Merenungkan Arah Keilmuan Seorang Akademisi Ilmu Hukum, Politik, dan Hubungan Internasional: Meneropong Masa Depan Berlandaskan Wahyu
Tiga serangkai ilmu ini (ilmu hukum, politik, dan hubungan internasional) memiliki objek dan cakupannya masing-masing, akan tetapi ada kaitan erat di antara ketiganya. Akan tetapi, kalau mempertimbangkan Islamic Worldview secara agak lebih mendalam khususnya terhadap apa yang Allah sampaikan melalui wahyu, bagaimana seharusnya dampaknya bagi arah keilmuan para akademisi di bidang-bidang tersebut?
.
Ilmu Hukum, Politik, dan Hubungan Internasional
Ketiga ilmu ini terkadang salah dipahami oleh orang-orang yang bukan di bidangnya. Misalnya ilmu hukum, ia bukanlah menghafal pasal sekian banyak lalu kerja selesai. Ilmu hukum pada intinya mempelajari bagaimana mencapai keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat. Ia mempelajari bagaimana memahami, menafsirkan dan menerapkan hukum, juga mempelajari bagaimana menyusun hukum sebagai sebuah system berbangsa bernegara bahkan berdunia.
Ilmu politik bukanlah sekedar mempelajari ‘tidak ada teman yang abadi, melainkan kepentingan yang abadi’. Pada prinsipnya, ilmu politik mempelajari tentang kekuasaan dan bagaimana mengelolanya. Termasuk mendapatkan, mempertahankan, melaksanakannya, dan aspek-aspek lainnya. Dalam konteks politik domestic, bisa jadi ia berbicara tentang partai politik, negara, masyarakat, golongan, dan lain sebagainya, dan bagaimana aktor-aktor tersebut saling berinteraksi.
Ilmu hubungan internasional juga membahas tentang kekuasaan sebagaimana umumnya ilmu politik. Akan tetapi, aktor-aktor yang dibahas skalanya internasional misalnya negara v negara, negara v ormas beda negara, dan lain sebagainya.
Dan, dengan demikian, tentu akan kelihatan sekali ya bagaimana ketiga bidang ini sangat berhubungan erat satu sama lain. Bagaimanapun juga, kita semacam hidup di ‘global village’ di mana interaksi antar aktor di berbagai belahan dunia adalah sebuah kenyataan yang tidak terhindarkan.
.
Akhir Zaman
Sebagaimana dalam Al-Qur’an, pertama kali Allah menyebut ‘taqwa’ adalah di Al-Baqarah ayat 2 (dalam bentuk muttaqin, yaitu ‘orang-orang yang bertaqwa’). Langsung Allah melanjutkan pada ayat 3 dengan menyebut ciri-ciri taqwa, dan pertama di antaranya adalah ‘yaitu mereka yang beriman pada perkara yang ghaib’. Dan inilah landasan utama aqidah Islam, atau dalam Bahasa lain ‘Islamic Worldview’. Tidaklah kita akademisi Muslim meninggalkan penalaran empiris, tapi kita tidak menuhankannya sebagai satu-satunya sumber kebenaran.
Tidaklah kita sama dengan tradisi Barat yang positivistik saja, atau Timur yang sekedar menambahkan intuisi saja. Seorang Muslim mengambil ilmunya dari khabar sadiq (wahyu), aql, khawasul khams/empirik, dan intuisi.
Karena itu, dalam memikirkan masa depan, seorang Muslim bukan hanya melakukan spekulasi-spekulasi berdasarkan hukum kausalitas dan pengamatan empiris saja. Dalam sebahagian hal, seorang Muslim menemukan informasi tentang masa depan dari wahyu. Dan, tentunya seorang akademisi Muslim akan menerima kebenaran dari sebuah wahyu walaupun ia tidak bersifat empiris. Inilah bedanya seorang Mu’min dan kafir.
Rasulullah s.a.w. diutus oleh Allah sebagai rahmat semesta alam. Beliau membawa petunjuk yang sangat penting untuk membawa keselamatan bagi umat manusia dari sebuah bahaya yang sangat besar. Hal yang unik tentang keselamatan dan bahaya ini adalah karena Rasulullah s.a.w. hanya menyampaikan petunjuknya saja, sedangkan selamat atau terjerumusnya kita adalah pilihan kita dan tentunya sesuai kehendak Allah. Dan beda dengan kita yang hanya bisa belajar dan berijtihad, Rasulullah s.a.w. tidak akan salah karena apa yang beliau sampaikan adalah informasi langsung dari Allah.
Sedangkan keselamatan itu maksudnya adalah surga, dan keterjerumusan itu maksudnya adalah neraka. Selamatnya kita adalah apabila kita berhasil melewati jembatan shirath, terjerumus adalah apabila kita terjatuh dari jembatan dan nyemplung ke neraka. Sebelumnya, kita akan diadili di pengadilan Allah yang selalu kita sebut setiap hari minimal 17 kali yaitu pada ayat 4 Surah Al-Fatihah. Sebelumnya kita dikumpulkan di padang masyar setelah dibangkitkan dari kematian.
Sedangkan kebangkitan tersebut adalah setelah semua kehidupan di atas dunia dan semesta hancur dalam hari kiamat.
Sebelum hari kiamat itu, ada tanda-tandanya yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits. Ada tanda-tanda besar, misalnya: hancurnya Ka’bah, keluarnya hewan melata yang dapat berbicara, turunnya Nabi Isa yang akan membunuh Dajjal, terjadinya malhamah al-kubra yaitu perang teramat dasyat, dan lain sebagainya, dan rangkaian tanda kiamat besar ini dimulai dari munculnya Imam Mahdi yang akan mempersatukan dan memimpin umat Islam.
Sedangkan sebelum tanda-tanda kiamat besar, ada tanda-tanda kiamat kecil. Sebagian di antaranya mungkin sudah kita ketahui, misalnya ‘pasar semakin berdekatan’, ‘masjid-masjid mewah tapi kosong’, atau ‘perempuan berpakaian seperti telanjang’, dan lain sebagainya. Ada begitu banyak yang mungkin masih tidak kita ketahui, sangat direkomendasikan membaca karya Imam Al-Hafiz Ismail Ibn Kathir berjudul “An-Nihayah fi al-Fitan wa al-Malahim”, yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Inggris dengan judul “Book of the End: Great Trials and Tribulations” (penerbit Darussalam, saya punya ebooknya hehe), dan juga Bahasa Indonesia dengan judul “Bencana dan Peperangan Akhir Zaman: Sebagaimana Rasulullah s.a.w. kabarkan” (penerbit Umm al-Qura).
Banyak yang menafsir-nafsirkan tanda-tanda kiamat kecil di sekitar kita, termasuk yang kadang bahasanya ambigu (misalnya rambut perempuan seperti punuk unta). Akan tetapi, yang sering luput dari perhatian kita adalah tanda kiamat kecil yang pertama yang sangat eksplisit tanpa ambigu: diutus lalu wafatnya Rasulullah Muhammad ibn Abdillah ibn Abdul Muththalib, salallaahu ‘alayhi wa sallam.
Mungkin kita tahu, tapi belum betul betul sadar dan mentadabburi (atau, kalau kata orang Jawa: eling) kenyataan bahwa akhir zaman sudah dimulai sejak lama. Tanda-tanda kiamat kecil sebagiannya sudah terjadi, dan ibarat sebuah hari kita sedang menyaksikan matahari yang menjelang terbenam. Langit sudah jingga merona, dan kita tahu setelahnya akan datang gelap.
.
The End is near
.
Sang Akademisi Muslim: Di Manakah Kita Berdiri?
Seorang akademisi memiliki dua peran: pertama, ia berusaha mengamati dan mendudukkan realita yang ada dalam status quo. Kedua, menganalisanya untuk memahami status-quo dengan lebih baik sehingga melahirkan ilmu yang baru. Di sini, perjalanan akademisi dari awal sejarah manusia laksana estafet keilmuan di mana guru mengoper ilmu pada murid yang kemudian akan berlari hingga ia pun mengoper ilmu pada muridnya, dan seterusnya.
Sudah merupakan komedi masyhur bahwa belum tentu politisi melakukan apa yang ia lakukan adalah berlandaskan ilmu. Sudah banyak yang mengomentari tragedy ilmuan yang ilmunya ada di awang-awang dan ‘tidak menapak bumi’. Tapi realitanya tidaklah 100% komedi dan tragedy itu terjadi. Semua masyarakat dunia memiliki peran masing-masing dalam mengukir sejarah peradaban manusia, dan para ilmuan memiliki peran yang besar terhadap setidaknya satu aktor atau bahkan lebih.
Apalah artinya seorang mengaku beriman pada Allah, apabila wahyu-Nya tidak ia pertimbangkan sebagai sumber ilmu? Apalah artinya seseorang menggunakan wahyu-Nya sebagai sumber ilmu, apabila itu tidak tercermin dalam kajian ilmu yang ia buat?
Tidaklah seseorang yang memiliki rukyat al-Islam li al-Wujud (pandangan Islam tentang realita) dalam memahami dan memaknai kenyataan dunia sekarang dengan cara yang sama dengan orang yang tidak memiliki pandangan yang sama. Tidaklah seorang akademisi ilmu hukum, politik, atau hubungan internasional, beriman pada hari akhir dan segala urutan peristiwa yang akan menuju kepadanya, melainkan kajian yang ia lahirkan akan berbeda dengan akademisi yang tidak mengimani hal tersebut.
Tidaklah seorang akademisi ilmu hukum, politik, dan hubungan internasional, beriman pada hari akhir dan segala urutan peristiwa yang akan menuju kepadanya, melainkan ia menyadari bahwa semua itu akan berdampak secara sangat langsung dan kuat pada objek-objek kajiannya.
.
Sebuah Renungan
Di akhir tulisan ini saya ingin mengajak rekan-rekan sejawat akademisi Muslim di bidang hukum, politik, dan hubungan internasional, untuk merenung. Dan, tidaklah seorang menjadi akademisi melainkan ia sebelumnya adalah mahasiswa, maka ajakan ini pun dialamatkan untuk para mahasiswa di bidang-bidang tersebut.
Saya tidak punya jawaban apa-apa untuk dibagi, melainkan sebuah ajakan untuk merenung masing-masing saja. Renungkanlah kajian-kajian apa yang telah kita buat, sedang kita buat, dan telah kita rencanakan untuk dibuat.
Tentu, dalam melakukan pengkajian kita harus berusaha memastikan supaya objek dan metode kajian kita tidak menyimpangi syariat. Akan tetapi, apakah kajian-kajian kita itu sudah mempertimbangkan runtutan peristiwa yang akan terjadi hingga kiamat nanti dan selanjut seterusnya?
Tidaklah sejarah umat manusia ini akan berjalan menuju akhirnya, melainkan sesuai urutan yang telah ditetapkan oleh Allah. Sedangkan ketetapan-ketetapan ini sebahagiannya telah dikabarkan melalui Firman-Nya dan sabda Rasul-Nya. Tidaklah kita Muslim melainkan kita mengimani bahwa runtutan peristiwa itu akan terjadi dengan atau tanpa kontribusi kita.
Maka, pertanyaannya adalah: di manakah posisi kontribusi kita sebagai akademisi Muslim?
.
The end is near, where do we stand?
.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ