja (atau sebaliknya) pun bisa culture shock luar biasa! Dan poin ini pun harus difahami oleh si dosen!!! Jangan kaget kalau ada mahasiswa Sumatera atau bahkan Jakarta yang terasa ‘tidak sopan’ bagi telinga orang Jawa Kromo Inggil, padahal ia baru datang ke Jogja sebentar setelah hampir dua dekade hidup dengan dialek daerah asalnya!
.
Bagi dosen
1. Sombong amat baru doktor kelakuan begitu. Murid wajib hormat pada guru, dan saya meyakini itu. Jadi walaupun saya sudah bukan jadi murid lagi, bahkan saya jadi kolega mereka, saya tetap sangat menghormati. Bahkan guru-guru saya di SD, SMP, SMA dulu yang gelar akademiknya sekarang hampir semuanya sudah kalah dengan saya, tetap saya cium tangannya kalau ketemu. Selain karena usianya, juga karena jasa-jasa mereka mengajar saya.
Tapi tidak satupun dari mereka gila hormat, dan justru itulah yang membuat saya semakin menghormati mereka. Perlu disadari bahwa guru yang gila hormat akan membuat kami para muridnya bertanya-tanya apa dia memang pantas dihormati. Kalau kami mengingat-ingat guru yang seperti itu yang ada hanya umpatan dan istighfar, tidak ada senyum-senyum atau mendoakan. Kalau begitu, dosen yang seperti itu harus bertanya-tanya: is it worth it?
Walaupun saya tentu terus terang agak merasa kesal kalau ada mahasiswa yang kurang sopan. Bukan soal gelar, tapi biasanya langsung to the point tanpa basa basi (kecuali mahasiswa yang memang sudah biasa kontak-kontakan dan gojeg-gojegan, itu lain ya). Atau, kalau menulis email tanpa subject dan tanpa pengantar. Tapi di sini, rasa ‘kesal’ ini memang benar cuma ‘agak’, karena lebih besar kekhawatiran saya pada dia. Bagaimana kalau dia melamar kerja atau beasiswa seperti itu? Bagaimana kalau dia bicara dengan atasannya seperti itu? Atau, dengan dosen lain yang memang gila hormat?
Saya meyakini bahwa mayoritas kasus seperti itu adalah karena mahasiswa kurang faham. Kita tidak tahu latar belakang dia, bahkan terkadang yang meng-email saya itu memang dari desa yang se-desa itu dan kurang paham dan biasa menggunakan email. Sebagai seorang guru, saya yakin tugas saya bukan cuma mengajarkan hukum internasional tapi hal-hal seperti ini. Karena, apa sih kesenangan seorang guru terkait muridnya kalau bukan melihat dia sukses? Maka kalau terjadi seperti ini (lumayan sering dalam urusan email), fokus saya bukan pada memarahi tapi lebih pada menasehati dia. Mumpung kesalahannya terjadi kepada guru yang memang tugasnya ngajari dia. Makanya, khusus soal email, saya sampai membuat post khusus.
2. Itu clear pesan mahasiswa dalam keadaan berdukacita, tentu ahsan (dan adab baik) untuk menyampaikan turut berdukacita. Demikian terlukanyakah harga diri sebab tak dipanggil DR, sampai hati pun sematirasa itu?
Saya sering menerima kabar seperti ini dari mahasiswa ketika izin bolos kuliah. Misalnya, dia atau keluarganya sedang sakit sehingga perlu dirawat atau merawat, atau keluarganya ada yang meninggal. Insha’Allah tidak berat dan tidak pula mahal bagi kita untuk mengucapkan belasungkawa (kalau ada yang meninggal) atau mendoakan cepat sembuh. Tidak sulit juga untuk kita sekedar menanyakan apakah ada yang bisa kita bantu, kalau dia memang ada kesulitan.
3. Jawablah salam itu. Sebegitunyakah tidak suka kerana tidak dipanggil DR, tapi tidak beradab pada salam sunnah Rasul? Saya tahu bahwa si dosen pun Muslim, dan yakin pula bahwa dia memahami cara menjawab salam. Hukum memulai salam adalah sunnah, sedangkan menjawabnya adalah wajib. Ini adalah salah satu kewajiban berupa adab berhubungan sosial yang disyariatkan oleh agama. Sungguh sangat ironic ketika si dosen marah ketika mahasiswa dianggapnya tidak beradab padanya, tapi ia sendiri tidak beradab pada si mahasiswa sekaligus pada Allah dan Rasul-Nya.
MS. MARVEL DAN CITRA AMERIKA TENTANG MUSLIM (Oleh Ismail Al A’lam)
MS. MARVEL DAN CITRA AMERIKA TENTANG MUSLIM
Oleh: Ismail Al-‘Alam*
*Ismail Al-‘Alam belajar filsafat, Religious Studies, Cultural Studies, and Peace Studies di Jakarta dan Yogyakarta; saat ini menjadi Manajer Program Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara.
———————————
Seperti Anda, saya pun mengenal tokoh-tokoh adiwira Marvel sejak kecil lewat mainan, komik, dan video gim. Tapi, mungkin tidak seperti Anda, saya baru menonton Marvel Cinematic Universe (selanjutnya ditulis MCU) setelah menikah dengan seorang penyuka film –termasuk film-film Eropa yang membutuhkan “kecerdasan semiotis” untuk bisa memahaminya.
Kami menonton The Avengers: Infinity War di bioskop sepulang bekerja. Tanpa tahu sama sekali rangkaian cerita MCU sebelumnya, apalagi konflik, konteks, dan rincian kecilnya, saya menyaksikan Hulk dan Iron Man bertarung dengan tokoh-tokoh yang tak saya kenali namanya, membuka film di tahun 2018 itu.
Mereka memang hadir untuk kita, orang-orang dengan kenangan masa kecil bersama adiwira Marvel dalam pelbagai rupa, yang kini mendewasa sehingga mampu pergi ke bioskop dengan uang sendiri dan tanpa larangan siapapun. Kecanggihan teknologi grafis yang semakin memanjakan mata begitu selaras dengan kisah imajinatif dalam MCU. Kalau dibuat beberapa dasawarsa lalu, hasilnya mungkin hanya tontonan dengan keterbatasan teknologi yang memprihatinkan dan mutu grafis yang menggelikan.
Kenangan kita itu menjadi sumber pundi-pundi yang begitu penting bagi Marvel.
Di tahun ini, sebagian dari kita tengah bersiap menyambut serial Ms. Marvel di Disney+. Ia mungkin tak hadir dalam komik atau video gim masa kecil kita, tetapi identitas keislamannya tentu begitu melekat dengan identitas kita. Bersama dengan karakter perempuan lain di MCU, Ms. Marvel bukan hanya mendobrak persepsi bahwa adiwira harus seorang lelaki: ia berjalan sendiri untuk menunjukkan bahwa seorang muslim juga bisa menyematkan manusia, termasuk Amerika.
Si Kulit Warna yang Berbahaya
Kesadaran tentang hak asasi manusia yang semakin hari semakin membaik mengantarkan para sarjana ilmu sosial-humaniora, di Eropa dan Amerika, untuk menaruh perhatian pada isu rasisme. Beberapa kampus di sana bahkan membuka jurusan “Racial/Black Studies” untuk mempelajari kezaliman apa yang telah kaum berkulit putih lakukan terhadap liyan (yakni, kaum kulit berwarna), tetapi juga mendaftar dan menghormati apa yang telah diberikan liyan pada mereka.
Pada kasus umat Islam, masalahnya lebih rumit lagi. Meski sebagian masyarakatnya kini sekular, Barat menurut Montgomery Watt masih menyimpan citra Islam yang tertanam sejak Perang Salib, bahwa Islam adalah Anti-Kristus. Citra tersebut dapat berubah bentuk dan ekspresinya hari ini, seiring dengan sekularisasi masyarakat itu, misalnya bahwa Islam adalah anti-rasionalitas atau anti-humanisme. Dinamika politik internasional yang mempertemukan negara-negara Barat dan Timur Tengah sepanjang abad 20 dan dasawarsa awal abad 21 semakin memperkaya, kalau bukan memperparah, citra tersebut.
Layar lebar tak lepas dari citra yang bias itu. Di tahun 1984, Jack Shaheen menerbitkan bukunya yang karikaturial, Reel Bad Arabs: How Hollywood Vilifies A People, kajian induktif dan kritis terhadap film-film Hollywood yang menampilkan sosok orang Arab atau adegan di negeri Arab. Ia sampai pada kesimpulan bahwa Arab-Islam adalah 3B: The Bomber (Tukang Ngebom), Billionaire (Miliarder), dan The Belly Dancer (Penari Perut).
Dengan kata lain, pelbagai skenario dan sudut pandang film-film Hollywood hanya memahami wajah Arab-Islam dalam konstruksi para Orientalis, bahwa umat Islam itu berpolitik dengan cara teror bahkan revolusioner a la Khomeini sehingga tak sesuai dengan demokrasi, tetapi punya banyak uang dan minyak bumi sehingga bisa menjadi mitra bisnis yang strategis bagi Eropa dan Amerika. Di sudut-sudut kota Arab, jika para kulit putih itu jeli, kepuasan syahwat juga bisa diraih lewat cara yang sangat purba, meski jalan-jalan kota utama dipenuhi perempuan berjilbab –yang bagi mereka adalah bentuk penindasan.
Berselang beberapa masa, citra tersebut belum betul-betul pudar. Serangan teroris 9/11 malah memicu pencitraan tentang Islam yang lebih ugal-ugalan di dalam produk-produk budaya Amerika. Aktor Sudan, Waleed Elgadi, menjelaskan respons spontan dunia perfilman AS kala itu adalah dengan menggunakan aktor Arab untuk memerankan tokoh yang mendukung citra buruk itu. Ia sendiri, dalam pengakuannya di BBC, sudah pernah memainkan peran “…semua jenis teroris yang bisa Anda bayangkan” dan “…sosok mistikus Arab yang memandang gurun.” Sosok protagonis muslim memang mulai muncul sesekali di Hollywood, tetapi perannya dalam film selalu tidak signifikan dan, ini yang konyol, pemerannya justru adalah aktor-aktor Barat!
Batas Humanisme dan Good Muslim
Meski muak dengan itu semua, kita akan keliru kalau mengira islamofobia dan perlakuan rasis terhadap Arab/Islam adalah sesuatu yang dimiliki Barat secara esensial. Ada dua hal yang menjadi argumen untuk itu.
Pertama, xenofobia (penyakit mental berupa ketakutan terhadap orang asing, di mana Islamofobia termasuk di dalamnya) dan rasisme adalah gejala yang bisa dimiliki para katak dalam tempurung, yakni orang-orang picik yang hanya hidup dengan kelompok dan kerumunannya sambil menyimpan prasangka buruk terhadap liyan, tanpa mau belajar secara terbuka dari mereka. Jika menghadapi islamofobia dengan ekspresi atau cara lain yang menunjukkan ciri xenofobia terhadap Barat, kita akan menjadi sama piciknya dengan mereka.
Kedua, dan ini yang penting untuk disoroti secara luas, kaum humanis di Barat sendiri telah banyak melakukan kritik-diri baik secara akademis seperti saya sebutkan di atas, maupun secara gerakan kesenian. Film-film indie telah banyak dibuat untuk menandingi citra sesat Hollywood atas Islam. Ms. Marvel pun hadir dengan semangat serupa, setidaknya semenjak edisi komiknya terbit di tahun 2013 –yang ketika itu segera saya dan seorang dosen, Ihsan Ali Fauzi, diskusikan dengan asyik bersama buku Jack Shaheen di suatu sore di kantin Universitas Paramadina. Beberapa riset menunjukkan langkah-langkah humanis itu berdampak cukup besar bagi upaya menghadang islamofobia di Barat.
Tapi, satu persoalan tersisa di sini. Humanisme mereka yang sekular tetap tak menoleransi keyakinan dan tindakan seorang muslim jika hal tersebut mencederai nilai-nilai humanisme itu sendiri.
Analis politik senior Brennan Center for Justice, Faiza Patel, dengan jeli melihat persoalan tersebut bahkan pada sosok Ms. Marvel. Dalam versi komiknya, Ms. Marvel adalah perempuan muslimah cerdas di tengah keluarga yang masih memegang nilai-nilai “Timur”: ayah dan ibu protektif yang menginginkan putrinya itu menjauhi pergaulan bebas dan berfokus pada kuliahnya, serta sosok kakak yang ‘konservatif.’ Dalam pikiran AS, baik kaum Konservatif (maksudnya, umat Protestan taat pemilih Partai Republik) maupun Liberal (umat Protestan liberal, sekularis, dan ateis yang pemilih Partai Demokrat), seorang muslim tidak bisa menjadi konservatif dan toleran atau modern di waktu yang bersamaan.
Di sinilah batasan humanisme dalam menoleransi keislaman seseorang harus dicermati dengan tegas. Dengan hanya mengenal dua kategori bagi sikap agamawan terhadap modernitas, yakni atau konservatif atau liberal, Barat masih gagal memahami sikap tegas Islam terhadap hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai sekular mereka. Dengan ataupun tanpa berjumpa dengan Barat dan modernitasnya, Islam sudah menentang pemahaman keagamaan yang kaku, picik, bahkan destruktif, sebagaimana terdapat dalam pengalaman Islam itu sendiri. Tetapi, kesiapan dan kesediaan Islam untuk terlibat dan memberi sumbangan bagi kehidupan modern, plural, dan global bukan berarti hanya menyisakan pilihan menjadi liberal.
Dalam kasus Ms. Marvel, menyisihkan sosok-sosok ‘konservatif’ adalah langkah awal untuk mencapai langkah akhir, yakni menampilkan sosok Ms. Marvel itu sendiri. Dalam kehidupan nyata, Ms. Marvel setara dengan generasi ketiga imigran muslim di AS dan Eropa yang telah mengasimilasikan diri dengan nilai dan gaya hidup Barat, berbeda dari kakek-nenek mereka yang masih memegang ajaran Islam sebaik-baiknya. Ia adalah sosok “good muslim” yang diperhadapkan dengan “bad muslim” dalam kategori George W. Bush dan para pengikutnya, atau sosok “American/European Islam” dalam konstruksi para Orientalis. “Bad muslim” atau “American/European Islam” adalah seseorang dengan identitas keislaman, termasuk sejak dari nama diri mereka, tetapi berpikir dan bertindak sama belaka dengan rekan-rekan Barat mereka.
Di tingkat akademis, mereka adalah kalangan liberalis muslim yang menerima premis-premis Orientalisme atau pendekatan Religious Studies yang sekular ketika mengkaji Islam. Di tingkat masyarakat umum, mereka adalah yang menerima norma-norma Barat, alih-alih syari’at dan akhlak Islam, dalam kehidupan sehari-hari. Kedua kelompok ini berbagi peran dalam menjaga tatanan demokrasi liberal dan ekonomi neoliberal, dan akan diperhadapkan dengan kelompok Islam ‘konservatif’ atau ‘radikal’; label yang digunakan Barat untuk mengelompokkan siapa saja yang mengancam segala cita-cita mereka, bahkan jika ia adalah seorang muslim yang wasati dan berakhlak mulia sekalipun.
Dengan daya kritis seperti itulah, menurut saya, Ms. Marvel sebaiknya disambut oleh masyarakat muslim. Karena tak berkepentingan menjadikan analisis ini ideologis apalagi konspiratif, saya tak mempermasalahkan bahkan justru menganjurkan kaum muslim penyuka Marvel untuk tetap menontonnya dengan penilaian masing-masing. Lebih bagus lagi jika Anda berkenan menceritakannya ke saya yang tidak, atau setidaknya belum, tertarik untuk menonton.
Satu hal yang pasti: jika ingin mencari sosok muslim Barat ideal hari ini, temukanlah hal tersebut pada Hamza Yusuf, Timothy Winter, Inggrid Mattson, dan para juru bicara Islam lain di sana, bukan pada sosok yang bingung dengan identitasnya sendiri sambil inferior meniru nilai-nilai Barat. Jangankan di AS dan Eropa, sosok seperti itu sudah bisa kita temui bahkan di Ciputat, Depok, atau Sleman, dan sampai sejauh ini tak pernah sungguh-sungguh duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan Barat yang mereka kagumi.
Wallahu a’lam.
Salatiga, dini hari, 20 Maret 2022
Catatan dari Fajri: tulisan ini awalnya saya dapatkan dari beliau di suatu grup WhatsApp dan beliau bagikan lagi di Media Sosial. Penulisnya adalah orang yang sangat luas ilmunya, dan saya pun banyak berguru padanya walaupun secara usia saya beberapa tahun lebih tua. Saya fikir penting sekali tulisan ini dibagi, maka saya pun minta izin pada beliau untuk membaginya.
MENELITI BERSAMA DOSEN: GIMANA CARANYA?
Sebagai dosen yang lumayan suka meneliti bareng mahasiswa, dalam post ini saya ingin berbagi sedikit kepada mahasiswa tentang serba-serbi penelitian bersama dosen. Kebetulan kemarin ngobrol dengan mahasiswa, dan saya fikir baiknya saya tulis sekalian supaya banyak yang tahu. Semoga bermanfaat!
(more…)DID THE MUFASSIRIN THINK THAT SURAH AL-KAFIRUN AYAT 6 WAS ABOUT TOLERANCE?
Introduction
Ayat 6 of Surah Al-Kafirun (لكم دينكم ولي دين), translated by Saheeh International as “for you is your religion, and for me is my religion”, is now often cited by many people as a basis for tolerance in Islam. Meaning, according to them, to show the respect and peace between Muslims and persons of other faiths. However, did the mufassirin understand this particular ayat to mean tolerance? In this post I share a short summary of what this ayat is about according to 12 tafsir works I have access to.
(more…)