Hukum Penggal Saudi Arabia, Masyarakat Indonesia, dan Hikmah Penting

Berikut adalah sebuah tulisan saya atas nama Mata Garuda (alumni awardee LPDP) yang sebetulnya pernah dipublikasikan di selasar.com pada tanggal 25 Juni 2015 (link asli: https://www.selasar.com/politik/hukum-penggal-saudi-arabia-masyarakat-indonesia-dan-hikmah-penting). Akan tetapi, nampaknya tulisan tersebut sudah hilang dari web selasar.com. Berikut saya post di sini, siapa tahu ada manfaatnya.

image credit: republika online

Hukum Penggal Saudi Arabia, Masyarakat Indonesia, dan Hikmah Penting

Belum lama ini kita mendengar kabar kontroversial dari Saudi Arabia yaitu pemenggalan tenaga kerja asal Indonesia yaitu Siti Zaenab dan Karni. Telah banjir protes kepada pemerintah Saudi Arabia dan tuntutan kepada pemerintah Indonesia agar melakukan sesuatu sebagai protes. Bahkan sampai ada yang menyarankan untuk tidak lagi melaksanakan umrah ke Saudi Arabia.

Akan tetapi, ternyata ada berbagai pelajaran yang dapat diambil dari kabar tersebut beserta segala isu dan kejadian yang terjadi di sekitarnya.

Pelajaran pertama adalah pentingnya adil dalam berpendapat, dan tidak mudah terpengaruh permainan media. Dalam berbagai media mainstream serta media sosial, ditemukan banyak sekali komentar yang menuntut pemerintah Indonesia untuk mencegah hukuman penggal atau melakukan retaliasi (pemutusan hubungan diplomatik, boikot umrah, dll) setelah hukuman dilaksanakan. Padahal, dalam waktu berdekatan, banyak diantara mereka juga ramai yang menghina Australia yang ingin mencegah Indonesia mengeksekusi duo Bali Nine. Alasannya adalah “ini kedaulatan Indonesia, Australia jangan ikut campur”.

Bukankah kedua hal di atas tidak lucu jika diteriakkan oleh orang yang sama? Apakah masuk akal jika kadang kita menuntut intervensi kedaulatan negara lain demi kepentingan kita sendiri, tetapi di saat yang lain kita memprotes intervensi negara lain pada kedaulatan kita atas kepentingan mereka? Tentu jawabannya adalah ‘tidak’. Sangat lebih masuk akal jika protes dilakukan dengan konsisten, misalnya dengan memprotes Saudi Arabia sambil juga mendukung Australia dalam pembatalan hukuman mati Duo Bali Nine. Akan tetapi mungkin karena blow up dari media sehingga banyak masyarakat dengan mudah berlaku reaktif saja dan tidak menyadari inkonsistensi yang kemudian timbul.

Tahun 2011 lalu juga pernah terjadi kasus penyiksaan kepada TKI bernama Sumiati. Sang majikan akhirnya diproses secara hukum, tetapi hanya dijatuhi tiga tahun penjara. Pemerintah tadinya protes karena hukuman terlalu rendah, dan Pengadilan Tinggi Saudi malah membatalkan hukuman tersebut dan memerintahkan pemeriksaan ulang. Langsunglah bergejolak gelombang protes karena pembatalan tersebut. Akan tetapi, apakah yang memprotes betul-betul tahu duduk permasalahannya? Apakah pengadilan Saudi telah salah?

Hakim pengadilan tinggi Saudi menilai bahwa penjatuhan vonis sebelumnya kepada kepada sang majikan diambil dengan menyalahi prosedur dalam beberapa aspek. Selain itu, sang majikan menyangkal melakukan penyiksaan dan menyampaikan bahwa si TKI yang terluka akibat melakukan percobaan bunuh diri. Sesungguhnya kita tidak tahu betul apa yang terjadi, dan mayoritas (atau malah semua) yang protes tidak ada yang berfikir untuk memeriksa risalah persidangan untuk memastikan dulu. Yang ada hanyalah praduga bersalah pada majikan Saudi karena penyiksaan TKI sering terjadi, dan faktanya adalah Sumiati dalam keadaan luka berat.

Proses hukum acara (prosedur) pidana Indonesia memang berbeda dengan Saudi Arabia. Akan tetapi, keduanya memiliki beberapa kesamaan, di antaranya pada asas praduga tak bersalah (dan konon asas ini di dunia pertama kali diterapkan sebagai kaidah hukum adalah dalam sistem hukum Syariah yang digunakan oleh Saudi Arabia). Saat seorang hakim dihadapkan pada seorang terdakwa, baginya si terdakwa tidak bersalah kecuali kemudian terbukti sebaliknya. Tanpa merendahkan penderitaan seorang TKI yang disiksa, dan tanpa pula mengatakan bahwa banyak kasus penyiksaan TKI terjadi. Akan tetapi bagi seorang hakim, Sumiati yang datang dalam keadaan terluka dan mengaku disiksa beserta fakta bahwa banyak kasus penyiksaan TKI, belumlah bukti hukum yang objektif cukup untuk memvonis bersalah sang majikan.

Misalpun seseorang sebetulnya bersalah, tetapi jika prosedur pengadilan tidak terpenuhi sempurna, maka vonis pun tidak akan sah dijatuhkan. Contohnya adalah suatu pengakuan bersalah tetapi dilakukan karena ancaman, tidaklah akan berlaku. Apalagi misalnya jika sang hakim telah terpengaruh praduganya oleh media sehingga grasa grusu dalam memvonis, sebagaimana yang dituduhkan oleh pengadilan tinggi Saudi Arabia terhadap hakim yang memvonis majikan Sumiati. Karena itu, bukanlah majikan diputus tidak bersalah, melainkan perkara yang diperintahkan untuk diulang pemeriksaannya.

Sesungguhnya seorang pengamat dari sudut pandang orang ketiga tidak akan bisa menilai apa yang betul-betul terjadi kecuali jika mengamati detail jalannya sidang (atau merujuk risalah sidang) dan juga paham hukum acara yang berlaku. Akan tetapi sangat alamiah bagi warga Indonesia untuk berpraduga melawan si majikan dan membela si terdakwa. Media pun dengan mudah dapat mengeksploitasi hal ini sebagai berita yang sangat ‘seksi’, padahal fakta yang lengkap tidak diketahui. Hal serupa terjadi di Indonesia dalam kasus korupsi. Bukannya meremehkan masalah korupsi di Indonesia, tetapi seakan ada praduga bersalah pada setiap tersangka korupsi, dan reaksi negatif jika tersangka akhirnya diputus bebas (kecuali jika tersangka adalah ketua KPK yang citranya sangat positif). Padahal kita sama sekali tidak tahu fakta lengkapnya. Bukankah dalam keseharian juga masyarakat tidak senang dituduh sesuatu oleh seseorang yang tidak tahu keseluruhan duduk perkaranya?

Pelajaran kedua adalah pentingnya melakukan evaluasi diri sebelum menyalahkan pihak lain. Menurut seorang relawan di NGO ketenagakerjaan, ternyata ada banyak kasus di mana para TKI berangkat ke Saudi Arabia tanpa pelatihan yang cukup bahkan dalam Bahasa Arab. Kemudian, saat terjadi masalah, para TKI cenderung tidak mau melapor ke aparat Saudi. Jika mereka lapor ke KBRI mungkin masih baik, tetapi terkadang mereka malah lari ke agennya, yang akan cenderung mengupayakan damai atau islah, sehingga sedikit sekali kasus yang sampai ke ranah hukum. Kalau sudah terjadi islah, pengadilan Saudi (kalaupun akhirnya kasus ini sampai ke aparat) tidak memiliki kewenangan lagi untuk memeriksa perkara.

Tidak mengejutkan bahwa para TKI ini tidak mau lapor ke aparat Saudi, kemungkinan besar karena tidak familiar dan tidak mengerti. Sebuah penelitian di Fakultas Hukum UGM pada tahun 2011 menunjukkan bahwa masyarakat cenderung tidak menyelesaikan sengketanya di pengadilan melainkan secara musyawarah saja. Salah satu penyebabnya adalah ketidaknyamanan dan ketidakfamiliaran sistem pengadilan. Padahal itu baru di Yogyakarta di mana para responden penelitian tinggal. Tentunya akan lebih parah di Saudi Arabia yang sama sekali baru dan berbahasa total berbeda.

Ternyata mayoritas kasus pembunuhan yang dilakukan oleh TKI adalah berlatarbelakang penyiksaan dan/atau perlakuan buruk yang dialami si TKI tersebut. Tanpa bermaksud meremehkan segala keburukan yang mereka alami, tetapi hal tersebut tidak menjadi justifikasi untuk melakukan pembunuhan. Alasan pembenar untuk membunuh yang paling mendekati situasi tersebut adalah pembelaan diri secara langsung. Masalahnya, banyak kasus di mana sang TKI akhirnya muak dengan penyiksaan lalu memutuskan untuk membunuh. Secara hukum (baik Indonesia maupun Saudi Arabia), ini tidak termasuk pembelaan diri. Sekali lagi tanpa maksud meremehkan penderitaan para TKI ini. Akan tetapi, andaikan para TKI ini dapat menyelesaikan masalah-masalah penyiksaan dan perlakuan buruk sebelum menumpuk, tentu akan mengurangi kemungkinan masalah untuk bertambah runyam. Apalagi, dengan lebih banyaknya TKI yang lebih paham dan sadar akan hukum, tentu akan makin sedikit warga Saudi yang berani memperlakukan mereka dengan buruk.

Padahal aparat Saudi bukannya tidak berani menindak tegas rakyatnya sendiri. Beberapa pangeran Kerajaan pun sudah pernah dijatuhi hukum penggal (ada yang kemudian dimaafkan korban, ada yang tetap dilaksanakan). Dalam kasus TKI, seorang warga Saudi dihukum penggal karena membunuh TKI bernama Kikim Komala Sari. Kasus Kikim ini menarik, karena keluarga korban telah memaafkan pelaku sehingga hukum penggal berdasarkan qishash (retaliasi) sebetulnya gugur. Akan tetapi sang hakim tetap menjatuhkan hukuman penggal atas dasar Tahzir (diskresi), karena sadisnya pembunuhan terhadap sang TKI yang dilakukan dengan penyiksaan serta pelecehan seksual, serta sebagai peringatan kepada warga Saudi. Hukum penggal pun tetap dilaksanakan (tapi kasus ini tidak santer mendapat apresiasi).

Bukannya Saudi Arabia bersih dari kesalahan. Ada kasus-kasus TKI yang tidak diberikan kuasa hukum, padahal itu adalah hak terdakwa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Saudi Arabia sendiri. Tentu KBRI bisa dan sudah berusaha memaksimalkan haknya untuk mendampingi WNI yang tersangkut masalah hukum. Selain itu, maraknya kasus penyiksaan terhadap TKI tentu harusnya mendapat perhatian khusus dari pemerintah Saudi. Walaupun tidak banyak kasus yang sampai ke aparat, tapi kasus-kasus penyiksaan bukan hal yang baru dan tidaklah sedikit sampai ke telinga Indonesia dan tentunya melalui KBRI sering dikomunikasikan kepada pemerintah Saudi Arabia. Semestinya ini setidaknya membuat pemerintah Saudi Arabia berfikir untuk melakukan langkah-langkah preventif. Tentu kita berharap negosiasi ke depan dengan Saudi Arabia dapat membawa hasil yang lebih baik untuk mencegah adanya masalah-masalah seperti ini.

Yang ingin disampaikan oleh tulisan ini adalah bahwa kasus-kasus buruk TKI di Saudi Arabia tidak lepas dari kesalahan-kesalahan internal Indonesia sendiri. KBRI sering menjadi sorotan dan dituduh lemah dalam berdiplomasi, padahal akar masalah dalam ketenagakerjaan ini bermula dari kurangnya koordinasi dari Dinas Tenaga Kerja dalam mempersiapkan kualitas TKI. Masyarakat sendiri juga bukannya bebas kesalahan. Begitu mudah para agen dan calo merekrut orang untuk menjadi TKI dengan minim pelatihan, dan begitu mudahnya para calon TKI ini mudah diiming-imingi. Akan tetapi, jika calon TKI sudah dibekali dengan kemampuan yang memadai termasuk bahasa Arab, apakah mereka masih mau menjadi pembantu rumah tangga?

Masalahnya sangat runyam, dan banyak aspeknya adalah kesalahan atau kelalaian pihak Indonesia sendiri, yang akan menyulitkan dalam menuntut pihak lain. Contoh serupa dalam kasus lain, bayangkan jika menjadi negosiator pemerintah Indonesia saat menuntut Malaysia memberlakukan upah minimum dan mewajibkan kontrak tertulis bagi warganya yang akan mempekerjakan TKI sebagai pembantu rumah tangga. Apa yang harus dikatakan sang negosiator jika pihak Malaysia bertanya balik apakah Indonesia melakukan hal yang sama kepada pembantu rumah tangganya?

Karena itulah, hendaknya kita mengambil hikmah dari permasalahan ini. Terkadang hasutan media membuat masyarakat berfikir tidak jernih, padahal banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam menyikapi sebuah masalah dan terkadang akar masalah terdapat pada diri kita sendiri. Bukannya tidak boleh menuntut pihak lain atas kesalahannya, akan tetapi masyarakat Indonesia harus lebih bijak dalam menyikapi masalah.

Ditulis oleh: Fajri M. Muhammadin, Alumni University of Edinburgh (UK), Anggota Mata Garuda