Adab: Antara Dosen dan Mahasiswa
Hari ini saya menerima Screenshot percakapan antara seorang dosen dan mahasiswa dari Malaysia, dan saya melihat ada beberapa hal yang bisa dipelajari dari percakapan tersebut.
.
Berikut Screenshot percakapan yang dimaksud:
Bagi saya, kedua belah pihak dalam percakapan ini bisa diambil jadi pelajaran.
Bagi Mahasiswa:
1. Lihatlah waktu si mahasiswa membalas si dosen. Sekian jam setelah si dosen mengirim pesan, dan juga larut malam. Tentu lebih baik untuk segera membalas, apalagi kalau dosen. Tapi kalau memang ada halangan untuk membalas (hidup kita bukan hanya untuk membalas pesan, apalagi kasus di sini si mahasiswa mungkin sedang mengurusi kewafatan ayahnya), ahsannya meminta maaf ketika akhirnya sempat membalas. Si mahasiswa di sini meminta maaf di pesan jam 9.44pm sebagaimana dalam SS. Ini contoh yang baik, walaupun mungkin lebih baik kalau si mahasiswa memulai dengan permohonan maaf (bukan di akhir). Redaksi bisa disesuaikan dengan bahasa dan budaya masing-masing.
2. Gunakan panggilan kehormatan yang lazim dalam budaya akademik setempat. SS WA ini adalah di Malaysia, dan sependek pengalaman saya kuliah di sana memang lazimnya memanggil DR kepada yang sudah DR. Kalau di Indonesia, budayanya lain. Rasanya belum lazim memanggil DR kepada dosen yang sudah DR, umumnya dipanggil Pak/Bu atau Mas/Mbak (terutama di Jogja) sesuai usianya. Kalau Professor mungkin baru dipanggil Prof, tapi saya sering lihat juga Professor dipanggil Bapak atau Ibu. Jangan dipanggil “Abang” kalau beliau sudah sepuh, apalagi kalau kamu masih muda!
Kenali juga budaya-budaya yang berbeda di beraneka tempat. Sebab, negara atau bahkan daerah yang berbeda bisa punya adat yang berbeda. Kita pun harus sikapi dengan menyelaraskan sikap pribadi dengan budaya setempat itu. Misalnya, kalau mahasiswa Indonesia ke Malaysia maka panggillah dosen kita dengan Dr atau Prof, jangan Bapak/Ibu sebagaimana kebiasaan kita. Tapi kalau ke UK, secara asalnya panggillah seperti itu kecuali kalau orangnya menolak. Misalnya, Prof Alan Boyle yang mengajar saya dulu (coba google, Prof Alan Boyle Edinburgh University, lihat profil dan kredensialnya luar biasa.. dan sudah sepuh sekali, sekarang pensiun) biasanya minta dipanggil “Alan” saja oleh murid-muridnya. Jadi, ya, lain ladang lain belalang. Sesuaikanlah, sebab dri Sumatera pindah ke Jogja (atau sebaliknya) pun bisa culture shock luar biasa! Dan poin ini pun harus difahami oleh si dosen!!! Jangan kaget kalau ada mahasiswa Sumatera atau bahkan Jakarta yang terasa ‘tidak sopan’ bagi telinga orang Jawa Kromo Inggil, padahal ia baru datang ke Jogja sebentar setelah hampir dua dekade hidup dengan dialek daerah asalnya!
.
Bagi dosen
1. Sombong amat baru doktor kelakuan begitu. Murid wajib hormat pada guru, dan saya meyakini itu. Jadi walaupun saya sudah bukan jadi murid lagi, bahkan saya jadi kolega mereka, saya tetap sangat menghormati. Bahkan guru-guru saya di SD, SMP, SMA dulu yang gelar akademiknya sekarang hampir semuanya sudah kalah dengan saya, tetap saya cium tangannya kalau ketemu. Selain karena usianya, juga karena jasa-jasa mereka mengajar saya.
Tapi tidak satupun dari mereka gila hormat, dan justru itulah yang membuat saya semakin menghormati mereka. Perlu disadari bahwa guru yang gila hormat akan membuat kami para muridnya bertanya-tanya apa dia memang pantas dihormati. Kalau kami mengingat-ingat guru yang seperti itu yang ada hanya umpatan dan istighfar, tidak ada senyum-senyum atau mendoakan. Kalau begitu, dosen yang seperti itu harus bertanya-tanya: is it worth it?
Walaupun saya tentu terus terang agak merasa kesal kalau ada mahasiswa yang kurang sopan. Bukan soal gelar, tapi biasanya langsung to the point tanpa basa basi (kecuali mahasiswa yang memang sudah biasa kontak-kontakan dan gojeg-gojegan, itu lain ya). Atau, kalau menulis email tanpa subject dan tanpa pengantar. Tapi di sini, rasa ‘kesal’ ini memang benar cuma ‘agak’, karena lebih besar kekhawatiran saya pada dia. Bagaimana kalau dia melamar kerja atau beasiswa seperti itu? Bagaimana kalau dia bicara dengan atasannya seperti itu? Atau, dengan dosen lain yang memang gila hormat?
Saya meyakini bahwa mayoritas kasus seperti itu adalah karena mahasiswa kurang faham. Kita tidak tahu latar belakang dia, bahkan terkadang yang meng-email saya itu memang dari desa yang se-desa itu dan kurang paham dan biasa menggunakan email. Sebagai seorang guru, saya yakin tugas saya bukan cuma mengajarkan hukum internasional tapi hal-hal seperti ini. Karena, apa sih kesenangan seorang guru terkait muridnya kalau bukan melihat dia sukses? Maka kalau terjadi seperti ini (lumayan sering dalam urusan email), fokus saya bukan pada memarahi tapi lebih pada menasehati dia. Mumpung kesalahannya terjadi kepada guru yang memang tugasnya ngajari dia. Makanya, khusus soal email, saya sampai membuat post khusus.
2. Itu clear pesan mahasiswa dalam keadaan berdukacita, tentu ahsan (dan adab baik) untuk menyampaikan turut berdukacita. Demikian terlukanyakah harga diri sebab tak dipanggil DR, sampai hati pun sematirasa itu?
Saya sering menerima kabar seperti ini dari mahasiswa ketika izin bolos kuliah. Misalnya, dia atau keluarganya sedang sakit sehingga perlu dirawat atau merawat, atau keluarganya ada yang meninggal. Insha’Allah tidak berat dan tidak pula mahal bagi kita untuk mengucapkan belasungkawa (kalau ada yang meninggal) atau mendoakan cepat sembuh. Tidak sulit juga untuk kita sekedar menanyakan apakah ada yang bisa kita bantu, kalau dia memang ada kesulitan.
3. Jawablah salam itu. Sebegitunyakah tidak suka kerana tidak dipanggil DR, tapi tidak beradab pada salam sunnah Rasul? Saya tahu bahwa si dosen pun Muslim, dan yakin pula bahwa dia memahami cara menjawab salam. Hukum memulai salam adalah sunnah, sedangkan menjawabnya adalah wajib. Ini adalah salah satu kewajiban berupa adab berhubungan sosial yang disyariatkan oleh agama. Sungguh sangat ironic ketika si dosen marah ketika mahasiswa dianggapnya tidak beradab padanya, tapi ia sendiri tidak beradab pada si mahasiswa sekaligus pada Allah dan Rasul-Nya.