Home » Train of Thought

Category Archives: Train of Thought

Archives

Modus Operandi Pemalsu Hadits dan Pelanggaran Etika Publikasi: Ketika Pencatut Mencatut-Catut

Modus Operandi Pemalsu Hadits dan Pelanggaran Etika Publikasi: Ketika Pencatut Mencatut-Catut

Fajri M. Muhammadin

Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada

Pemalsu hadits adalah salah satu perusak agama. Prinsipnya, yang dikatakan sebagai pemalsu hadits adalah penyandaran informasi secara palsu kepada Nabi Muhammad ﷺ. Mereka dikatakan perusak agama karena apa yang mereka karang akan dianggap bagian dari agama, padahal sebenarnya bukan. Meskipun muatannya bisa jadi terasa ‘baik’, tapi ukuran baik dan buruk bagi kita adalah proses manusia yang bisa benar ataupun salah. Sedangkan penyandaran kepada Nabi menjadikan suatu informasi dianggap kebenaran mutlak.

Inti dari modus operandi pemalsu hadits adalah mengklaim sebuah informasi datang daripada Nabi Muhammad ﷺ, bahkan terkadang sampai memberikan sanad yang palsu. Kenapa mereka sampai menyandarkan sebuah informasi yang mereka karang sendiri kepada orang lain? Ada banyak motif yang umum ditemukan, misalnya: ingin memperkuat kubu politiknya, ingin menarik jama’ah dengan kisah yang unik, dan lain-lain. Motif-motif ini memiliki satu muara, yaitu agar informasi yang mereka karang dapat diterima orang berdasarkan kredibilitas orang yang secara dusta mereka sandarkan informasi tersebut.

Misalnya, Imam Dzahabi menulis bahwa konon ada riwayat hadits Nabi yang menghina Imam Syafi’i dan menyanjung Imam Abu Hanifah yang kononnya diriwayatkan melalui sanad yang oleh antara perawinya adalah Ma’mun bin Ahmad al-Sulami dari gurunya Ahmad bin Abdillah Al-Juwaybari. Masalahnya, Al-Sulami dan Al-Juwaybari ini, menurut berbagai ulama hadits, telah terkenal sebagai pendusta pemalsu hadits. Maka, riwayat ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh banyak ulama misalnya Imam Dzahabi, Ibn al-Jawzi dan lainnya..

Kini kita masuk ke “dunia” lain. Salah satu beban yang diemban oleh akademisi adalah untuk melakukan publikasi di jurnal ilmiah. Di tengah hegemoni indeksasi, para akademisi mencari jurnal ilmiah yang terindeks Scopus. Untuk menyambut kebutuhan ini, para pengelola jurnal pun berusaha men-scopus-kan jurnalnya yang syaratnya antara lain harus memiliki kontributor dari berbagai negara. Tentu ini adalah peluang besar untuk kerjasama internasional, baik dalam kolaborasi riset serta berbagi ide.

Akan tetapi, ternyata banyak juga yang menyambut hal ini dengan jalan pintas. Karena mengetahui jurnal-jurnal mencari naskah dengan kontributor internasional, akademisi lokal rupanya sering mencatut nama orang berafiliasi internasional sebagai ko-penulis tanpa ada keterlibatan dalam riset. Akhirnya, dengan bekal penyandaran naskah kepada co-penulis yang nyatanya tidak menulis, naskah pun lampak lebih bernilai sehingga makin berpeluang untuk diterima oleh jurnal tujuan tersebut.

Misalnya, seorang akademisi Yogyakarta yang sedang menjalani riset Postdoctoral di Jerman, beberapa waktu lalu tiba-tiba terkejut karena namanya dicatut tanpa konfirmasi ataupun komunikasi apapun pada sebuah artikel jurnal yang diterbitkan. Ia pun protes, dan namanya pun dicabut dari penerbitan jurnal tersebut. Bahkan, belum lama ini, ada seorang Professor terganjal pelanggaran etika, bukan hanya jumlah publikasinya di luar kewajaran, tapi karena mencatut tanpa komunikasi banyak akademisi di Malaysia.

Kadang hal ini diasumsikan sebagai “simbiosis mutualisme”. Yang mencatut akan mendapatkan tambahan kredibilitas pada naskahnya sehingga menambah peluang untuk diterima oleh jurnal tujuan. Yang dicatut, dianggap mendapat manfaat karena turut mendapatkan poin untuk keperluan kenaikan pangkat. Di sini, terkadang nama yang dicatut pun menyetujui atau kadang meminta (bahkan kadang memerintahkan) untuk dicatut meskipun tidak terlibat secara substantial dalam riset.

Apa betul bisa dikatakan sebagai “simbiosis mutualisme” apabila kedua pihaknya sepakat? Ada penulis yang berdusta menyandarkan risetnya kepada orang yang tidak meriset, dan ada penulis lain yang mengklaim secara dusta telah melakukan riset. Ini bukan symbiosis mutualisme, melainkan “symbiosis dustaisme”.

Selain permasalahan etika, ternyata dapat muncul masalah yang bersifat substansi. Misalnya, mungkin lebih umum di bidang-bidang Sosio-humaniora, jika riset tersebut mengambil stance akademik yang bertentangan dengan stance akademik orang yang dicatut? Hal ini terjadi pada seorang Professor di Malaysia yang berposisi bahwa tidak ada “jihad ofensif” dalam Islam. Betapa terkejut (dan marah) beliau ketika menyadari ada mahasiswanya yang mempublikasikan karya yang mendukung adanya jihad ofensif, dan mencatut nama beliau sebagai ko-penulis. Jikapun yang tercatut tidak peduli atau tidak keberatan, ini tetap menambah kecelaruan dalam diskursus akademik.

Hal ini bertambah runyam ketika para jurnal pun mengarahkan penulis untuk melakukan pelanggaran etika. Misalnya, ketika naskah sudah selesai proses review dan penyuntingan dan sudah menjelang terbit, tiba-tiba pengelola jurnal meminta penulis untuk menambahkan ko-penulis internasional sebelum penerbitan. Dalam posisi seperti itu, para penulis tidak disyaratkan maupun dimungkinkan untuk adanya perubahan substantial (ataupun non-substansial sekalipun) setelah adanya penambahan ko-penulis baru tersebut. Tanpa mengurangi betapa pentingnya menjaga integritas, harus kita pahami sulitnya posisi penulis yang sudah menjalani proses yang sangat panjang, sudah di penghujung jalan, dan di saat itulah diminta melakukan hal seperti ini.

Kembali ke soal hadits. Para ulama menilai riwayat di atas palsu bukan karena Al-Sulami dan Al-Juwaybari terbukti memalsukan hadits tadi secara khusus, melainkan karena secara umum diketahui suka memalsukan berbagai hadits. Karena itu, sudah hilang kepercayaan pada mereka, dan apapun yang mereka katakan tidak dipercayai lagi. Maka sejarah, melalui banyak ulama mencatat legacy dari Al-Sulami dan Al-Juwaybari beserta pemalsu hadits lain sebagai jajaran pendusta, sampai seribu tahun kemudian. Apa sisa kehormatan dari orang-orang yang setelah ratusan tahun wafatnya masih dikenang karena alasan seperti ini?

Apabila pemalsu hadits merusak agama, maka pelanggar etika publikasi merusak iklim pendidikan dan kemajuan ilmu. Apabila pelanggaran etika publikasi dilakukan dalam ilmu-ilmu agama, terlebih lagi urusan dunia akhirat lebih kena lagi.

Padahal mencatut nama baru satu dari sekian banyak praktek pelanggaran etika yang terjadi. Praktek yang lain, misalnya, adalah plagiarisme. Modus operandi pemalsu hadits juga ada yang seperti plagiarisme, yaitu mencomot hadits yang shahih tapi menempelkan namanya sendiri secara dusta di sanadnya. Marak sekali ini ditemukan di jurnal-jurnal yang terbit di Indonesia juga.

Maka apabila praktek-praktek dusta, “symbiosis dustaisme”, bahkan ekosistem perdustaan, telah makin merajalela di Indonesia, bagaimana nasib reputasi akademisi Indonesia di mata dunia? Jangan-jangan Indonesia bisa menjuarai lomba pelanggaran etika, dan akademisi yang jujur akan dianggap outlier.

Prof. Dr. Sigit Riyanto: Sebuah Obituari

Baru lusa kemarin, seperti biasanya, saya beberapa kali berpapasan dengan beliau di kantor (ruangan kami satu lantai selisih beberapa pintu saja) dan sesekali obrolan kami mengandung cekakak cekikik. Kemarin pagi kami terjadwal untuk menjadi panelis siding thesis magister untuk ujian bimbingan beliau. Jam 3 dinihari beliau dilarikan ke UGD, tapi sidang tidak dibatalkan melainkan hanya dijadikan hybrid (khusus beliau hadir secara online, peserta dan penguji lain hadir secara offline).

Menjelang sidang dimulai, seperti biasa kami basa basi sedikit dengan beliau yang tidak mengaktifkan kamera tapi melalui mikrofon beliau menanggapi. Kemudian beliau berkata, “Monggo Pak Harry, silahkan dimulai” pada Pak Dr. Harry Purwanto yang menjadi ketua sidang, dan itulah terakhir saya mendengar suara beliau. Di tengah persidangan, beliau mengirimkan pesan WhatsApp menyampaikan bahwa beliau tidak perlu mengajukan pertanyaan. Toh mahasiswa ini bimbingan beliau yang tentunya sudah berproses panjang. Saya meng-oke-kan, lalu mendoakan beliau cepat sembuh. Tanggapan beliau hanya emoji: 🙏🙏🙏, dan itulah pesan terakhir yang saya terima dari beliau.

Pagi ini, setelah shalat subuh dan mulai memasak untuk sarapan anak saya, datang kabar wafatnya beliau. Yang pertama muncul di benak saya: who else can I look up to, now? (maksudnya di kampus). Alhamdulillah istri saya berbaik hati menawarkan untuk mengantar anak saya sekolah (saat itu anak saya baru mulai makan, belum mandi), supaya saya bisa menyusul ke Rumah Sakit Akademik UGM untuk menemui Prof Sigit untuk terakhir kalinya.

Di perjalanan, sambil mengemudi sepeda motor, belasan tahun saya kenal dengan Prof Sigit terputar dalam kilasan-kilasan di benak saya.

Beliau adalah “guru”

Saya memang diajar oleh beliau, dan mendapatkan banyak faedah ilmu saat kuliah S1 dulu. Padahal hanya satu mata kuliah saja yang saya ambil dengan beliau. Beliau sebuah sosok dosen senior yang “aura ilmu”-nya sudah terasa bahkan sejak sebelum pertama kalinya diajar. Tapi, sekadar sebagai “salah satu dosen”, apa yang membuat beliau berbeda?

Dulu zaman saya kuliah S1, khususnya saat beliau menjabat wakil dekan, beliau terkenal galak dan sangat tegas sehingga mahasiswa banyak yang segan. Menariknya saya tidak ditampakkan sisi itu. Justru saya mendapati sosok beliau yang sangat “ke-bapak-an”, apalagi kemudian ketika saya dibimbing skripsi oleh beliau. Malah saya juga menyaksikan sisi kocak beliau, suatu hari pernah saya sedang bengong di selasar Gedung II di kampus (sekarang sudah musnah, diganti Gedung B) beliau menepuk perut saya sambil berteriak “GENDUT!” kemudian literally lari sambil ngekek-ngekek ke arah saya. Kebetulan saat itu sedang sangat sepi, jadi rasanya tidak ada saksi lain. Tapi mungkin mahasiswa lain saat itu tidak akan percaya kalau saya menceritakan insiden tersebut.

Beliau adalah “Intelektual”

Beliau bukan sekadar professor administratif semata. Beliau adalah seorang begawan hukum Indonesia. Sebagai pakar hukum internasional, terkhusus dalam hukum pengungsi, ketokohan beliau sudah tidak dipertanyakan lagi. Hanya saja, untuk benar-benar memahami keunggulan level beliau dibandingkan para akademisi lain di bidang yang sama, barangkali adalah tempatnya para akademisi sejawatnya itu untuk dapat mengenali.

Sedangkan bagi orang kebanyakan beliau nampaknya lebih dikenal sebagai sosok intelektual yang tidak segan melayangkan kritik keras kepada siapapun yang baginya berbuat tidak adil. Baik itu pemerintah, pejabat public tertentu, atau bahkan kepada lingkungan kerjanya sendiri. Kritiknya selalu didukung oleh analisis yang tajam dan kokoh dengan tetap penuh hormat terhadap orang-orang yang dikritik ataupun yang mengkritik beliau.

Canda beliau yang memang seperti ini bukan bermakna beliau bukan pejuang keadilan.

Beliau adalah “mentor”

Mungkin kapasitas inilah yang saya paling lama merasakan. Saya tidak selalu setuju dengan opini-opini beliau, dan –sebagaimana beliau sering tekankan—memang bukan harus setuju juga. Tapi, dari lingkungan kampus, mungkin beliaulah sosok yang paling berperan dalam memicu perkembangan intelektual sejak dulu saat saya masih berstatus mahasiswa sarjana. Kini, saya pun sudah menjadi akademisi kolega sekantor beliau dan juga menyandang gelar doktor (yang studi maupun beasiswanya diperlancar antara lain oleh surat rekomendasi beliau).

Dulu beliau membimbing penelitian major saya yang pertama, yaitu skripsi. Meskipun perkembangan intelektual membawa saya untuk tidak lagi menyetujui apa yang saya dulu tulis dalam skripsi, tapi saya puas dengan apa yang bisa saya capai dengan bimbingan beliau.

Ketika awal saya menjadi dosen, kelas pertama saya di-tandem dengan beliau. Kami banyak berdiskusi tentang cara mengajar dan mendidik, dan beliau sangat memberi ruang dan memfasilitasi saya dalam mengeksplorasi ide-ide (gila) untuk diterapkan di kelas. Tidak lama kemudian, beliau pula menjadi mentor bagi saya sebagai peneliti. Hanya satu kali kami Kerjasama dalam satu proyek, tapi sering sekali saya minta nasehat dan mendapatkan faedah dari beliau.

Bahkan, mungkin banyak mahasiswa dan pembaca karya saya sekarang akan mengenali bahwa pendekatan saya sangat kental bernuansa Third World Approaches to International Law (TWAIL). Pertama saya mengenal aliran pemikiran tersebut adalah melalui buku berjudul “Imperialism, Sovereignty, and the Making of International Law” karya Prof. Anthony Anghie. Sedangkan yang memberikan buku tersebut kepada saya adalah Prof Sigit Riyanto. Pembacaan saya terhadap buku tersebut membola salju kepada khazanah literatur TWAIL yang luas, hingga akhirnya saya kini turut berkontribusi pada khazanah tersebut.

Beliau Adalah “Panutan”

Ketika sepeda motor saya mendekati Rumah Sakit Akademik UGM, saya mulai berfikir bahwa barangkali kata “panutan”-lah yang paling mewakili semuanya. Saya teringat respon benak saya ketika mendengar kabar wafatnya beliau adalah “who else can I look up to, now?”

 Tentu kita tidak menyamakan level beliau dengan Nabi Muhammad ﷺ yang merupakan panutan paling mulia, itu urusan lain (hukum syara’). Tidak juga bermakna saya sekadar mengikut A sampai Z yang beliau lakukan, karena saya tidak harus juga selalu setuju dengan apa yang beliau contohkan.

Maksudnya, kehadiran sosok beliau adalah sebagai prima facie standar baik dan panutan sebagai seorang akademisi. Apa yang saya saksikan atas beliau selalu menjadi pertimbangan, dalam segala aspek amanah sebagai seorang akademisi. Proses kritis dalam menyaring, memodifikasi (dan lain sebagainya) sudah tentu harus dilakukan, dan ini pula antara pelajaran yang saya dapatkan dari beliau.

————-

Takdir Allah, saya tiba di ruang forensik Rumah Sakit Akademik UGM dalam keadaan jenasah beliau sudah sedang dimandikan. Ketika akhirnya saya bisa melihat jenasah beliau, sudah dikafani. Rupanya memang ketawa ketiwi lusa kemarin itulah terakhir saya melihat langsung wajah beliau.

Saat menjumpai keluarga beliau, tentu saya sadari bahwa kehilangan yang saya rasakan tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka yang kehilangan sosok ayah dan suami. Tapi, setidaknya bagi saya pribadi, pertanyaan yang akan selalu muncul adalah: “who else can I look up to, now?” Maka kini yang saya miliki sebagai panutan hanya kenangan-kenangan atas beliau, tidak akan ada update lagi.

Tapi memang sunatullahnya begitu: kita tidak tahu siapa yang akan “berangkat” duluan. Setidaknya kepada yang mendahului kita, terutama Begawan panutan saya Prof Sigit Riyanto, yang dapat kita lakukan ada tiga. Pertama, kita mendoakan agar dosa-dosa beliau diampuni dan amal shalih beliau diterima oleh Allah. Kedua, kita hidupkan suri tauladan yang baik dari beliau agar manfaatnya lebih luas bagi kita dan orang-orang lain dan juga kepada beliau sebagai amal jariah.

(ditulis 21 Agustus 2024)

Ahlan wa Sahlan Author Internasional, Bye-Bye Etika Publikasi!!

Sebagai Editor in Chief sebuah jurnal yang sedang berjuang untuk Scopus, saya sangat faham jerih payah pengelola jurnal untuk memenuhi checklist hal-hal untuk memenuhi indeksasi Scopus dan meningkatkan peringkatnya. Selamat untuk jurnal-jurnal di Indonesia yang berhasil terindeks Scopus terutama yang baru saja mendapatkannya di penghujung 2023. Bertambah lagi beban bagi saya untuk men-Scopus-kan jurnal yang saya kelola.

Pertanyaannya adalah, seberapa banyakkah kita mau menjual harga diri dan kehormatan demi mencapai indeksasi Scopus ini? Cara licik, culas, dan rendah apa yang mau kita lakukan untuk mencapai itu?

Baru saja mahasiswa ada yang mengadu kepada saya. Artikel jurnalnya telah diterima di sebuah jurnal Indonesia yang telah terindeks Scopus, alhamdulillah, dan akan terbit di tahun 2024 ini. Tapi, tetiba datang sebuah email dari pengelola jurnal tersebut kepada mahasiswa saya tersebut dan penulis-penulis lain yang naskahnya akan dimuat tahun 2024 ini, yang meminta hal yang aneh.

Karena “kebijakan” (begitu bahasanya) pengelola jurnal, semua naskah wajib memiliki afiliasi internasional. Memang, Scopus menginginkan jurnal yang memiliki keanekaragaman latar belakang penulis. Akan tetapi, yang diminta sekadar menambahkan saja seorang co-author berafiliasi non-Indonesia. Tidak disyaratkan penambahan penulis tersebut diiringi dengan penambahan substansi apapun.

Menariknya, meskipun dalam email pengelola jurnal disebut sebagai “kebijakan” pengelola, tapi “kebijakan” tersebut tidak nampak tertulis di website jurnal sama sekali. Maka, “kebijakan” ini tidak dapat diketahui oleh calon penulis yang masih berkesempatan mencari penulis internasional untuk sama-sama berkontribusi dalam penulisan. Yang mengetahui hanya penerima email saja, yaitu penulis yang naskah-naskahnya sudah selesai tanpa adanya penulis internasional.

Maka bagi saya jelas: secara tegas jurnal ini memerintahkan adanya orang yang “menumpang nama”.

Hal ini adalah sebuah pelanggaran etika publikasi yang dikenal dengan guest authorship atau gift authorship, yang telah lama diulas oleh pedoman-pedoman etika publikasi di lembaga publikasi ternama semisal Elsavier atau yang lainya. Mungkin ini juga alasan kenapa para pengelola jurnal ini tidak mencantumkan “kebijakan” wajibnya co-author internasional, karena nampak jelas membuka pintu pada guest/gift authorship. Padahal, jurnal-jurnal ini di websitenya mencantumkan komitmennya untuk mematuhi etika publikasi (pret).

Sebenarnya pelanggaran etika ini banyak terjadi dan kita tahu sama tahu. Banyak sekali dosen yang malas berfikir dan berinovasi tapi rakus sekali urusan kenaikan pangkat dan insentif akhirnya meminta (terkadang memerintah) koleganya untuk memasukkan dirinya sebagai penulis padahal kontribusinya nol. Tapi sebagai pengelola jurnal, dalam mayoritas kasus kita tidak bisa membedakan mana yang numpang nama dan yang betul-betul berperan dalam penulisan. Maka, dari perspektif pengelola jurnal, ya sudahlah.

Tapi, ketika malah pengelola jurnal yang memerintahkan dilakukannya pelanggaran etika tersebut, ini sudah sangat keterlaluan sekali. Apalagi jurnal ini adalah jurnal hukum yang dikelola oleh akademisi ilmu hukum juga yang seharusnya menjadi poros terdepan dalam membenahi hukum di negara ini. Atau, jangan-jangan perilaku tidak etik dan korup memang merupakan budaya hukum Indonesia yang riil tapi kita tidak mau mengakuinya saja?

Pertanyaan menariknya: bukankah menarik, kalau saya mengirimkan screenshot email “kebijakan” jurnal tersebut kepada Scopus untuk menunjukkan perilaku tidak etisnya ini? 😈😈😈😈😈😈😈


Link ke daftar praktek-praktek jurnal yang tidak etis yang pernah saya jumpai atau dengar dari korban langsung.

Kasus Etika Publikasi – Ketika Seorang Co-Author Ditendang?

Kali ini saya ingin membagi cerita yang (sebagiannya) fiktif yang terkait dengan etika publikasi. Bukan sedikit yang mengemuka di Indonesia misalnya kasus plagiarisme di Semarang pada bulan Oktober 2023. Tapi, sebenarnya praktek-praktek yang bertentangan dengan etika penulisan banyak sekali terjadi di Indonesia bahkan dianggap lazim, dan tidak terbatas pada plagiarisme saja. Dan inilah kisah yang ingin saya bagikan kali ini.

(more…)

Refleksi (Curcol?) Buku: Dampak Ilmu pada Kesalehan Personal

Buku “Dekolonisasi: Metodologi Kritis dalam Studi Humaniora dan Studi Islam” yang diterbitkan oleh Yayasan Bentala adalah kompilasi catatan-catatan oleh penulisnya, Dr. Muhamad Rofiq Muzakkir, selama studi doktoralnya di Arizon State University.

Buku ini sangat saya rekomendasikan, terutama bagi sesiapa yang mempelajari ilmu-ilmu sosio-humaniora. Bahkan untuk bidang hukum, meskipun tidak secara khusus mengkaji hukum Islam, akan sangat penting membaca buku ini karena akan sulit untuk orang Indonesia belajar hukum dan tidak bersinggungan dengan masyarakat yang beragama (apapun, meskipun mayoritasnya Islam) dan masyarakat dengan nuansa adat yang kental (yang bersifat religio magis). Apalagi, di bangku perkuliahan hukum biasanya sangat sekuler konsep-konsepnya, meskipun sesekali ada bau-bau agamanya sedikit.

Yang ingin saya ulas sedikit (barangkali agak curcol) adalah refleksi saya terhadap Bab 16: Pendidikan Islam Pascakolonial: Riset Aria Nakissa. Bab-bab di buku ini sangat pendek dan masing-masingnya bisa membawa perenungan yang panjang sekali. Tapi ada satu renungan spesifik yang ingin saya sampaikan.

Aria Nakissa mengkaji dampak pendidikan ala Barat terhadap pendidikan Islam, khususnya di Mesir. Salah satu dampak yang disoroti adalah mulai berkurangnya dampak ilmu agama kepada karakter pribadi. Tentu seharusnya seseorang yang makin mempelajari ilmu agama akan semakin mempraktekkan apa yang ia ketahui. Sehingga, harusnya mereka adalah orang-orang yang paling baik.

Kalau dipikir-pikir, hal ini dari dulu memang merupakan sebuah ekspektasi saya pribadi (dan, nampaknya, banyak orang juga) terhadap pakar dan pembelajar ilmu agama secara khusus ataupun sosok terpelajar dan/atau pendidik secara umum. Sebagaimana kata pepatah, bagaikan padi yang semakin berisi semakin merunduk.

Karena itulah, meskipun saya bukan pakar agama, tapi sebagai pendidik di bidang hukum saya setengah mati berusaha (misalnya) se-tertib mungkin di jalan raya, tidak buang sampah sembarangan, dan lain sebagainya. Saya masih jauh dari sempurna, tapi saya benar-benar berusaha. Apalagi, ketika menuntaskan Ph.D Thesis, ada satu bab khusus yang membahas amanah dan khiyanat dalam konteks hukum, saya semakin waspada kalau berjanji. Lebih berusaha untuk tidak asal ngomong “insyaAllah” atau “ya” sekadar karena tidak enak, kalau saya tidak yakin bisa memenuhi.

Katanya, akibat pendidikan Barat, mulai nampak ahli-ahli ilmu agama yang kelakuannya tidak mencerminkan hal tersebut. Aria Nakissa menyebut contoh Professor studi Islam yang merokok di ruang publik atau menggunakan bahasa yang kurang sopan ketika mengajar.

Di sini, saya bukan pakar agama tapi saya berusaha belajar. Saya berusaha ke sana-sini kepo sana kepo sini kepada para asatiz dan masyaikh (baik langsung maupun melalui rekaman ceramah ataupun karya tulis) untuk belajar. Dalam banyak hal, alhamdulillah saya mendapatkan bukan hanya ilmu secara substansi tapi belajar banyak dari kesalehan personal dari banyak asatiz dan masyaikh ini.

Sekali-sekali mendengar kabar asatiz dan masyaikh yang ‘miring’, saya selalu berusaha ber-husnudzon dengan menganggap itu minority report saja dan/atau saya belum tahu kebenaran yang utuh terkait kabar-kabar tersebut.

Hanya saja, yang sedikit kecewa adalah ketika ‘statistik’ pengalaman personal yang berbicara. Saya kebetulan memiliki pengalaman bekerjasama dengan berbagai kalangan. Ada pengalaman kerjasama yang manis, ada yang harus berpahit-pahit tapi alhamdulillah berakhir tuntas, tapi ada juga kerjasama yang akhirnya kemudian gagal menuntaskan tujuan.

Tentu saya juga pastinya punya andil dalam kegagalan-kegagalan ini. Tapi, selain itu, banyak kasus gagal yang berakhir demikian karena rekan kerjasama ini tiba-tiba menyublim karena satu dan lain hal. Kadang kita ketahui alasannya, kadang juga tidak diketahui karena ya menyublim saja begitu.

Yang agak mengecewakan adalah karena kok mayoritas kerjasama gagal karena rekan yang menyublim ini, adalah mayoritasnya dari kalangan asatiz dan thulabul ‘ilmi.