Pertanyaan-Pertanyaan Seputar Konsentrasi (Khusus S1 Fakultas Hukum UGM)

Konsentrasi adalah salah satu pilihan yang penting dilakukan mahasiswa Fak Hukum UGM di semester 5 atau 6. Tapi ada dua isu: (a) banyak kebingungan di sebagian mahasiswa tentang serba-serbi konsentrasi, dan (b) banyak kesalahpahaman tentang konsentrasi. Karena itu, berikut beberapa pertanyaan yang saya dapatkan dari mahasiswa tentang konsentrasi beserta jawaban dari saya.

Post ini adalah living post jadi silahkan kalau ada yang mau ditanyakan boleh komen atau japri saya, inshaAllah saya coba jawab. Boleh tanya tentang konsen mana saja, kalau tentang konsen selain Hukum Internasional akan saya coba tanyakan ke dosen di departemen yang relevan. Tapi, jangan tanya tentang prosedur ya, mayoritas jawaban ada di buku pedoman 😊

======================

LIST PERTANYAAN (SEMENTARA)

Pertanyaan Pertama: Konsentrasi Itu Apa Sih?

Pertanyaan Kedua: Apa Betul, Pilihan Konsentrasi Menentukan Karir Masa Depan?

Pertanyaan Ketiga: Lantas, Konsentrasi Tidak Ada Hubungan Dengan Karir Masa Depan?

Pertanyaan Keempat: Apa Pertimbangan Memilih Konsentrasi?

Pertanyaan Kelima: Apa Pertimbangan Memilih Mata Kuliah Konsentrasi?

Pertanyaan Keenam: Lebih Valid Minta Nasehat Kakak Tingkat atau Dosen?

Pertanyaan Ketujuh: Bagaimana Cara Memilih Pembimbing Skripsi?

Pertanyaan Kedelapan: Bisa Ganti Pembimbing Skripsi?

Pertanyaan Kesembilan: Daftar Konsentrasi Hukum Internasional Disuruh Mengisi Judul Skripsi, Apakah Mengikat?

Pertanyaan Kesepuluh: Skripsi Itu Susah Nggak Sih?

(silahkan tambahkan kalau ada pertanyaan lain)

Bonus Pesan Sponsor: Pamer Dikit Publikasi Mahasiswa Konsen Hukum Internasional

========================

JAWABAN

.

Pertanyaan Pertama: Konsentrasi Itu Apa Sih?

Sederhananya, “konsentrasi” di prodi S1 Fakultas Hukum UGM itu adalah semacam program peminatan menuju ke skripsi. Mahasiswa di semester 5 atau 6 (tergantung IUP atau Reguler) akan mengambil sekian mata kuliah khusus yang diampu oleh salah satu departemen, dan tentunya departemen kan mewakili salah satu bidang hukum ya.. Misalnya Hukum Pidana, Hukum Internasional, Hukum Tata Negara dll.

Total mata kuliah adalah 7 atau 5 tergantung ambil program reguler atau IUP (14 atau 15 SKS) yang mayoritasnya harus dari departemen tempat kita ambil konsentrasi, tapi bisa juga ambil sebagian mata kuliah dari departemen lain lho untuk variasi dan mix-match ilmu.

Di penghujung, kita akan menulis skripsi yang diampu pembimbing dari departemen tersebut (sebagian departemen, bisa mulai menulis ketika masih mengambil mata kuliah konsentrasi) lalu kalau selesai akan disidang.

.

Pertanyaan Kedua: Apa Betul, Pilihan Konsentrasi Menentukan Karir Masa Depan?

Jawaban ringkasnya: kalau ‘menentukan’, TIDAK.

Ternyata, banyak yang keliru mengira bahwa untuk menjadi corporate lawyer harus ambil konsentrasi hukum bisnis, sehingga kalau mengambil konsentrasi lain tidak bisa menjadi corporate lawyer. Kenapa keliru? Setidaknya ada tiga alasan:

Pertama, dari sekian banyak lowongan kerja khas hukum yang pernah saya lihat, nyaris tidak ada yang mencantumkan syarat konsentrasi. Hanya satu saja dulu (lupa di mana) yang secara khusus meminta pelamar berkonsentrasi bisnis atau perdata, sedangkan sekian ratus lowongan hukum lainnya tidak menyebutkan apapun.

Kedua, program S1 itu mensyaratkan 145 SKS untuk mendapatkan gelar sarjana. Sedangkan konsentrasi itu hanya 18 atau 19 SKS (14 atau 15 SKS kelas, 4 SKS skripsi), atau tidak sampai seperlimanya lho. Tidak mungkin standar kompetensi seorang sarjana hukum hanya ditentukan oleh konsentrasi pilihannya semata.

Ketiga, secara empirik ternyata banyak sekali yang kerja tidak sesuai konsentrasinya. Ada yang konsentrasi Hukum Administrasi Negara, kerja di ASEAN (organisasi internasional). Ada yang konsentrasi hukum bisnis, sekarang jadi diplomat di Kemenlu. Ada yang konsentrasi pidana, jadi dosen hukum perdata. Ada yang konsentrasi hukum internasional, sekarang jadi corporate lawyer. Ada yang konsentrasi perdata, sekarang jadi jaksa. Dan lain sebagainya.

***

FYI, menurut pengalaman sebagian alumni yang kerja jadi corporate lawyer (sebagian lain gak gw tanya soalnya), apa yang dipelajari di kampus –bahkan yang konsen hukum bisnis—itu nyaris tidak berpengaruh waktu jadi lawyer. Seakan-akan belajar dari awal lagi, sampe yang dulunya konsen hukum bisnis itu tidak punya ‘starting point lebih’ yang signifikan dibandingkan yang konsennya bukan hukum bisnis lho.

.

Pertanyaan Ketiga: Lantas, Konsentrasi Tidak Ada Hubungan Dengan Karir Masa Depan?

Kalau ‘menentukan’, tidak. Kalau ‘berkontribusi’, MUNGKIN.

Semua pilihan kita seyogianya dibuat dengan memikirkan tujuan kita ke depan. Kalau belum tahu apa tujuan kita, maka tujuannya sementara adalah mencari apa tujuan kita itu. Tidak ada orang yang bilang “Saya mau jadi dokter! Masuk fakultas teknik aaaaaaaaaaaaah”.

Maka jika ada pilihan jurusan kuliah (waktu kita SMA), baiknya memilih sesuai cita-cita mau jadi apa. Kalau sudah sedang kuliah lalu dapat pilihan mata kuliah, baiknya mengambil pilihan yang memberikan pengetahuan atau keterampilan yang kiranya lebih kita butuhkan untuk cita-cita ke depan tersebut. Konsentrasi pun demikian.

Lho, katanya belum tentu?

Nah, masa depan kita kan nggak tau. Itu Allah yang menentukan. Sambil jalan nanti kita bisa punya minat dan kesempatan baru, jangankan kerja di bidang yang konsentrasinya lain, bisa juga malah kerja di bidang yang bahkan non-hukum. Tapi, kita kan tidak bisa meramal ya. Membuat rencana, mengambil pilihan-pilihan untuk membangun rencana tersebut, itu adalah bagian dari ikhtiar (usaha baik) kita. Wajar kalau kita bercita-cita bekerja di bidang hukum tata negara, lalu kita memilih untuk mengambil kuliah-kuliah yang khusus tentang hukum tata negara ketika ada pilihan untuk itu.

Makanya, pemilihan konsentrasi ini bukannya tidak penting. Justru, dia salah satu cara untuk mengupayakan cita-cita kita. Hanya saja, dia bukan satu-satunya cara dan bahkan bukan cara yang paling dominan untuk mencapai cita-cita kita itu.

.

Pertanyaan Keempat: Apa Pertimbangan Memilih Konsentrasi?

Secara umum, sebagaimana jawaban pertanyaan sebelumnya, ya pilih sesuai cita-cita ke depan. Masalahnya, kan nggak selalu semudah itu ya. Mungkin masih labil sama pilihan, atau kadang minat nggak sesuai sama nilai, dan lain sebagainya. Jadiiii ini ada beberapa pointers saja:

  • Paling utama, eliminasi dulu konsen yang (a) nilai kamu gak cukup dan kamu ga se-pengen itu untuk nunggu ngulang dulu, dan (b) yang tidak terbuka untuk program kamu, khususnya untuk IUP yang pilihan konsen-nya cuma empat.
  • Pilih yang kiranya lebih sesuai dengan cita-cita (klo udah punya yang clear)
  • Pilih yang mata kuliah prasyaratnya dulu kamu enjoy.
  • Pilih yang mayoritas mata kuliahnya lebih kelihatan menarik.
  • Pilih yang dosen-dosennya lebih keliatan menyenangkan dan/atau keren kalo nulis surat rekomendasi.

Makin banyak poin yang bisa dipenuhi, makin bagus. Tapi kalo nggak semuanya, ya nggak papa juga. Yang penting, mungkin itu aja yang dipertimbangkan. FYI, sangat mungkin seseorang sebenernya pengen jadi corporate lawyer tapi suka banget sama dosen dan kuliah di konsen HTN jadi dia tetep konsen HTN aja supaya happy dan enak lulusnya kemudian lulus tetep daftar corporate law firm (lihat juga catatan terakhir di Pertanyaan Kedua).

.

Pertanyaan Kelima: Apa Pertimbangan Memilih Mata Kuliah Konsentrasi?

Konteks pertanyaan ini: di mayoritas konsentrasi, ada mata kuliah wajib dan ada juga mata kuliah pilihan, tapi harus mengambil total jumlah mata kuliah konsentrasi sekian (7 untuk reguler, 5 untuk IUP). Kalau yang wajib ya artinya harus diambil ya. Maka pertanyaan ini fokus ke mata kuliah pilihan.

Mata kuliah pilihan ini bisa kita pilih dari departemen kita sendiri, ataupun dari departemen lainnya. Saya sendiri dulu mengambil dua mata kuliah lintas konsentrasi, satu dari Hukum Islam satu lagi dari Hukum Administrasi Negara. Bagaimana memilihnya?

Ada beberapa pointers:

  • Mana yang kontennya kita butuhkan untuk cita-cita kita, yang bisa jadi membutuhkan pengetahuan hukum yang multidisipliner.
  • Mana yang kelihatannya menarik dan kita bisa enjoy, baik dari segi konten maupun dosen pengajarnya.
  • Mana yang lebih mudah/susah nilainya, mempertimbangkan trend tahun sebelumnya dan jenis peniliannya.
  • Jangan takut mix and match dengan mata kuliah dari department lain, kalo kamu emang merasa pengen dan butuh!

.

Pertanyaan Keenam: Lebih Valid Minta Nasehat Kakak Tingkat atau Dosen?

Di satu sisi, pengalaman mahasiswa diajar atau dibimbing oleh dosen tertentu atau mengambil mata kuliah tertentu, tentu akan valid sebagai pengalaman empiris. Sangat penting bertanya kepada kakak tingkat yang sudah pernah mengambil mata kuliah atau diajar/dibimbing dosen tertentu untuk tahu seperti apa prospek dan tantangannya juga bagaimana mengatasinya.

Di sisi lain, sebagai dosen yang pernah diajar oleh dosen-dosen yang kini jadi kolega, saya melihat banyak sekali miskonsepsi oleh mahasiswa. Seringkali mahasiswa mengalami sesuatu dengan kelas atau dosen tertentu, tapi mereka salah memahami apa yang mereka alami sehingga menyimpulkan dengan keliru.

Balik ke sisi yang pertama tadi, mahasiswa juga sering kok menyimpulkan dengan benar. Atau, kadang juga informasinya benar tapi parsial. Nah, terus gimana dong?

Jawabannya cliché: harus minta nasehat keduanya. Idealnya kita membina hubungan baik dengan DPA kita. Mereka belum tentu merupakan dosen di departemen tempat kita konsentrasi. Selain itu, ada baiknya juga kita bangun relasi dengan setidaknya sebagian dosen, atau kalaupun tidak jangan ragu untuk coba mulai dekati dosen untuk minta nasehat. Hal terburuk yang mungkin terjadi adalah dibilang “maaf saya sedang sibuk”, dan kita tinggal mencari dosen lain untuk ditanya.

Selain itu, tanya-tanya juga ke kakak kelas. Kombinasikan informasi yang didapatkan, mudah-mudahan bisa dapet konklusi yang lebih akurat.

.

Pertanyaan Ketujuh: Bagaimana Cara Memilih Pembimbing Skripsi?

Terkait memilih pembimbing skripsi, setiap departemen bisa punya praktek yang berbeda-beda. Ada departemen yang mahasiswanya harus mengajukan judul, kemudian ketua departemen yang memilihkan Dosen Pembimbing Skripsi (DPS) sesuai tema yang diajukan. Kalau sistemnya seperti ini, maka kemungkinan besar mendapatkan pembimbing yang bidang risetnya sesuai dengan judul yang kita ajukan. Ini juga bisa jadi strategi, kalau mau dapat dosen tertentu maka pilihlah tema yang paling sesuai dengan bidang si dosen tersebut. Bahkan, kadang-kadang bisa approach personal ke ketua departemen dan dosen yang bersangkutan, siapa tahu dikasih. Tapi, perlu diketahui bahwa ini bukan pertimbangan utama. Pemerataan jumlah bimbingan juga dipertimbangkan, karena kasihan kalau ada dosen yang bimbingannya terlalu banyak dan dosen lain yang malah tidak ada bimbingan.

Tapi, tidak semua departemen seperti itu. Departemen Hukum Internasional, misalnya, dari awal kalian daftar konsentrasi itu langsung dikasih DPS. Harapannya adalah supaya (kalau mau ya) bisa penjajakan dari awal, eksplorasi, siapa tahu bisa ikutan proyek dosen tersebut. Pertimbangan utama di Departemen Hukum Internasional adalah kelowongan dosen untuk distribusi jumlah bimbingan. Mahasiswa juga mengisi “judul skripsi” di formulir ketika mendaftar konsentrasi, itu mungkin juga jadi pertimbangan kesekian tapi jelas bukan pertimbangan utama.

Perlu dipahami bahwa memang idealnya sebuah skripsi dibimbing oleh dosen yang memang berminat riset di bidang itu. Tapi, skripsi itu kan Cuma tingkat sarjana jadi tidak seurgen itu sebenarnya. Tingkat kedalaman kajiannya tidak sampai level disertasi yang memang segitunya perlu pengetahuan spesifik sub-bidang untuk membimbingnya. Jadi yang penting masih sesama bidang hukumnya (misalnya, sesama hukum pajak) insha Allah tidak masalah.

.

Pertanyaan Kedelapan: Bisa Ganti Pembimbing Skripsi?

Tidak semua pengalaman bimbingan skripsi itu enak. Ada beberapa pengalaman yang kurang enak, dan bahkan kadang ada yang sangat tidak enak sampai sulit melanjutkan penulisan skripsi. Atau, ada juga yang sebenarnya tidak masalah dengan DPS-nya, tapi ada dosen lain yang kamu lebih kepingin. Mekanisme pindah DPS bisa berbeda antar departemen, dan setidaknya akan ada dua poin: (a) persetujuan DPS lama, dan (b) persetujuan ketua departemen. Tapi, ada tiga nasehat saya terkait hal ini:

Nasehat pertama saya adalah untuk meminta nasehat dosen lain dan/atau kakak kelas (terutama yang pernah dibimbing oleh beliau). Bisa jadi masalahnya ada di kamu, atau jangan-jangan kesulitan-kesulitanmu adalah sesuatu yang sebenarnya wajar? Ini kalau ada masalah ya.

Nasehat kedua saya adalah memastikan dulu kondisi hubungan kalian dan konsekuensinya ke depan. Prinsipnya, ganti pembimbing itu sesuatu yang prosedural saja dan harusnya bukan hal yang membawa baper. Sayangnya, sebagian dosen akan mengambil hati betul kalau kalian minta pindah. Menurut saya sih harusnya nggak usah baper, tapi kalau berpegang pada ‘harusnya’ lalu kemudian langkah kalian di kelas konsentrasi terhambat, gimana?

Ini bukan berarti jangan pindah ya, tapi kalian harus bisa mengukur dampaknya. Di sini, sangat penting berkonsultasi dengan dosen lain yang se-departemen, untuk menanyakan bagaimana cara memitigasi dampak buruk yang mungkin terjadi (atau malah tidak ada masalah? Tergantung person masing-masing). Lebih bagus lagi kalau bisa konsultasi dengan dosen yang kamu mau jadikan DPS pengganti.

Nasehat ketiga, kalau memang akhirnya mau pindah, kulo nuwun dulu secara personal kepada DPS yang lama. Jangan tiba-tiba todong DPS lama minta tandatangan surat pindah departemen. Datangi secara personal dan minta tandatangan atau persetujuan di situ, sambil ngobrol basa basi lah. Ini masih relevan dengan poin kedua tadi.

.

Pertanyaan Kesembilan: Daftar Konsentrasi Hukum Internasional Disuruh Mengisi Judul Skripsi, Apakah Mengikat?

Kalau daftar konsentrasi Hukum Internasional, waktu daftar konsentrasi ada formulir yang harus kamu isi dan salah satu kolomnya adalah mengisi judul skripsi yang diinginkan.

Ternyata, menurut pengalaman, lumayan banyak mahasiswa yang galau mengisi ini. Panjang sekali bertapanya, karena begitu banyak yang dipikir. Maka saya sampaikeun di sini bahwa judul yang akan kalian isi di situ adalah TIDAK MENGIKAT. Mayoritas mahasiswa yang saya bombing, bahkan diri saya sendiri, akhirnya menulis skripsi yang beda sekali dengan draft yang awalnya saya tulis di formulir waktu daftar konsentrasi.

Alasannya sederhana: kalian baru mau masuk konsentrasi, belum mendapatkan matkul-matkul untuk mendalami konsentrasi kalian yang sangat mungkin kalian justru akan terinspirasi dan mendapatkan dasar-dasar untuk menulis skripsi kalian dari situ. Masa kita malah mengikat kalian pada sebuah judul sebelum kalian mempelajari semua itu?

Maka pertanyaannya: terus, ngapain dong ditanya di formulir? Jawabannya: sekadar untuk ancer-ancer awal saja buat kalian. Di pertanyaan ketujuh saya tulis bahwa judul ini mungkin menjadi pertimbangan bagi ketua departemen dalam memilihkan DPS untuk kalian, tapi ya belum tentu jadi pertimbangan dan kalaupun iya maka ya jadi pertimbangan nomor sekian. Jadi, intinya, nggak penting-penting amat.

Prakteknya, nanti kalian dalam menentukan judul skripsi akan diskusi dengan DPS. Pengalaman saya, mayoritas nggak pernah melihat lagi formulir yang kalian isi dulu itu. Jadi nggak usah pusing, diisi random juga nggak papa, atau ya sekedar menulis tema-tema umum yang kamu tertarik (misal “saya ingin menulis sesuatu tentang hukum ruang angkasa”) gitu aja nggak papa kok.

.

Pertanyaan Kesepuluh: Skripsi Itu Susah Nggak Sih?

Menurut saya pribadi, tidak. Tema dan judulnya kamu pilih sendiri, punya waktu satu semester (atau bahkan lebih, kalo se-betah itu dengan FH UGM. Susah-susah masuk UGM, kok cepet-cepet mau keluar sih? Haha) buat ngerjakan, ada dosen yang khusus membimbing kamu, enak banget toh? Coba kalo ini diterapkan di ujian mata kuliah lain, enak banget kan ya?

Cuma, kenyataannya kan ternyata nggak selalu semudah itu. Saya sendiri ngerjakan skripsi total hampir 3 bulan, karena ngerjakannya sambil malas-malasan plus sambil ngulang banyak banget matkul di semester itu. Bimbingan saya ada pula yang ngerjakan dua bulan. Tapi, ada juga yang sampe lebih setahun nggak selesai. Lantas gimana tuh?

Jawabnyaaa ya tergantung person masing-masing. Hanya saja, menulis skripsi itu beda banget dengan mata kuliah pada umumnya. Mungkin yang agak mirip adalah mata kuliah konsentrasi yang nilai akhirnya pake paper, itupun nggak se-sama itu. Jadi, kita belum punya pengalaman. Plus, jujur saja, pengalaman saya kuliah Metode Penelitian waktu S1 (dan saya curiga sampai sekarang masih sama), sangat tidak membantu. Matkul tersebut cuma ngajarin teknis formil bikin proposal, tapi nggak bener-bener mengajarkan secara mendalam apa itu penelitian dan bagaimana cara meneliti.

Kalau saya, dalam beberapa tahun belakangan punya pendekatan khusus terkait hal ini. Semua bimbingan saya yang baru akan saya kumpulkan lalu kita semacam ‘penyamaan persepsi’ tentang apa itu penelitian, bagaimana cara meneliti, dan khususnya bagaimana cara mendesain penelitian. Tapi nggak semua DPS melakukan ini sih.

Untuk bahas skripsi bisa bikin satu buku sendiri. Tapi berikut beberapa nasehat umum saya untuk melancarkan penulisan skripsi:

Pertama, kenalilah cara untuk mendesain penelitian, dan desainlah penelitianmu dengan baik dari awal. Kalau DPS nggak ngajarin, carilah cara untuk belajar. Teknologi udah maju kan hehe.

Kedua, untuk mendukung yang pertama, seawal mungkin kamu harus membentuk pola belajar yang tidak jauh dari riset. Bacalah artikel jurnal yang banyak untuk menunjang materi, jangan cuma belajar isinya tapi amati cara penulisnya mendesain penelitiannya (PS: mahasiswa emang harusnya banyak baca ya). Kalau bisa, ikutlah hibah-hibah penelitian yang ditawarkan kampus dan/atau menelitilah bersama dosen. Kalo gini, begitu mau nulis skripsi inshaAllah nggak seasing itu.

Ketiga, kenalilah dirimu sendiri dan bagaimana memicu performamu yang terbaik. Misalnya, ada yang lebih semangat kalo sambil multi-tasking, tapi ada juga yang lebih bisa kerja kalo fokus ke satu kerjaan saja. Yang terpenting juga di sini, know when you need help and know who to ask. Kenalilah kalo kamu mulai stressnya berlebih dan malah nyambung ke anxiety (kecemasan) dan butuh bantuan professional.

Keempat, berdoa kepada Allah untuk mendapatkan DPS yang enak, karena mayoritas kasus kalian nggak banyak pilihan. Berkomunikasilah intensif dengan mereka, dan mintalah nasehat mereka kalau kamu ada masalah dalam pengerjaan skripsi.. Bagus juga untuk kalian riset ke senior atau dosen lain, gimana sih personal-nya DPS kalian? Apa yang kalian harus ketahui kalau dibimbing oleh beliau? Baca juga ini.

Kelima, pilihlah judul yang kamu memiliki passion tentangnya. Ini bukan hanya cliché semata, tapi passion yang benar akan melahirkan keinginan untuk mempelajari lebih dalam. Dan ini bukan bicara skripsi, tapi belajar secara umum. Ketika kalian kuliah di Fakultas Hukum, seharusnya kalian punya passion tertentu. Mungkin semester demi semester passion tersebut akan makin kuat, atau malah berubah, demikian pula ketika kalian memilih konsentrasi dan mengambil mata kuliah konsentrasi. Dan, ilmu itu TIDAK BOLEH hanya terbatas ruang kelas. Justru, idealnya ilmu itu mayoritasnya dari luar kelas. Bacalah, ikutilah diskusi, carilah expert atau komunitas untuk mendalami lebih lanjut, dan lain sebagainya. Itu namanya passion. Sehingga, ketika sampai pada saat kalian memilih judul skripsi, seharusnya tidak bermula dari titik nol kayak isi bensin.

Keenam, pilihlah judul yang sesuai kebutuhanmu. Passion itu ideal, tapi bukan syarat mutlak. Saya melihat ada trend berbeda-beda di mahasiswa yang menulis skripsi. Ada yang menulis sesuatu karena memang passion ingin memecahkan masalah tertentu yang dia sangat concern, ada yang flexing mau menunjukkan kebolehannya dalam mengkaji isu yang besar, ada yang cuma pengen lulus aja gak mau susah. Komunikasikan ini dengan DPS kalian, supaya sama-sama bisa tahu apa ekspektasinya dalam penulisan skripsi ini sesuai kemampuan dan sisa waktu yang kalian punya.

FYI “Cuma pengen lulus aja gak mau susah” ini bukan aib ya. Justru, salah satu bimbingan saya yang paling brilian malah skripsinya seperti itu. The thing is, hidup ini kan bukan buat skripsi aja ya. Setiap orang punya prioritasnya masing-masing. Bisa aja sekian tahun di FH UGM, akhirnya merasa gak mau berkarir di bidang konsentrasinya (atau bahkan gak mau berkarir di bidang hukum) jadi Cuma sekadar mau lulus aja terus mau move on. Itu pilihan.

Ketujuh, skripsi bukan mahakarya. Skripsi memang mewakili apa yang kalian pelajari selama sekian tahun kuliah, mungkin bukan secara tema (karena judul skripsi kan spesifik banget, dibandingkan dengan sekian puluh mata kuliah yang kalian ambil) tapi secara pembentukan kompetensi dan wawasan seorang pelajar hukum. Tapi, at the end of the day, mau didramatisir seperti apapun juga, ini ‘cuma’ skripsi saja. Bukan Thesis, Disertasi, atau semisalnya. Bukannya saya mau bilang jangan dikerjakan dengan serius, justru kalian harus serius karena mau lulus kan ya?

Poin saya adalah, don’t be too hard on yourself. Tidak sedikit mahasiswa yang terlalu stress karena dia terlalu perfectionist. Mendapatkan gelar sarjana itu bukan akhir perjuangan, justru dia adalah awal perjalanan kalian.

.

Bonus Pesan Sponsor: Pamer Dikit Publikasi Mahasiswa Konsen Hukum Internasional

Satu fitur menarik dari konsentrasi hukum internasional adalah semangat publikasi di kalangan mahasiswa. Silahkan melihat daftar publikasi mahasiswa konsentrasi hukum internasional di bagian paling bawah pada halaman ini. Akan terlihat banyak sekali publikasi mahasiswa konsen di sana.

Kenapa banyak publikasi mahasiswa? Setidaknya ada tiga alasan:

Pertama, ada sebagian mata kuliah yang menjadikan penulisan paper atau opini tertulis sebagai tugas atau penilaian akhirnya. Rasanya sayang, mahasiswa sudah capek-capek berfikir keras berargumentasi tapi yang menikmati cuma dosennya dan satu atau dua temannya. Masyarakat pun berhak atas kontribusi ilmiah kita! Lagipula, akan sangat bermanfaat bagi mahasiswa jika ia lulus bukan hanya dengan nilai baik tapi ada tambahan prestasi berupa publikasi di CV-nya, bukan?

Kedua, tentu ada di kalangan mahasiswa yang agak ambis sehingga banyak tulisan, bahkan kadang saling balas. Dan di sini saya tidak menggunakan kata itu secara negatif, karena ambisius –selama tidak melakukan hal yang tidak etis apalagi melawan hukum– adalah hal yang baik. Yang sangat negatif, dan ini betul terjadi, adalah ketika kalian yang “tidak ambis” mulai menjelek-jelekkan yang “ambis” sehingga orang jadi takut mau “ambis”. Akhirnya nggak jadi maju ke full potential. Sedangkan penulisan seperti ini bermula dari concern ketika ada kemunkaran terjadi di sekitar kita, yang tentu jadi amanah bagi orang-orang yang punya ilmu relevan.

Ketiga, mahasiswa konsen HI punya tradisi selama 4 tahun ini. Kadang ketika ada pejabat publik atau tokoh ngomong sesuatu yang relevan dengan hukum internasional yang menyesatkan masyarakat, mahasiswa kami maju untuk mengklarifikasi di media massa. Anggota DPR? Hajar. OPM? Hajar. Perdana Menteri Belanda? Hajar. Saya berharap tradisi ini bisa terus berjalan, atau bahkan terus meningkat.