Home » 2022

Yearly Archives: 2022

Archives

Praktek-Praktek Tidak Etis Di Jurnal Ilmiah: Kumpulan Testimoni

Di tengah iklim academia di Indonesia yang makin mendorong publikasi ilmiah, ternyata masih ada praktik kurang etis yang terjadi. Sekadar untuk perenungan (dan harapannya ada perbaikan), berikut beberapa contoh kasus yang dialami oleh saya sendiri atau oleh orang lain yang saya kenal langsung. Akan ditulis “seorang penulis” bukan karena yang mengalami cuma satu, tapi karena sumber ceritanya dari satu orang.

.

Kasus Pertama: “Penodongan”?

Di suatu jurnal ilmiah yang sangat berreputasi di Yogyakarta, di website menyatakan bahwa tidak terdapat biaya publikasi untuk menerbitkan artikel di sana. Akan tetapi, seorang penulis di jurnal tersebut mengalami “penodongan”. Setelah menunggu review kemudian melalui revisi (totalnya hampir dua tahun), tiba-tiba disuruh membayar sejumlah uang untuk “biaya proofreading” oleh email resmi jurnal tersebut.

Ketika penulis bertanya kenapa tiba-tiba disuruh bayar padahal di website tidak ada informasi, dengan enteng menjawab ‘ini kebijakan kami. Kalau tidak dibayar, kami terpaksa tidak menerbitkan naskah anda’. Karena sudah proses yang sangat lama dan melelahkan, penulis pun tidak punya energi untuk melawan lagi dan akhirnya membayar saja.

.

Catatan: Di academia Barat, lumayan kuat perdebatan tentang etis atau tidaknya sebuah jurnal ilmiah meminta penulis membayar biaya publikasi (publication fee atau article processing charges). Ini beda dengan Open Access Fee, yang perdebatannya lain lagi. Akan tetapi, setidaknya di Indonesia dan Malaysia, lumayan banyak jurnal yang meminta biaya publikasi. Sebagai catatan, biaya publikasi ini dibayarkan hanya oleh penulis yang naskahnya sudah lolos untuk diterbitkan (kalau yang membayar AGAR diterbitkan, itu kasusnya beda lagi). Ini dianggap cukup lumrah, walaupun juga ada perdebatan.

Saya pribadi tidak mempermasalahkan biaya publikasi, walaupun tentu lebih suka kalau tidak ada biaya publikasinya. Itu persoalan lain. Tapi ketika main todong diam-diam dengan cara seperti ini, menurut saya kok ini tidak etis.

Tambahan dari kolega saya yang Dosen Hukum Pidana: hal seperti ini bisa kena korupsi, khususnya Pasal 12 huruf (e), Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Bahaya neh.

.

Kasus Kedua: “Tanda Tangan Kosong”?

Di suatu jurnal ilmiah di Sumatera Utara, seorang penulis telah mendapatkan kabar baik bahwa naskahnya diterima. Setelah berkutat dengan revisi dan lainnya, ia diminta nomor rekening. Pengelola jurnal pun mentransfer sejumlah uang kepada penulis dengan keterangan transfer “honorarium penulis”. Kemudian pengelola jurnal tersebut meminta penulis mentransfer balik dana tersebut sekalian meminta tandatangan penulis (bukti terima honorarium).

Ketika dikonfrontasi, pengelola jurnal mengatakan bahwa jurnal tersebut tidak memiliki dana pengelolaan sehingga cara mereka mendapatkan dana adalah ‘memainkan administrasi seperti ini’ . Penulis pun nge-gas, dan akhirnya tidak mentransfer balik dana tersebut.

.

Catatan: saya tahu betul kesulitan pengelolaan jurnal, karena saya pun pengelola jurnal. Di Jurnal Mimbar Hukum alhamdulillah full di-support dana oleh Fakultas Hukum UGM, sedangkan di IIUM Law Journal dulu saya adalah satu-satunya yang dihonori (sebagai editorial staff) sedangkan seluruh Dewan Penyunting bekerja benar-benar Li Allaahi Ta‘ala. Saya pun merasakan betapa sulitnya mengelola penggunaan dana beserta administrasinya di Universitas. Tapi di tengah kesulitan seperti itu, mungkin seharusnya ada pilihan-pilihan yang lebih etis yang dapat diambil. Kalau memang tidak, berarti ada yang sangat salah dengan sistemnya yang sangat memerlukan perombakan.

Tambahan dari kolega saya yang Dosen Hukum Pidana: hal seperti ini juga bisa kena korupsi, pasalnya sama yaitu Pasal 12 huruf (e), Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Khususnya ketika si penulis diminta untuk mengembalikan dana yang sudah ditransfer itu.

.

Kasus Ketiga: Internasionalisasi ala “Tempel Nama”?

Seorang penulis mengirimkan naskahnya ke sebuah jurnal ilmiah di Sumatera Utara. Tetiba, pengelola jurnal meminta penulis untuk mencari penulis lain dengan afiliasi universitas internasional untuk ditambahkan kepada naskah tersebut. Penulis pun menolak menambahkan nama orang lain yang tidak berkontribusi dalam penulisan, alhamdulillah naskah diproses lebih lanjut dan kemudian masih diterima.

.

Catatan:

Prinsipnya tidak masalah kalau sebuah jurnal dari awal mendorong penulis yang multi-afiliasi (apalagi multi-negara), apalagi mendorongnya tanpa paksaan. Akan tetapi, dengan Bahasa pengelola jurnal yang meminta untuk menambahkan nama pada naskah yang sudah jadi adalah seakan-akan mendorong penulis untuk menambah co-author yang tidak berkontribusi.

Tidak masalah kalau di sebuah naskah yang sudah jadi, tetiba diundang satu penulis lagi yang ditambahkan namanya tetapi juga turut berkontribusi merombak dan/atau menambahkan substansi pada naskah tersebut. Apalagi, kalau dorongan ini tidak ada di website (melainkan dikomunikasikan pasca-submisi), melakukan cara yang etis akan sangat memberatkan penulis.

Masalahnya, apakah jurnal tersebut memeriksa apakah ada perubahan substansi sebelum dan sesudah co-author baru ditambahkan? Hal-hal seperti ini perlu dipertanyakan.

.

Kasus Keempat: “Shadaqah Naskah”

Seorang akademisi junior dihubungi oleh seniornya yang ingin naik ke Guru Besar tapi masih kurang publikasi jurnal ilmiah. Sang senior bertanya pada sang junior apakah ada naskah jurnal yang siap terbit. Kalau ada, si senior ingin namanya dimasukkan sebagai penulis pertama supaya bisa memenuhi syarat untuk naik ke Guru Besar.

Salah satu kutipan menarik dari Sang Junior, menirukan seniornya: “Lha gimana mas..saya ini sudah tua, bahasa inggris gak bisa.. blajar bahasa inggris sudah gak mungkin ..satu-satunya cara ya berharap ada yang mau sodaqah draf artikel.” Mujurnya, Sang Junior akhirnya mengelak dengan mengatakan bahwa belum punya draft yang siap.

.

Catatan: bukan sedikit kasus semodel seperti ini yang akhirnya juniornya tidak bisa mengelak. Seorang kawan lain memberi masukan bahwa: sebenarnya sang Senior bisa dilibatkan dalam diskusi dan pembahasan, walaupun tidak secara langsung mengetik tulisan tapi kontribusi intelektualnya jelas tercermin di dalam naskah. Tentu ini kalau ada itikad yang baik.

.

Kasus Kelima: Menendang Co-Author

Kasus ini adalah praktek oleh penulisnya, tapi jurnal-nya inshaAllah merespon dengan baik. Saya tulis secara terpisah di post berikut, silahkan di-klik di sini.

.

Kasus Keenam: Demi Scopus, Menyuruh Penulis Internasional Numpang Nama?

Ini pengalaman mahasiswa saya sendiri. Saya tulis secara terpisah di post berikut, silahkan di-klik di sini.

Catatan Akhir:

  1. InshaAllah ini open post, jadi kalau ada yang ingin berbagi pengalamannya (atau kalau ada insiden baru) akan saya tambahkan lagi.
  2. Nama jurnal saya tutup di blogpost ini atas nasehat beberapa kawan, padahal ya setidaknya sebagian kasus di sini harusnya kalau memang kebijakan jurnal harusnya tidak malu.

Pembimbing Skripsi/Thesis/Disertasi Kelamaan Ngoreksi Draft Kamu?

Pernahkah kamu kesal (dan gak tiba-tiba melayang) atau bahkan tertunda lulus karena pembimbing skripsi atau thesis atau disertasimu kelamaan memeriksa draftmu sampe mingguan atau bahkan bulanan? Atau, kemarin minta A lalu hari ini A disalahin? Yuk kita bahas di sini untuk melihat kemungkinan penyebab dan potensi penyelesaian! Dengan pengalaman sebagai pembimbing maupun terbimbing (dan tanya kiri kanan), inshaAllah saya bahas dua hal (a) kemungkinan-kemungkinan penyebab, dan (b) beberapa kemungkinan solusi.

KEMUNGKINAN-KEMUNGKINAN PENYEBAB

Di sini ada beberapa faktor yang mungkin berpengaruh yang bisa saya identifikasi (silahkan komen kalau ada yang lain, inshaAllah saya tambahkan):

Pertama, sebagian dosen memang menyebalkan, tidak peduli sama sekali dengan kalian, bahkan secara aktif mempersulit. Bagi saya agak sulit menyangkal bahwa ada dosen-dosen seperti ini, dan saya berdoa saya bukan termasuk dosen yang seperti ini.

Kedua, dosen-dosen sangat sibuk sehingga memang waktu yang tersedia sangat sedikit untuk kamu, beda dengan kamu yang mungkin sudah tidak ambil mata kuliah lagi (atau tinggal ngulang). Bahkan kesibukan itu seringkali membuat sebagian dari kami jadi sakit-sakitan. Penting dicatat: kadang ini karena ketidakmampuan kami mengorganisasi diri, kadang karena atasan yang kurang manusiawi, kadang dua-duanya sekaligus. Ini masalah besar yang kadang mahasiswa tidak tahu.

Ketiga, seorang mahasiswa akan menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk memikirkan skripsinya tercinta itu. Tiap hari malam, bahkan pas tidur dimimpiin, udah kayak toxic relationship lah ya. Sedangkan buat kami para pembimbing, maaf banget tapi skripsi kamu hanya satu di antara banyak skripsi dan thesis dan disertasi dan tugas dan riset dan bahan ajar dan lain-lain yang harus kami baca.

Tidak realistis bagi kami untuk mendedikasikan waktu dan perhatian kepada skripsi kamu, sebanyak kamu mendedikasikan waktu dan perhatianmu. Sehingga, kami bisa jadi lupa sendiri dengan apa yang kami sampaikan, lupa skripsimu sampai mana, atau bahkan lupa nama kamu. Jadi kamu Cuma revisi beberapa poin di Bab IV, kami jadi harus baca semua ulang dari awal supaya ingat lagi. Dan poin ini kadang (tidak selalu) harus dibaca bersama-sama dengan poin Pertama dan Kedua di atas.

Keempat, skripsi tidak sesuai dengan bidang minat khusus si dosen pembimbing sehingga mager dan/atau perlu waktu sedikit extra untuk mencerna. Perlu diketahui bahwa tidak semua dosen pembimbing ditugaskan untuk membimbing skripsi/thesis yang sesuai dengan bidang minat risetnya. Walaupun seharusnya dosen itu ‘expert’, tapi (a) expertise itu makin lama makin khusus dan bukan umum, (b) tetap saja kalau tidak sesuai dengan kekhususan akan butuh lebih banyak effort untuk ‘tune in’, dan (c) dosen juga manusia yang terdampak oleh mood.

Apakah hal-hal ini adalah justifikasi? Mungkin ya untuk sebagian dan tidak untuk yang lainnya, tapi bukan itu poin saya. Mungkin menjadi titik mula dari beberapa solusi yang bisa dilakukan, atau setidak-tidaknya kita mungkin bisa sedikit memaklumi.

KEMUNGKINAN-KEMUNGKINAN SOLUSI

Berikut adalah beberapa alternatif solusi yang sebagiannya bisa dilakukan bersama-sama, dan sebagian lainnya dipilih tergantung situasi:

Pertama, bisa tanya kakak tingkat atau teman yang sudah berpengalaman dengan para dosen-dosen pembimbing skripsi/thesis/disertasi. Juga bisa tanya ke dosen pembimbing akademik (atau dosen manapun yang kamu nyaman ngobrol) tentang kolega-koleganya. Ini bagus banget lho, karena (a) mereka mungkin sudah pengalaman dibimbing oleh koleganya yg lebih senior, (b) mereka definitely punya insider information yang mahasiswa nggak tau, dan (c) jujur, sering banget ada hal-hal tentang dosen yang mahasiswa tuh salah faham. Tanyakan tentang bidang minat dosen, karakter pribadi, kesulitan dan kemudahan yang khas pada masing-masing dosen, dan pengalaman-pengalaman lain yang mungkin bisa membantu.

Kedua, diskusikan dengan dosen pembimbing di awal (dan di setiap jadwal bimbingan kalau dirasa perlu). Bagaimana ritme pembimbingan yang sama-sama enak untuk kalian? Beliau bisa mengoreksi dalam berapa lama, kira-kira? Tentu tidak semua dosen kooperatif, dan yang kooperatif pun bisa jadi di tengah jalan ada aja masalahnya. Tapi tidak semua begitu, dan tidak ada ruginya melakukan step ini.

Ketiga, kalau memang dosen pembimbingnya segitunya tidak kooperatif dan menyulitkan, GANTI! Tanyakan prosedurnya, lalu ganti saja. Tentu saya juga sadar ganti pembimbing itu kadang sulit karena melibatkan baper dan bisa jadi si mantan pembimbing yang malah menguji dan jadi masalah, tapi ya tidak selalu seperti itu ya. Intinya, ini salah satu opsi yang bisa ditempuh tergantung situasinya. Silahkan konsultasikan ke teman-teman atau dosen-dosen yang kiranya nyaman ditanyai atau berwenang untuk memutuskan.

Keempat, buatlah sistem bimbingan yang lebih terorganisasi. Ini bisa dari dua sisi, yaitu dari dosennya (saya baru mau memulai sistem baru) ataupun dari mahasiswa yang berinisiatif. Ada beberapa poin di sini:

  • Kalau berbalas email, upayakan untuk selalu reply saja supaya jadi semacam ‘thread’. Jangan tiap mau ngirim sesuatu pake email baru, karena kalau saya udah sering lupa bahasan sebelumnya apa (apalagi kalo lu lama revisinya) dan nyari-nyari lagi email sebelumnya tuh repot banget.
  • Buatlah “matriks revisi/progres”! Intinya, buat sebuah tabel yang mengidentifikasi (i) apa masukan dari pembimbing di korespondensi sebelumnya, (ii) apa tanggapanmu, (iii) apa yang kamu revisi dan di halaman berapa revisinya. Saya belum ada contoh tabel matrix revisi/progress untuk bimbingan skripsi (baru mau saya mulai, kalau sudah ada contoh nanti saya upload inshaAllah), tapi ini ada contoh tabel matrix revisi pasca sidang skripsi yang prinsipnya ya sama aja intinya supaya penguji gampang memeriksa revisian. Coba lihat halaman 2 dst, bagaimana si mahasiswa menyebutkan apa masukan dari penguji, menjelaskan apa yang sudah dia revisi, dan menyebutkan halamannya. Penggunaan warna font merah – hitam-nya sangat membantu dan enak dibaca. CATATAN PENTING: kalau kita menambahkan teks di naskah skripsi, nomor halaman bisa berubahkan jadi waspadalah dan pastikan keakuratan nomor halaman yang kalian sebutkan.
  • Di file skripsi/thesis revisi, aktifkan “tracked changes” sebelum merevisi (buka tab “REVIEW” lalu klik icon à TRACK CHANGES). Dengan begini, akan kelihatan apa saja yang sudah kamu tambahkan. Kekurangannya, si dosen belum tentu ingat masukannya apa (sampe harus direvisi seperti itu) jadi baiknya dikombinasikan dengan poin (b) di atas.
  • Terutama kalau sudah lewat Bab 1, selalu berikan daftar isi (beserta nomor halaman) yang serinci mungkin sampai ke sub-sub-babnya. Ini akan membantu kami melakukan “helicopter view” atas skripsi kalian, atau bolak balik dari satu bagian ke bagian yang lainnya tanpa perlu cari-cari manual “subbab ini di halaman berapa ya tadi”. Selalu tuliskan juga judul skripsimu, karena betulan kadang-kadang kami lupa.

Kalau si dosen tidak meminta seperti ini, tidak apa-apa berinisiatif sendiri. Misalnya bilang aja “Untuk memudahkan, berikut saya lampirkan juga matriks revisi/progress untuk menunjukkan apa yang sudah saya revisi, dan semoga berkenan file revisi saya aktifkan tracked changes” gitu.

Mohon maaf sekali, mungkin bagi kalian akan agak merepotkan. Tapi 1 jam extra yang kalian habiskan untuk membuat hal-hal di atas, inshaAllah akan dibalas dengan dosen yang lebih mudah mengoreksinya dan kamu mendapatkan jawaban dengan lebih cepat (tapi kalo dosen nyebelin, itu obatnya susah ya maaf).

Demikian, semoga bermanfaat dan membantu kelancaran proses pembimbingan teman-teman ya. Kalau ada masukan atau tambahan, bisa kirim komen dan inshaAllah akan saya coba jawab semampunya.

The Ünal Batter Recipe

So setelah agak lama tidak mengisi blog di bagian “Yum Yum Reviews” , saatnya mengupdate lagi dengan #ResepAsikFajri! Sebenarnya sejak terakhir menulis di bagian “Yum Yum Reviews” delapan tahun lalu, sebenarnya ada banyak resep-resep yang asik yang gw coba dan modifikasi tapi hati nggak tergerak untuk masukin blog. Tapi gara-gara murid gw (namanya Adienda, thanks lol) tiba-tiba tergerak untuk dimasukkan di blog lagi :3

So, ini adalah resep wet batter (tepung basah) untuk menggoreng dan ia sangat versatile untuk apa saja. Pertama gw bikin adalah beberapa minggu lalu ketika istri kepingin makan Fish n Chips akhirnya ya karena gw cinta juga kepengen jadilah gw baca beberapa resep wet batter. Setelah melalui studi komparatif dan ijtihad yang panjang, terciptalah Ünal Batter! Namanya kami ambil dari nama Turki anak kami, yaitu Ünal Efendim 😍

Gimana resepnya? Nah, persiapkan bahan-bahan berikut ini:

CAMPURAN BATTER:

  1. Komponen utama: Tepung terigu + Corn Starch dengan rasio 1:1
  2. Garam
  3. Black Pepper
  4. Garlic Powder
  5. Bubuk all-spice
  6. Rempah cajun
  7. Bubuk paprika
  8. Bubuk cabe

.

BAHAN LAIN

  1. Soda water
  2. Minyak goreng
  3. Ayam, ikan, daging, atau apapun yang mau digoreng

Tips: Kalo mau goreng ayam, rendam bumbu (marinade) dulu dan simpan di kulkas minimum 15 menit. Bisa pake rendaman basah (air/butter milk [pilih salah satu!], ketumbar, garam, bawang putih uleg, kunyit), atau rendaman kering (garam aja oke). Tapi jangan lupa poin penting: sebelum dibalur wet batter, ayam harus dalam keadaan kering! Makanya untuk resep ini nampaknya lebih praktis pake rendaman kering. Kalo ikan ga perlu direndam.

.

CARA MEMBUAT

Step 1: campur semua bahan di atas.

Jumlah masing-masing bahan sesuai kebutuhan ya. Tergantung mau masak berapa banyak. Btw juga, yg di atas ga ada bubuk cabe-nya soalnya batch pertama buat Aafiq yang daya tahan pedasnya melampaui mayoritas anak usia 23 bulan tapi jelas belum segila bapak ibunya.

.

Step 2: tambahkan soda water sambil diaduk-aduk sampai rata dan kental.

Sayangnya nggak bisa masukin video untuk menunjukkan kekentalannya

Intinya sih kalo gw sukanya kentel buwanget. Terserah kalo nggak mau terlalu kental tapi jangan terlalu encer juga ya.

.

Step 3: Siapin benda yang mau digoreng, celupin sampe terbalut sempurna.

Kali ini gw pake filet dada ayam

Sebenernya pengennya pake filet paha atas ayam, terakhir bikin pake itu ya Allah enak banget… tapi semalam beli bahan kok paha atasnya habis dan udah keburu gak sabar mau bikin konten jadi yaudah deh.

.

Step 4: isi wajan dengan minyak lalu nyalakan api sedang.

Tips untuk cek apakah minyak udah panas: masukin ujung sumpit kayu atau solet kayu, blebeg blebeg ga? Kalo iya, udah panas tuh. Bisa juga ditabur tepung dikit.

.

Step 5: masukin ayam (atau bahan apapun yang disiapin tadi) yang udah dibalur pake Ünal Batter ke dalam penggorengan.

Foto menggoreng filet paha atas pake Ünal Batter minggu lalu..

Tips penting: lay away. Kalo masukin barang ke minyak panas, letakkan dengan arah menjauh badan (bukan sebaliknya) untuk mengurangi kemungkinan kecipratan minyak panas.

Tips tambahan: untuk menggoreng filet ikan (ada yang pake buat filet ayam juga), sebelum dimasukkan ke wet batter sebaiknya dibaluri tepung kering dulu. Kalau nggak gitu, nanti wet batter akan susah nempel ke ikannya.

.

Step 6: Kalo udah mateng, sisihkan.

Tiriskan atau letakkan di atas kertas minyak. Enak banget dimakan pake saus. Sebenernya gw punya resep saus yang super enak yang istri gw selalu ketagihan dri dulu, tapi maap ya itu rahasia perusahaan ❤️❤️❤️

Final product kalo pake filet ayam (ada terong nyusup juga btw)

Deuteronomy 20 and the Fate of Banu Qurayzha (Discussion with Rabbi Ben Abrahamson)

photo credit: LinkedIn

There has been an intriguing discourse regarding Sa’d ibn Mu’adh’s verdict towards Banu Qurayzha, some contemporary scholars claiming that the said verdict was based on Jewish Law. If have written my initial thoughts and findings about the matter in a previous post, and I am planning to expand this into a more proper research paper (currently searching for a co-researcher).

So I was recommended by my friend to consult Rabbi Ben Abrahamson, a classical orthodox Jewish Rabbi and Director of the Al Sadiqin Institute – Association of Islamic and Rabbinic scholars of History and Jurisprudence. Below is his description on LinkedIn:

"Rabbinical Historian; Consultant for religious courts; Expert witness concerning Halachah and Shari'ah, legal systems interactions, historical development of religious/civil law; Advocate for Islam and Muslims, to be recognized and achieve their proper, respected place in Jewish law; Requested participant in Religious Diplomacy in areas of conflict in the ME and tension in the EU and Africa."

Alhamdulillah, I approached him via Facebook and he was very kind to take his time to respond to my questions. He has allowed me to share the contents of our conversation, hence this post.

Please find it below, I hope it will benefit us all:

=========================

FAJRI:

Greetings, Dear Rabbi.. I hope you are doing well. My name is Fajri from Indonesia, an assistant professor of international law at Universitas Gadjah Mada, but my research mainly focuses on Islamic law.. There has been an issue in my mind for quite some time by now about Jewish Law as applicable in 6-7th century AD (particularly in Hejaz, Arabia), and my good friend Ustaz Wisnu Tanggap Prabowo recommended me to talk to you about this (he has corresponded with you before, it seems).

I am sure you are familiar with the verdict cast by Prophet Muhammad (PBUH)’s companion Sa’d ibn Mu’adh towards the Jews of Banu Qurayzha (kill all grown men, enslave all women+children). An increasing number of contemporary Muslim scholars seem to suggest that this verdict was specifically taken from Jewish Law. After all, Sa’d ibn Mu’adh was the chief of Banu Aws, who allied with the Jews of Banu Qurayzha in previous wars, so it was alleged that he would have known a bit of Jewish law and therefore used it in his verdict.

What are your thoughts on this?

PS: I am very skeptical about this, but I know very little about it. 3 years ago I wrote a short article on my blog explaining my (tentative) view: https://fajrimuhammadin.staff.ugm.ac.id/2019/12/09/did-sad-ibn-muadh-apply-jewish-law-to-banu-quray%e1%ba%93ah/

I plan to make this a proper research, insha’Allah.. So I was wondering if I can have some insight..

===================================

RABBI BEN ABRAHAMSON:

As-salamu ‘alaykum wa rahmat-Ullah wa barakatuH

Your blog post is very good.  The thing to remember is that the verses in Deuteronomy 20 refer to conquest in a holy war, that is to say a war led by a prophet (pbuh).

In addition, the verse “Rather, you shall utterly destroy them: The Hittites, and the Amorites, the Canaanites, and the Perizzites, the Hivvites, and the Jebusites, as the Lord, your God, has commanded you.” (Deut 20:17) has been interpreted, based on authorized traditions, to mean that “as long as they remain Hittites, Amorites, Canaanites, etc. they must be destroyed, but not if they convert to monotheism (Noahism)”.

So while the punishment of irreconcilable rebels against a just (and prophetic) rule, is similar to the arbitration decree of Sa‘d ibn Mu‘ādh, the circumstances are not the same.

The case of the Banu Qurayzah was not a conquest in the regular sense of the word. In 627 CE, when the Quraysh and their allies besieged the city in the Battle of the Trench, the Qurayza initially tried to remain neutral but eventually entered into negotiations with the besieging army, violating a pact they had agreed to years earlier. Subsequently, the tribe was charged with treason and besieged by the Muslims commanded by the Prophet (pbuh). The Banu Qurayza eventually surrendered. But unlike a conquest, spoils were not discussed.

Also the case of the Banu Qurayzah was not a case of irreconcilable religious principles, there was no question of idolatry or polytheism. In most traditional accounts of the events, conversion was never discussed as an option.

It seems the early sources saw this as an act of treason, and this makes the most sense.  Treason against the king, in Torah law, is punishable by death, although it is not clear how this law would be applied for a group of people.

This latter concern seems to be addressed by saying there was a compact and arbitration, thus putting it within the purview of the Kings Law.  The king would be given the discretion to punish or not punish as he sees fit to achieve the security of the people which he is responsible for.

Considering during these years the Romans and Persians would chain soldiers to each other to prevent desertion, and regularly burned towns and villages, such measures for dealing with treasonous elements would not have been unusual.  In fact there is no mention of these events in any Jewish history.

I think the reason it has been claimed recently that Sa‘d ibn Mu‘adh’s judgement was biblical in nature, is to act as a counter claim to the argument that the execution of the Banu Qurayzah was anti-Semitic.  But upon closer examination of the records that we have, there is no evidence to believe that their execution had anything to do with religion, and everything to do with treason.

I would be happy to assist you in any way I can with your research.

Best regards

Rabbi Ben Abrahamson

====================================

FAJRI:

Wa’alaykumsalaam, I also love long replies 😊 Alhamdulillah this has been very insightful, I really thank you for taking the time. Your conclusion that the verdict was all about punishing treason is what I feel to be the case. If you don’t mind, I have some follow up questions:

  1. I have put some thought (but honestly not much research) after writing that blogpost in 2019, and it came to me that perhaps the biggest absurdity of the claim that Ibn Mu’adh applied Jewish law is: Deuteronomy 20 was about what the Jews are supposed to punish others with, not Jews being punished. Would you agree?
  • It has become clearer, alhamdulillah, that the factual circumstances between Deuteronomy 20 and the fate of Banu Qurayzha are far different. But what do you think about the ‘wrong verse’ point I made? If we force the circumstances to fit Deuteronomy 20 as much as possible, would you agree that it would be more correct for Ibn Mu’adh to apply 20:16-17 (which he did not) instead of 20: 13-14 (which he did), if he indeed wanted to apply Jewish law?
  • You mentioned that the events (verdict of Sa’d ibn Mu’adh and fate of Banu Qurayzha) were not mentioned in any Jewish history. Do you have any thoughts why it is so? I am sure you are aware of some orientalists in the 1970s used that as one among many reasons why the verdict actually never happened at all (some recent scholars are repeating this argument). I published an article last year criticizing that opinion from a hadith perspective because my concern was legal rulings, so certainly it does not answer why the Jewish historians did not mention it.

Thank you very much for your insights. Jazakallaahu khayran kathiira

==========================================

RABBI BEN ABRAHAMSON:

<<1.    I have put some thought (but honestly not much research) after writing that blogpost in 2019, and it came to me that perhaps the biggest absurdity of the claim that Ibn Mu’adh applied Jewish law is: Deuteronomy 20 was about what the Jews are supposed to punish others with, not Jews being punished. Would you agree?>>

There is a general principle in the Torah that there must be one law for the citizen and stranger.  It is conceivable that if a community of Jews adopted the ways of the Canaanites (irreconcilable, socially destructive culture) that they would fall under the same law, and be punished accordingly.

<< If we force the circumstances to fit Deuteronomy 20 as much as possible, would you agree that it would be more correct for Ibn Mu’adh to apply 20:16-17 (which he did not) instead of 20: 13-14 (which he did), if he indeed wanted to apply Jewish law?>>

I was not aware that Sa‘d ibn Mu‘adh ever cited a Torah verse as justification for his decision.   That being said, I believe the verse in Deut 20 express three levels of conquest:

Verse 11 those who have a moral culture and submit without fighting, they pay jizya and become a vassal.

Verses 12-13 those who have a moral culture, yet fight irreconcilably, their soldiers are killed and their property is forfeit to the state.

Verses 16-17 those who have a socially destructive culture, and fight irreconcilably, they must be entirely destroyed as long as they continue to adhere to their socially destructive culture. The association with this socially destructive culture is not limited to soldiers but includes men, women, children and property. This is summed up in the next verse “So that they should not teach you to act according to all their abominations”  Essentially this means “either convert to Noahism or Judaism, otherwise if you remain you will be killed” and applies to men and women and their associated children and property.

Since  Sa‘d ibn Mu‘adh’s arbitration included men, but not women or booty, it is most similar to verses 12-13.

<<3. You mentioned that the events (verdict of Sa’d ibn Mu’adh and fate of Banu Qurayzha) were not mentioned in any Jewish history. Do you have any thoughts why it is so?>>

I believe it is because the Jews of Madinah were sectarian, a form of Sadducees, which fell outside the scope of Rabbinic histories.  This would be similar to events which concerned Samaritan Jews, which were not recorded.  Sadducean Judaism did not have a literary tradition, so we don’t have their record either.

What is interesting is that Seder HaDorot and various Midrashei Geulah which speak briefly about a persecution of Jews by Muhammad (pbuh), claim that it was instigated by former Christians who became Muslims, specifically Bahira.  According to this tradition, when Salman Farsi joined the Prophet (pbuh), the persecutions stopped.  Salman Farsi is, in Jewish tradition, said to be a Rabbinic Jew, son of the reigning Exilarch.   It is telling that a Rabbinic Jew should lead the siege of Khaybar, without complaint in Rabbinic Jewish history.

Another point, Deut 20 speaks of the killing of combatants during battle.  It does not apply after the fact.  To that end, it is prohibited to enclose one of these cities on all four sides, one side must be left open to allow the option of exile.

===============================

FAJRI :

I see.. thank you very much for taking your time to explain this, alhamdulillah this is all crystal clear.. I think I now have a much clearer picture and direction from which to work on.. Jazakallaahu khayran kathiira.. 😊🙏

==========================================

RABBI BEN ABRAHAMSON:

Masha’Allah

If you do write anything on this topic, I would be delighted if you could include me with a copy.

==========================================

Masalah Nikah Beda Agama

Gw ga tau kenapa pake foto Ria Ricis dan Teuku Ryan, pure random. Courtesy of detik.com

Permasalahan nikah beda agama semakin mencuat di media massa akhir-akhir ini (pada tanggal tulisan ini dibuat) karena putusan Pengadilan Negeri di Surabaya yang mengizinkan pasangan Muslim dan Nasrani mencatatkan nikahnya di catatan sipil. Tulisan ini saya alamatkan kepada saudara-saudara yang beragama Islam, termasuk aparat pemerintah dan akademisi dan legislator yang pendapat dan perbuatannya bisa berdampak konkrit terkait issue ini.

(more…)